Bab 32 - The Nightmare

1.5K 268 41
                                    

Sosok wanita berambut pirang panjang itu berdiri di lorong mansion caleigh. Dia tersenyum, dingin dan sedih. Tangannya yang kurus dan pucat melambai memanggil putranya yang dia banggakan.

"Putraku, sayangku, hidupku," gumam wanita itu lirih seraya merangkul pundaknya.

Perempuan itu nyaris selalu terlihat tersenyum. Walau ada kepalsuan serta keterpaksaan di sana. Dia tahu kalau senyumnya tidak meyakinkan, tapi dia tetap melakukannya. Wanita itu dengan bersemangat menunjuk ke arah salah satu dinding yang sudah penuh dengan lukisan.

"Lihat apa yang ibu beli, lukisan lain, dari seorang pelukis bisu yang tinggal di selatan,"

Putranya, yang baru berusia dua belas tahun merasa bingung, tidak tahan untuk bertanya.

"Kenapa kau tidak kunjung puas membeli ini semua, bu? Kau memenuhi seluruh isi rumah ini dengan karya seni yang tidak aku mengerti. Bukankah sudah cukup?"

"Sayangku, Thaddeus, ini tidak akan sia-sia. Anthony bilang, mengkoleksi ini akan membawa kebahagiaan, Lihat senyum gadis di lukisan baru ini, bukankah dia cantik? Ah andai saja Anthony bisa melihat ini," wanita itu menatap lukisannya dengan menerawang.

"Tapi bu, aku tidak merasa bahagia melihatnya, aku tidak paham,"

"Tapi Anthony ayahmu, suka hal-hal ini, ketika dia pulang nanti—"

"Ibu, ayah sudah meninggal," thaddeus kecil mengatakannya dengan rasa sesak di dadanya.

Kemudian, raut wajah sang duchess berubah mendung, bibirnya ditekuk, dan air mata yang membendung terlihat di wajahnya.

"Anthony! Ooh Anthony!" Sang duchess menjatuhkan dirinya, menutup wajahnya menangis sejadi-jadinya. Seolah kejadian itu baru terjadi kemarin. Padahal, sang duke sudah dimakamkan tiga bulan lalu.

"Ibu," panggil thaddeus kecil.

"Anthony! Apa yang bisa kulakukan di dunia ini tanpa dirimu?" Raungnya.

"Ibu! Kau punya aku!"

"Bunuh dia! Tidak! Buat dia menderita thaddeus! Phillip Antoirre adalah musuhmu! Dia merebut Anthony dariku!" Teriak sang duchess.

"Lihatlah! Lihat lukisan ini, Bukankah mereka membuatmu bahagia bu? Tersenyumlah!" Thaddeus kecil tampak panik, mengguncang bahu ibunya.

Namun seketika aura berubah gelap, mereka berpindah ke kamar sang duchess. Thaddeus melangkah dengan kaki gemetar di sana, melihat sang duchess dengan tangan tersayat di atas ranjang mewahnya. Ribuan karya seni tidak mampu mengobati rasa dukanya. Dia pun menyusul sang duke ke makamnya.

"Tidak!" Thaddeus terbangun, ketika itu masih tengah malam. Dia terengah, tidak peduli berapa kalipun dia mengalami mimpi buruk, rasanya terlalu nyata dan sangat jelas. Dengan tangan sedikit gemetar dia meraih meja, membuka lacinya dan mengambil sebetulnya anggur, kemudian meminumnya.

Dia sudah dewasa, tapi segala kenangan menyakitkan itu tidak bisa hilang dari benaknya. Ibunya telah mewariskan sesuatu kepadanya, kebencian, obsesi, serta rasa kesepian. Untuk inilah thaddeus hidup. Ibunya mendoktrinnya setiap saat, mengatakan sejuta alasan kenapa dia harus kuat, dan memintanya untuk membalas dendam.

Thaddeus pun melangkah perlahan, ke sudut dinding yang juga dipenuhi lukisan. Thaddeus melihatnya dengan getir. Dia ingin percaya kata-kata ibunya. Tapi semahal dan sebanyak apapun karya seni yang dia beli tidak bisa membuatnya bahagia. Anehnya dirinya terus menerus merasa harus membeli lukisan, memenuhi dinding-dinding rumahnya dengan karya seni, seolah dia dirasuki oleh sang duchess.

Kehilangan kedua orang tua dengan cara yang sadis, serta beban dan tanggung jawab sebagai duke yang besar, membuat Thaddeus memutuskan untuk menyingkirkan rasa belas kasih dan empati. Dia tidak memerlukannya, karena itu hanya mengalihkan pikirannya.

Taming The Villain DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang