Bab 79 - Prison

1K 234 42
                                    

Malam cukup menggigil. Salju masih turun tipis dari langit. Thaddeus hanya memakai satu lapis mantel berwarna gelap yang kini memutih karena salju. Sebagai mantan raja, phillip tidak dipenjara bersama rakyat biasa. Dia menginap di penjara kejaksaan yang cukup hangat dan nyaman.

Dia bisa mendapatkan minuman hangat, selimut bahkan pelayan. Dia juga masih boleh membawa buku bacaan dan hal serupa. Karena dia pernah menjadi raja, dia tidak dihukum seperti rakyat jelata. Tidak ada hukum pancung atau penjara dingin dengan teralis berkarat.

Ketika thaddeus masuk ke ruangan dimana phillip ditahan, suasananya terang, aroma parfum tersebar seolah menciptakan suasana istana yang biasa ditinggali oleh phillip. Walaupun dia terbukti memiliki banyak kesalahan, dewan bangsawan mengakui prestasi phillip sebagai raja tidak sepenuhnya buruk.

Tapi karir politiknya sudah tamat. Dia akan segera dideportasi dari ibukota dan tidak bisa mengikuti acara kebangsawanan seperti biasa. Dia akan tinggal di sebuah mansion mewah yang sepi di negara bagian selatan yang panas. Dia mungkin akan menghabiskan hidupnya dengan memancing dan bertani. Dia tidak boleh membuat kontak dengan raja Roran ataupun berkunjung ke ibukota. Demi memastikan raja phillip tidak bisa menggunakan pengaruh politiknya yang tersisa, akan ada pengawal dari kejaksaan yang mengawasinya setiap saat.

"Minum kopi, thaddeus?"

Phillip tampak tenang sebagai seseorang yang baru saja kehilangan nyaris segalanya.

"Aku heran karena kau tidak meminta bertemu denganku setelah selesai sidang," Thaddeus duduk di meja, berseberangan dengannya.  Namun dia tidak menyentuh kopinya.

"Untuk apa? Kau sudah menang. Aku kalah. Selamat," Phillip tersenyum, sambil menunjukkan cangkirnya seolah sedang bersulang.

"Kau akan meninggalkan penjara nyaman ini ke pengasingan dalam dua hari nanti. Tapi aku masih belum mendengar pengakuan apapun darimu soal ayahku,"

"Apa yang mau kau percaya?"

"Kau memang membunuh Duke Anthony Caleigh,"

"Itu benar, sepertinya mengakuinya sekarang sudah tidak akan berpengaruh apapun,"

Thaddeus tersenyum getir.

"Aku menghabiskan seumur hidupku untuk membencimu dan ingin membalas dendam, tapi ketika kau akhirnya mengaku, rasanya tidak terlalu menyakitkan,"

"Kukira aku akan lepas kontrol dan menyakitimu,"

"Karena ayahmu hanya berupa kenangan. ketika seseorang tiada dia akan perlahan menghilang berganti menjadi kehampaan dan hanya meninggalkan nama," Phillip menyeruput kopinya tenang.

"Kau berjuang demi dirimu sendiri, Thaddeus. Bukan karena kau mencintai ayahmu,"

"Karena itukah kau mau menjadi abadi?"

"Apa maksudmu?"

"Aku sudah mendengarnya dari Sophia, aku tahu legenda itu dan aku juga bicara dengan para tetua Navaran soal itu. Jadi, apakah ayahku Anthony juga ingin menjadi abadi?"

"Kurasa tidak, dia mencoba menghentikanku," Phillip menggeleng.

Thaddeus menepis sisa salju yang mencair di bahunya, menarik nafas.

"Kenapa kau menerima transaksi dariku? Apa kau berpikir kalau kau akan menang di pengadilan?" Tanya Thaddeus.

"Ya, tapi aku tidak menyangka kau lebih licik dan cerdas dari dugaanku, selamat," kata Phillip lagi.

"Aku kalah, kau menang, kini kau datang untuk mengejekku. Nikmatilah ini, Thaddeus," phillip tertawa.

Thaddeus tidak ingin terlalu senang. Masih ada sesuatu yang mengganjal.

Taming The Villain DukeOnde as histórias ganham vida. Descobre agora