Bab 23 - The Tavern

1.5K 310 39
                                    

Seekor kuda berwarna hitam pekat, dengan sebagian bulu putih di lehernya telah ditambatkan di depan sebuah bar. Tempat itu temaram, penuh para pekerja yang baru melepas lelah usai bekerja. Pria yang menunggang kuda tadi membenahi sarung tangan kulitnya, merapatkan mantel bertudungnya dan mendorong pintu membuka.

Alunan musik dari pemain harmonika tua terdengar sayup begitu dia masuk. Pria tua pemusik itu seolah malu memperdengarkan musiknya. Atau mungkin nafasnya sudah terbatas, dia tidak bisa meniup keras. Yang jelas, nada yang keluar dari harmonikanya terdengar putus asa dan menimbulkan depresi. Pria bermantel itu melewatinya sekaligus melemparkan sebuah koin perak di topi yang dia hamparkan pada lantai.

"Sudah lama tidak kesini," seorang pria paruh baya, yang usianya tidak kurang dari enam puluh menyambut di meja bar.

Dia segera menyodorkan gelas sloki kosong dan menuangkan anggur ungu dingin untuknya.

"Aku sedang tidak ingin mabuk, dan aku juga tahu kau tidak sedang benar-benar berbisnis di sini," kata Thaddeus, Pria tadi, yang kini mengungkap sebagian wajahnya.

Seorang duke, biasanya tidak berkeliaran di pemukiman rakyat jelata. Jadi, dia memakai pakaian biasa, berusaha membaur. Serupa dengan yang dia kenakan di summerville beberapa waktu lalu. Namun bar ini terletak di distrik Kirogar, bagian dari ibukota yang dihuni pekerja kelas bawah. Mereka terlalu sibuk dengan rasa lelah dan urusan mereka sendiri sehingga jarang yang akan peduli jika ada bangsawan kelas atas berkeliaran di sana.

Walaupun bilang sedang tidak mau minum, Thaddeus tetap duduk dan meminumnya. Setelah sebelumnya dia menaruh kelopak bunga bulan di gelas itu.

"Selalu waspada seperti biasa," pria bartender itu berkomentar. Dia tahu kelopak bunga bulan memiliki harga sangat tinggi. Bunga itu hanya tumbuh di musim tertentu dan di daerah yang tercemar sulfur. Kelopak putih bunga itu akan berubah biru ketika menyentuh racun. Thaddeus menggunakannya untuk mendeteksi racun.

"Aku harus tetap hidup, aku tidak bersedia mati sia-sia sebelum berhasil membalas dendam," katanya terang-terangan.

"Your grace, kau serius membahas itu di sini?" Pria itu tampak cemas.

"Aku sadar yang aku lakukan, kau tidak perlu khawatir. Tidak ada yang akan tahu identitasmu," kata Thaddeus lagi sambil tersenyum setelah menghabiskan minumnya.

Setelah mengatakannya, seekor naga kecil tanpa sisik merayap keluar dari balik jubahnya. Warnanya putih pucat seperti terlahir albino. Matanya merah dan ukurannya tidak lebih besar dari telapak tangan.

"Seekor Pixie, jadi percakapan kita kali ini-"

"Tidak akan ada yang bisa mendengar kita,"

Pixie, adalah jenis monster langka yang sering dimanfaatkan militer untuk misi pengintaian. Mereka menghasilkan gelombang suara tertentu yang tidak bisa didengar manusia normal, dan membantu menutupi suara apapun pada jarak tertentu.

Bartender itu tampak lebih rileks dan kini dia menuang anggur untuk dirinya sendiri.

"Aku terkejut, membaca berita kalau raja Phillip mengumumkan dia punya anak dan kini dia adalah putra mahkota," katanya.

"Pangeran Roran punya keberuntungan yang tidak masuk akal, intinya, aku tidak bisa menyentuhnya dan semua sudah terjadi. Dia adalah putra mahkota," Thaddeus mengatakannya seolah dia sudah berdamai dengan rasa kecewanya.

"Padahal, mendapatkan informasi tentang keberadaannya sebelum istana bergerak mencarinya adalah hal yang luar biasa sulit. Kau tidak tahu berapa botol parfum serum kejujuran yang kami gunakan untuk itu. Raja phillip menutupinya dengan rapat. Dia bahkan seolah mengabaikan dan menolak ingatannya sendiri kalau dia punya keluarga rahasia di desa terpencil,"

Taming The Villain DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang