12. Bersalah

15.6K 1.6K 31
                                    

"Apakah kau pernah menampar Laura?" Mata Rhys menatap tajam manik mata Emma. Rahangnya terkatup ketat, menimbulkan garis kasar nan kuat.

Emma menarik napas berat, tangannya bersedekap ketat. Dari sudut matanya, ia dapat dilihat Darcy menatapnya muak. "Iya aku pernah menampar Laura."

Atmosfir mencekam, tubuh Laura di dera rasa menggigil saat menghadapi keadaan ini. Malah sebaliknya, Emma tampak terkendali menghadapi kemarahan dan kekecewaan Rhys. Laura ingin menghentikan semua kejadian ini sebelum semua bertambah parah, sayangnya jawaban jujur Emma sudah terlanjur diutarakan.

"Sudah kuduga kau adalah perempuan j*lang" Maki Darcy dilingkupi oleh emosi.

"Jaga sikapmu Darcy. Aku butuh alasan jelas dari perempuan asing di depanku ini."

Hati Emma terbesit rasa perih. Baru tadi siang ia dengan Rhys begitu akrab, dan kini laki-laki itu menganggap ia adalah orang asing. Maka dari itu dirinya selalu iri dan tidak suka pada kehidupan Laura. Banyak orang yang ingin menjaga dan menyanginya, hingga mengorbankan banyak hal. Termaksud diri Emma, hanya sebagai angin lalu.

Emma tersenyum tipis, ini cara satu-satunya agar ia menstabilkan tembok kukuh untuk melindungi hati kecilnya.

"Kenapa kau berbuat seperti itu?" Nada bicara Rhys terdengar kasar. Jelas dirinya kecewa pada Emma, semua orang akan berpikir di awal Emma merupakan sosok yang menyenangkan. Nyatanya di belakangnya amat... menyedihkan.

"Karena Laura bertingkah sangat menyebalkan. Dengan anehnya dia menerima ajakan tidur dengan pria asing dalam keadaan mabuk berat, lalu mengatakan aku hanyalah manusia rendahan dan miskin karena berusaha mengusir laki-laki itu. Kemudian keesokan harinya dia mengirim pesan padaku agar menontoni dirinya bunuh diri. Tentu saja aku langsung menamparnya habis-habisan. Tindakannya sudah keterlaluan."

"Kenapa dia sampai mau melakukan bunuh diri!" Rhys geram pada semuanya. Kenapa selama ini, ia tidak mengetahui ada masalah besar menghinggapi keponakan kesayangannya itu?

"Maafkan aku Rhys, aku tidak bisa memberi tahumu. Aku sudah berjanji padanya untuk tidak membuka rahasianya. Tapi kau bisa bertanya dengan orangnya langsung." Emma memberi tatapan datar menghadapi kemarahan Rhys.

Alam bawah sadar Emma mengumpat berulang kali. Kehadirannya selalu membawa bencana bagi orang lain. Sampai kapan semua ini berakhir?

"Atau kau perlu bantuan, Laura?" tanya Emma begitu lembut. Ia sadar sebentar lagi Laura tak mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Well, ia akan mengakhiri masalah ini lalu angkat kaki dan tidak akan kembali lagi, jadi tak masalah jika ia bertengkar dengan Rhys.

"Kau bisa mengatakannya..." Jawab Laura tanpa mau melihat siapapun.

"Singkat cerita, dia pernah diperkosa oleh lima orang laki-laki. Ada banyak sekali luka memar di sekujur tubuhnya dan dia putus asa. Jujur saja, aku orang yang blak-blakan serta berbicara kasar. Tapi jagalah sikap kalian, sungguh kalian lebih memuakkan dari diriku."

Emma marah untuk menolong Laura. Ini jalan satu-satunya supaya orang tidak terfokus pada satu kesalahan. Mungkin orang lain bertentangan dengan cara aku menolong orang lain, sayangnya ini adalah aku bukan kalian!

Tanpa pikir panjang, Emma masuk ke dalam kamar Laura. Memakai mantel tebalnya sambil menggigit lidahnya sendiri untuk menahan luka jahitannya serta air matanya yang ingin jatuh. Ia ingin menangis bukan untuk dirinya sendiri. Tetapi untuk Laura. Sepanjang hidup, ia selalu bersikap keras pada dirinya sendiri, anehnya ia tidak akan kuat bila orang yang ia sayangi sedih dan merasa kesakitan. Sebab ia tau benar rasanya, perih tak kunjung larut menguliti tubuh sendiri.

"Kau mau kemana Em?" Laura semakin ingin menangis, Emma mau meninggalkannya.

"Sore ini aku harus berangkat bekerja. Terima kasih sudah mengizinkanku tinggal disini. Lusa aku akan mengembalikan pakaian yang kau pinjamkan untukku." Emma memakai tas ranselnya, kemudian memasang sepatu botsnya. Sore di hari Jumat, adalah waktu paling menyenangkan untuk Emma. Ia bisa bernyanyi di theater kecil di pinggir kota bersama para penyanyi Opera lainnya.

"Malam ini kau mau menginap dimana?" tanya Laura.

"Ally sudah menemukan apartemen dengan sewa murah untukku." Emma melakukan kebohongan.

Laura terburu mengambil dompetnya lalu memberikan kartu debitnya pada sahabatnya itu. "Kau boleh menggunakan ini untuk membeli mantel tebal dan pemanas ruangan. Jangan sampai kau mengalami mimisan lagi. Musim dingin kali ini sangat mengerikan."

"Terima kasih banyak." Emma menerima kartu debit itu dan masalah selesai. Padahal ia tidak akan menarik uang sepeserpun dari kartu berwarna Gold tersebut.

"Aku akan menyuruh supir mengantarmu bekerja." Tanpa sadar Laura meneteskan air matanya. Bisakah Emma disini sebenatar lagi?

"Tidak perlu. Tapi bisa kau mengantarku berjalan kaki sampai Metro bawah tanah dekat sini. Kau juga boleh membawa ratusan pengawalmu itu." Laura terkekeh. Emma terang-terangan menyindir keluarga Giovinco. Segera ia mencari mantel di lemarinya yang cocok untuk berjalan-jalan sebentar diluar bersama Emma. Hatinya berubah bersemangat, jarang sekali Emma memiliki permintaan yang diperuntukan  padanya.

Rhys dan Darcy memandang cara interaksi Emma dengan Laura. Mereka tau, Emma sengaja meminta Laura untuk mengantar hingga stasiun Metro, supaya bisa berbicara serta menangis bebas tanpa terkurung di dalam rumah.

Andre memberikan dua buah handuk untuk tuan Rhys dan Darcy. Ia hampir spot jantung mendengar ada keributan luar biasa di lantai dua, bukan di ruangan bawah tanah. Yang disediakan untuk adu tinju sepuas hati. Ruangan seperti itu selalu dibuat pada masing-masing rumah keluarga Giovinco.

"Anda ingin disiapkan air hangat?" tanya Andre sedikit canggung. Pasalnya, kedua laki-laki Giovinco ini tidak kunjung beranjak dari depan pintu kamar nona Laura.

"Kau akan segera mati Darcy. Karena bukan hanya Nolan yang akan membunuhmu karena kau telah lalai dari tanggung jawab dan berani menyembunyikan masalah ini dari kami." Ancaman Rhys terdengar mutlak tanpa melepas pandangan dari sosok Emma. Rasanya ia ingin merengkuh perempuan itu ke dalam pelukannya dan meminta maaf. Tanpa penjelasan, Emma langsung enggan menerima maafnya, maka dari itu Rhys memberi waktu untuk Emma meredakan emosinya. Kenyataannya ia sulit menahan diri saat melihat pakaian yang Emma kenakan sebelumnya terdapat bercak darah yang cukup banyak.

Suara ponsel Emma berdering, membuat orang bertanya-tanya siapakan orang yang menelpon perempuan itu.

Wajah Emma tampak gugup menerima panggilan telpon dari Elena-temannya sewaktu di panti asuhan. Ia menarik napas untuk mengatur suaranya kembali ke sediakala, serta memberi isyarat pada Laura agar menunggunya sebentar.

"Halo Elena...."

"Kenapa kau dari kemarin tidak menjawab panggilan telponku. Juga message dariku tidak kau balas. Aku khawatir sekali, firasatku mengatakan ada hal buruk menimpamu."

"Iya, firasatmu benar. Hari ini aku mendapatkan beberapa jahitan di tubuhku karena kecelakaan kecil. Kau tidak perlu terlalu khawatir, aku tidak akan mati sebelum kembali." Emma tidak akan menceritakan apartemennya ludes terbakar. Elena sungguh akan menyeretnya kembali ke Brasil.

"Ya Tuhan..." Emma memejamkan mata mendengar Elena menangis.

"Kau harus hati-hati sayang. Bagaimana kau bisa terluka sebegitu parahnya? Kau makan dengan baik?"

"Iya. Aku makan dengan baik." Tapi Elena, kenapa akhir-akhir ini sering sekali makanan yang kumakan terasa hambar dan tubuhku terkadang mati rasa?

"Sudah dulu ya. Aku harus pergi bekerja." Lanjut Emma kemudian memutuskan panggilan sepihak.

Laura membantu Emma beranjak dari duduknya setelah semua telah siap berangkat. Sebuah syal tebal dililitkan oleh Laura ke leher Emma, serta sarung tangan berbahan lembut nan tebal untuk menahan hawa dingin mengogoti tubuh dipasangkan ke kedua tangan sahabatnya itu. Beberapa pengawal sudah menunggu di lantai satu untuk mengantar Emma dan Laura menuju stasiun Mentro.

Pandangan Emma terjatuh pada dua laki-laki idiots yang tak kunjung enyah dari depan kamar Laura, sejak semua perbincangan mereka usai. Memang apalagi yang mereka inginkan? Terlebih Rhys, laki-laki itu tidak mengusirnya pergi dari rumah ini ataupun melarangnya pergi. Memang menyedihkan, ia berpikiran seperti itu.

Sudahlah, ia juga tidak mengerti jalan pikirannya sendiri.

Saat Laura dan Emma berjalan melewati kedua laki-laki Giovinco, Rhys berkata, "Kau sudah terperangkap dalam keluarga Giovinco. Jika kau beranjak pergi dari sini tanpa pengawasanku dan izinku, kau bisa mati terbunuh oleh musuhku."

Aku akan membuat dia menjadi milikku!

The Operational Gentleman ♣︎ [COMPLETED]Where stories live. Discover now