23. Another Giovinco

15.8K 1.3K 29
                                    

"Kau merusak suasana hati seorang pengantin perempuan di hari pernikahannya."

Proses pernikahan berlanjut terus ke acara resepsi, Emma hanya menampilkan senyuman tipis. Wajahnya masih terpampang pucat di balik riasan pengantin yang terbalut amat cantik. Rhys juga sering mendapati perempuan itu mendesah berat dikarenakan beban hatinya.

Emma bukan tipe wanita egois dan menuntut banyak hal padanya, bahkan mengikuti hampir semua keinginannya. Mulai dari Emma harus berhenti dari pekerjaan serabutannya, setiap berpergian selalu akan ditemani oleh seorang pengawal, kemudian berhenti dari tampil di theater pinggiran kota serta melarang keras perempuan itu masuk ke ruangan bawah tanah. Dan tidak satu pertanyaanpun yang keluar untuk meminta penjelasan atas hal-hal tersebut. Emma sangat memahami dirinya, dan kenapa ia tidak melakukan tindakan sebaliknya?

"Aku ingin tidur sebentar, nanti kau bisa membangunkanku." Ujar Emma sebelum menyembunyikan diri di balik selimut tebal. Seharian ini tenaganya benar-benar terkuras habis. Akan tetapi, ia tidak mungkin melewatkan malam pernikahan dengan Rhys. Jadi dia memilih jalan tengah, dengan memanfaatkan waktu beberapa menit untuk beristirahat.

"Kemarilah, tidur bersamaku." Rhys menepuk dadanya sendiri, agar Emma bergerak menghampiri sisinya. Emma sedikit ragu untuk tidur di dalam rengkuhan Rhys. Hatinya masih begitu berat merasakan kekesalan atas tindakan acuh laki-laki itu selama seminggu terakhir. Sedangkan di hari pernikahan mereka, laki-laki itu kembali bersikap baik seperti semula, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Sayangnya, Emma belum bisa bersikap santai dan langsung memaafkan perilaku buruk Rhys terhadapkanya.

"Kenapa kau diam saja?" Rhys bergerak mendekat lalu membawa tubuh perempuan tersebut ke dalam rengkuhanya.

Emma menikmati elusan lembut yang diciptakan Rhys di seputar punggungnya. Begitu nyaman hingga menggiring dirinya semakin mengantuk. Sebuah bisikan pelan Rhys menembus ke alam mimpi.

"Maafkan aku telah merusak hari pernikahanmu. Aku mengabaikanmu pada hari-hari kemarin, agar kau tidak terluka menghadapi emosiku."

Benar sekali, Rhys memang begitu mengerikan ketika marah, aura pembunuhnya mengintimidasi orang-orang di sekelilingnya sampai gemetaran. Namun, laki-laki itu juga tak kalah menjengkelkannya, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Laura dan Jenny.

Setelah dirasa cukup lama tertidur, kelopak mata Emma mulai mengerjap membuka. Untuk kali ini ia memaksa dirinya supaya memaafkan perilku buruk Rhys, ia tidak ingin suasana kebahagiaannya rusak karena satu masalah remeh. "Ku harap kau tidak bertingkah menyebalkan lagi, Rhys."

"Aku tidak bisa berjanji. Keadaan terkadang mendesakku untuk bertindak keras. Tapi aku akan mengusahakan untuk tidak mengabaikan dirimu lagi." Jawab Rhys sembari memandang lekat manik mata hitam pekat milik Emma.

Percintaan mereka dimulai dengan sebuah kecupan Rhys di kening Emma, menumpahkan segala kasih sayangnya. Hal yang paling disukai Emma dari Rhys adalah ketika mereka bercinta Rhys seperti memujanya, menghargainya sebagai wanita dan dugaan bahwa seorang pembantai akan melakukan seks kasar, tertepis semua.

Maka dari itu, ia membalasnya dengan menuruti semua keinginan Rhys. Walaupun ia sempat menolak permintaan Rhys agar ia berhenti tampil di panggung theater pinggiran kota yang telah ia geluti selama hampir dua tahun. Akan tetapi Rhys mengusulkannya untuk memasuki akademik musik dan fokus berlatih disana. Sungguh mengejutkan, diam-diam Rhys berfikir untuk membantunya bisa tampil di Bolshoi Theater.

*

*

Pukul dua pagi, ada sesuatu yang memicu diri Emma terbangun. Bukan karena dinginnya malam yang mampu membekukan siapapun, mungkin disebabkan karena Rhys tidak ada sisi ranjangnya. Kemanakah laki-laki itu? Tidak biasanya Rhys meninggalkanya tidur sendirian, seburuk apapun suasana hati mereka yang saling bertentangan.

The Operational Gentleman ♣︎ [COMPLETED]Where stories live. Discover now