44. Gejolak Emosi

14K 1.2K 14
                                    

"Tuhan pasti memberikan seorang bayi untuk kita." 

Rupanya mimpi Emma cukup tergugah atas ucapan tersebut. Kelopak matanya mengerjap terbuka, pandangannya bertubrukan dengan dada telanjang Rhys. Ia juga merasakan deru napas Rhys yang begitu berat namun cukup menenangkan dipendengarannya. Laki-laki itu kini semakin mengeratkan rengkuhannya, membagi kehangatan satu sama lain. 

Entah kenapa perasaan Emma tiba-tiba terhanyut sedih. Sungguh ia bingung pada dirinya sendiri yang tiba-tiba meneteskan air mata. Mungkin karena ia mengalami pramestruasi, jadi semua terasa sensitif. Rhys menyadari kegelisahan Emma, segera melonggarkan pelukannya untuk menatap wajah perempuan tersebut. 

"Kau bermimpi buruk?" Tanya Rhys melembut. Menatap khawatir ekspresi murung Emma. 

Sebuah gelengan kepala pelan Emma berikan sebagai jawaban. Ia merasakan ibu jari Rhys menghapus air matanya yang kala itu jatuh ke pipinya. Kemudian tubuh Emma bergerak untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Rhys. Menangkup wajah lelaki itu diantara kedua telapak tangannya. Emma mendekatkan wajahnya lalu mengecup bibirnya, menuangkah seluruh perasaannya menjadi peraduan yang bergetar hangat. 

Bagaimana jika aku tidak bisa memiliki bayi lagi? Ya Tuhan, kau terlalu banyak menolongku, membuatku bahagia Rhys. Tetapi aku? Apa yang aku punya untuk membalasmu. Aku tidak bisa selalu di posisi menerima terus menerus... Sahut alam bawah sadar Emma bergejolak panas. Ketika tangannya mulai melingkar memutari leher Rhys, dan lelaki itu menindih tubuhnya.

Meninggalkan Rhys merupakan sesuatu yang terbaik untuk kalian berdua... 

Lagi-lagi pikiran negatif merasuki diri Emma. Seberapun dia berusaha mengenyahkannya, sayangnya sisi lainnya begitu kuat mendukungnya jika lebih baik ia pergi meninggalkan Rhys. Meskipun berpisah dari Rhys adalah hal yang paling menakutkan baginya. 

Napas Emma tersengal, dadanya diselubungi rasa sesak. Akhirnya ia segera melepaskan diri dari ciuman. Berganti kini mata mereka beradu intens, "Rhys.. bagaimana jika aku tidak bisa memiliki bayi lagi?"

"Lalu kau akan meninggalkanku? Begitukah jalan pikiranmu." Kelembutan Rhys telah menghilang, yang tersisa sekarang tinggalan kemarahan. Apalagi dugaannya benar adanya, jika Emma berpikir untuk meninggalkannya seorang diri. 

"Kau bisa memiliki seorang perempuan yang bisa mengandung bayimu."

"Ada apa dengamu Emma? Kenapa kau begitu terobsesi untuk memiliki seorang bayi? Kau ingin aku bersama wanita lain?" Jantung Emma terpacu kuat, hingga menghentakan rongga dadanya terasa cukup menyakitakan mendengar ucapan terakhir Rhys. Memabayangkan Rhys bercumbu dengan wanita lain, benar-benar menghancurkan hatinya. 

Rhys beranjak dari ranjang lalu meninggalkan kamar dengan membantingan pintu sangat keras memekakkan telinga. Rhys sangat emosi menghadapi pikiran gila Emma. Apa perempuan itu sengaja ingin membuatnya depresi seperti Hendrik ditinggal oleh istrinya? Tetapi jika hal tersebut benar terjadi, Rhys akan mengurung Emma dalam kamarnya. Melarang perempuan itu pergi kemanapun, sebagai sebuah hukuman karena telah bersikap keterlaluan. 

Rhys tidak akan pernah melanggar keputusannya. Bila Emma bersikap baik dan menurutinya, ia akan menyayangi perempuan itu. Namun, bila Emma melakukan hal sebaliknya. Skenario terburuk dia bisa menarik pelatuk pistolnya ke arah kepalanya sendiri. 

Malam ini mereka tidak tidur saling berpelukan seperti biasanya.. Yah, lebih baik mereka sama-sama mencoba menjernihkan pikiran. 

Sedangkan pagi harinya, mereka berusaha bersikap wajar dihadapan Hendrik saat sarapan berlangsung. Setelah itu Rhys harus bergegas mengantar Emma pergi ke kampus, sebab hari ini ada kelas pagi yang perlu diikuti oleh perempuan itu. 

The Operational Gentleman ♣︎ [COMPLETED]Where stories live. Discover now