43. Harapan

13.1K 1.3K 51
                                    

Siang tenggelam berganti dengan kegelapan pekat. Mereka berdua masih di kediaman Hendrik, melewati makan malam bersama serta mereka berencana untuk menginap malam ini.

Awalnya, interaksi antara Emma dan Hendrik berkesan kaku. Namun, itu bisa dimaklumi karena semua orang akan bingung bagaimana cara menyikapi hal ini jika melalui kejadian yang seperti dirasakan oleh Emma. Rhys dapat melihat ayah dan anak tersebut berjuang mencairkan suasana, menghilangkan kegugupan, membangun keakraban satu sama lain.

"Kau ingin melihat foto-foto istriku?" tanya Hendrik saat usai makan malam. Ia memberikan senyuman tipis seperti biasanya, sisi tegas nan mengerikan berubah menjadi lembut.

"Iya.." Jawab Emma dengan nada terkejut. Sungguh dia kebingungan mencari kata-kata untuk menjawabnya. Pasalnya, Emma jarang sekali berbicara panjang lebar, dan ia lebih menyukai bercakap langsung ke inti permasalahan.

Tiba-tiba Hendrik terkekeh cukup keras. Nada berat khas laki-laki usia lanjut begitu kental di dalam suaranya. "Kau mirip sekali dengaku Em.. Walaupun kau adalah perempuan. Kau pasti benci berbasa-basi. Aku juga benci itu.." Ujar Hendrik kemudian bangkit dari duduknya.

Sedangkan Rhys tersenyum tipis menerima genggaman tangan Emma yang semakin kuat di tangannya. Rhys menyodorkan gelas berisi air putih pada Emma, "minumlah, jangan terlalu tegang sayang.., wajahmu sampai pucat."

Tanpa berpikir lagi, Emma meneguk air putih itu hingga kandas. Ia mengikuti intruksi Rhys untuk mengatur pernapasannya. Perasaan Emma tercampur aduk, sulit untuk di jelaskan. Beruntung Rhys ada bersamanya, jadi ia tidak khawatir harus menghadapi Hendri sendirian, yang notabenya adalah lelaki tua yang sekedar memasang ekspresi biasa saja sudah sangat mengerikan seperti ketika Rhys sedang marah.

Rhys mengaitkan tangannya di seputar lengan Emma. Mengajak perempuan itu untuk mengikuti langkah Hendrik ke suatu ruangan terletak di ujung koridor. Sesampainya, Hendrik mengerluarkan sebuah anak kunci tak lama kemudian daun pintu berkayu mahoni tersebut terbuka.

Di dalam ruangan, ada terdapat puluhan foto Emma Flourenza berbingkai cantik tanpa debu sedikipun. Gambaran Emma Flourenza luar biasa anggun dengan senyuman merekah terpoles lipstick merah.

"Aku mencintai dia.." Ujar Hendrik begitu kalut. Siapapun akan tau jika air mata laki-laki ingin pecah sekarang juga. Tapi dia berusaha menahannya, hanya untuk membuat anak perempuannya tak merasa sedih melihat keadaannya.

"Dia cantik bukan?" Lanjut Hendrik diiringi rasa bangga. Tangannya menyentuh foto Emma Flourenza berukuran paling besar bersandar di Aesel lukisan.

Emma menatap lekat ekspresi menawan Flourenza. Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Mrs. Belle bahwa 'Flourenza adalah wanita yang sangat cantik dan baik hati. Dia juga berjiwa kuat, hingga banyak laki-laki jatuh cinta padanya'. Tapi yang menjadi pertanyaan, kenapa perempuan itu meninggalkan Hendrik? Sekuat tenaga Emma menahan lidahnya untuk melontarkan pertanyaan tersebut. Ini masih terlalu awal menyinggung hal bersifat pribadi, apalagi Hendrik memiliki kenangan buruk mengenai itu.

"Tentu saja dia cantik. Standar wanita bagi para lelaki Giovinco selalu tinggi." Tukas Rhys merusak suasana. Segera Hendrik mendamprat bocah itu dengan sorotan tajamnya. Sayanganya Rhys hanya mendelikan kedua bahunya tanpa dosa.

Hendrik menggeram dalam hati. Asalkan ia lebih dulu menemukan Emma Austen, ia tidak akan membiarkan anaknya menikah dengan keturunan dari Nolan Giovinco yang satu ini. Jelas, Rhys memiliki reputasi paling menjengkelkan dari pada yang lain. Dia bisa membuat orang disekitarnya naik darah.

"Emma. Kita akan memulai dari awal, kita bisa melakukan banyak hal untuk menebus tahun-tahun sebelumnya. Maafkan kesalahan istriku, karena semua masalah ini dimulai dari diriku." Hendrik menepuk bahu Emma sembari menyadarkan dirinya yang masih kunjung tidak percaya jika dirinya telah memiki seorang anak perempuan.

The Operational Gentleman ♣︎ [COMPLETED]Where stories live. Discover now