36. Kenangan buruk

12.7K 1.2K 20
                                    

Peluru yang pernah bersarang di bahu Rhys akhirnya telah diangkat, itu-pun Wilton harus meninju wajah Rhys agar segera sadar memperhatikan kondisi tubuh Rhys yang cukup parah. Wilton paham, betapa Rhys sangat kalut pada keadaan Emma sedang melalui masa kritis dan kini sedang menjalankan operasi untuk mengeluarkan janin yang telah mati.

Wilton menjahit luka lebar Rhys tanpa mengajak kawannya itu berbincang. Namun, atmosfis di antara mereka sangat sesak, sampai Wilton merasa luar biasa muak. Maka dari itu setelah ia menyelesaikan tugasnya, Wilton langsung pergi begitu saja meninggalkan Rhys. Pikiran Wilton juga tak kalah frustasinya dengan Rhys, ia memikirkan apakah operasi Emma jadinya akan berhasil atau tidak?

Perlahan Rhys memasang pakainnya lalu melangkah gontai menuju depan ruang operasi. Duduk sendirian di sana, dengan mata yang tak kunjung lepas menatap pintu ruangan itu hingga lampu merah operasi meredup mati. Dan waktu yang selama beberapa jam terasa menggrogotinya, mulai terspias secara perlahan.

Seorang dokter keluar dari balik pintu operasi, kemudian dia mengatakan bahwa operasinya berhasil, kondisi selanjutnya akan bisa dilihat apakah Emma dapat siuman dalam beberapa jam kedepan atau tidak. Dan Emma juga akan dipindahkan lebih dulu ke ruang pemulihan.

"Kau tidak perlu khawatir, dia masih bisa hamil kembali." Dokter tersenyum tipis, mengakhiri perbincangan singkat diantara mereka.

"Terima kasih."

*

Setelah Rhys dipaksa untuk menunggu lebih lama lagi, akhirnya ia dapat bertemu dengan perempuannya. Membelai pipi Emma, merapihkan anak rambut yang menutupi kening, sambil memperhatikan sebuah selang terpasang di pernapasan Emma, wajah perempuan itu juga sangat pucat tapi bibirnya tetap merekah seperti biasanya. Rhys bergerak mengecup bibir yang selalu ia rindukan dengan lembut dan hati-hati.

"Cepatlah bangun, aku menunggumu." Rhys membisik ucapannya ke salah satu telinga Emma. Sudut matanya memperhatikan kelopak mata Emma masih terpejam nyenyak.

Rhys tak beranjak dari sisi Emma selama dua belas jam lebih, menjaga perempuan itu dalam perlindungannya, tanpa Rhys berani untuk tidur sejenak sekedar mengistirahatkan dirinya. Padahal Wilton bersedia untuk bergantian menjaga Emma, tetapi Rhys begitu bersikeras menolak bantuan itu.

Bahkan Rhys tidak mengijinkan seorangpun masuk ke ruangan inap Emma kecuali dokter yang telah dikhusukan menangani Emma dan orang-orang tertentu yang sudah diberi izinnya. Penjagaan rumah sakit ini juga diperketat. Menutup sebagian besar akses penting, tanpa menimbulkan kecurigaan di tengah banyak orang.

Rhys kembali membelai tangan Emma yang bebas dari jarum infus. Sesekali mengecupnya, sembari menikmati halusnya telapak Emma. Sewaktu jam menunjuk hampir tengah malam, kesadaran Emma kembali perlahan. Pandangannya mengamati sosok Rhys tengah memanggil namanya. Pecahan-pecahan ingatan Emma mulai tersusun kembali.

Tak lama dari itu dokter muncul dan memeriksa keadaannya. Dibalik wajah serius, Rhys tampak mendesah lega setelah mendengar ucapan dokter, lalu perhatiannya kembali kepada Emma.

"Rhys..." panggilnya begitu lirih. Emma merasa dirinya sangat payah walaupun hanya sekedar untuk mengeluarkan suaranya.

Rhys beranjak duduk di samping ranjangnya, "iya..." jawab lelaki itu lembut.

"Bayiku?"

"....." Meskipun Rhys sudah menyiapkan jawaban terbaik jika Emma menyinggung masalah ini, namun ia tetap kesulitan mengatakannya.

Tidak ada jawaban, berarti ada sesuatu hal buruk menimpa bayinya. Emma mengumpulkan jawabannya sedemikian rupa dengan memperhatikan ekspresi Rhys yang tampak kacau dan bersalah. Emma menautkan jemari mereka, "bayiku telah mati, benarkan Rhys?"

The Operational Gentleman ♣︎ [COMPLETED]Where stories live. Discover now