Bagian 17~Murid baru

6.8K 351 4
                                    

Zen baru saja kembali ke kelasnya saat bel sudah berbunyi. Ia langsung duduk di bangkunya dan bertopang dagu. Tanpa mempedulikan teman-temannya yang menanyakan banyak pertanyaan kepadanya.

"Zen, apa kau dengar?" tanya Leo lalu menyentuh bahu Zen. Membuat pemuda itu meliriknya. "Ada apa?" tanyanya dingin. "Kelas kita katanya akan kedatangan murid baru," jelas Leo. "Murid baru?" Zen bingung dengan apa yang di ucapkan Leo.

Tak berapa lama Professor Arley datang bersama seorang pemuda berambut merah dan bermata hijau. "Anak-anak, kita kedatangan murid baru," ucap Professor Arley. "Baiklah, silakan perkenalkan dirimu," lanjutnya ramah.

"Senang berkenalan dengan kalian, namaku Arvie Jacqueline, aku baru saja pindah di kota ini. Mohon bantuannya," ucap Pemuda itu ceria lalu mendapatkan tepuk tangan dari semua siswa kecuali Zen yang memandang ke jendela karena tidak berminat.

"Baiklah, tuan Jacqueline. Silakan duduk di mana saja yang kosong," ucap Professor. "Baik, Prof." Arvie langsung berjalan dengan santai menuju bangku di depan Zen. Pelajaran pun di mulai seperti biasa.

***

Bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi. Professor Arley langsung keluar setelah mengakhiri kelasnya. Zen dan Leo masih membereskan barang-barang mereka yang ada di meja, lalu tiba-tiba Arvie menyapa Zen dengan ramah.

"Halo, Aku Arvie. Kau Zen ya, tadi saat kuis, kau sangat hebat..." ucap Arvie panjang lebar meskipun Zen tidak mendengarkannya.

"Itu bukanlah masalah yang sulit jika kau sering membaca buku," ucap Zen memotong ucapan Arvie dengan dingin lalu berjalan meninggalkannya. "Maafkan dia Arvie. Dia memang seperti itu, kalau begitu aku permisi, sampai jumpa," ucap Leo sambil membungkukkan badan sebentar sebelum berlari menyusul Zen.

"Anak yang dingin," ucap Arvei sambil menyeringai menatap Zen yang berbicara dengan seseorang di depan kelas sebelum dia benar-benar pergi.

***

"Zen, tadi aku dengar kelasmu kedatangan murid baru ya?" tanya Rai. Namun tidak mendapatkan jawaban dari pemuda berambut hitam itu. Ia hanya menatap kearah lain, seperti tidak ingin menatap kakaknya sendiri.

"Zen Apa kau marah?" Merasa tidak di pedulikan, Rai pun bertanya dengan wajah yang sedikit panik. Namun ia sembunyikan. "Siapa yang tidak marah dengan kejailanmu tadi." Bukannya Zen yang menjawab. Nico yang menjawab pertanyaan Rai.

Membuat pria itu tertawa kaku sambil menggaruk kepala bagian belakangnya yang tidak gatal. "Apa tujuanmu lakukan itu?" tanya Zen dingin. Membuat Rai langsung menatapnya. "Eh itu ... Emm ... Aku..." Rai tidak bisa menjawab pertanyaan Zen yang sederhana itu. Ia sendiri bingung mau bagaimana menjelaskannya kepada Zen.

Dia yakin Zen pasti akan marah kepadanya. Meskipun pemuda berambut hitam itu sudah marah kepadanya. "Kau tidak bisa menjawabnya, kan? Pasti itu kejahilanmu, bisa kah kau berhenti menjahiliku, kak?" ucap Zen dingin.

"Ah, baiklah. Aku minta maaf," ucap Rai menyesal. Membuat semua orang yang melihat perdebatan kakak-beradik itu menjadi tersenyum kecil.

Akhirnya mereka telah sampai di asrama. Mereka langsung masuk ke kamar masing-masing dan membersihkan diri sebelum jam makan malam.

***

"Apa kau sudah menemukan petunjuk mengenai pangeran dan putri itu?" tanya suara berat yang keluar dari sebuah bola sihir berwarna hitam yang di pegang oleh seseorang berjubah hitam.

The Legendary Princess [END]Место, где живут истории. Откройте их для себя