Bagian 24~Pertemuan dengan Raja Naga Putih

6.6K 331 7
                                    

Sudah dua bulan berlalu. Tapi, tidak ada tanda-tanda Zen akan terbangun. Tabib sudah keluar masuk kamar Zen untuk memeriksa keadaan Pangeran mereka. Elizabeth tak pernah berhenti mendatangi kamar putranya.

Seperti saat ini. Liza tengah menatap sendu putranya yang masih terbaring menutup mata. Liza berjalan mendekati putranya. Ia genggam tangan Zen. Matanya memanas. Air matanya tidak bisa ia bendung lagi.

Tiba-tiba, ia merasakan jari tangan Zen yang sedang ia genggam mulai bergerak. Ia langsung menatap ke mata Zen yang mulai menandakan akan sadarkan diri. "Zen! Zen, sayang. Kau bangun? Ini Ibunda, apa kau bisa mendengar Ibunda?"

Karena terlalu senang. Liza berusaha memanggil nama Zen dengan semangat. "Ibun ... da," ucap Zen dengan suara yang lemas lalu menatap ke Liza. Liza langsung memeluk Zen dengan air mata yang semakin mengalir deras dari ujung matanya.

Rai dan Alan yang baru saja datang menjadi bingung dan langsung menghampiri Liza. Mereka langsung terkejut saat melihat Zen sudah sadarkan diri. "Cepat panggil tabib!" teriak Alan yang langsung di dengar oleh pengawal di luar kamar Zen. "Baik, yang mulia."

"Aku di mana?" tanya Zen bingung. "Kau berada di kamar Zen. Syukurlah kau sudah sadarkan diri, apa ada yang masih sakit?" jelas Rai lalu bertanya dengan khawatir. "Tidak, sepertinya tubuhku hanya lemas. Tapi, apa yang terjadi?" ucap Zen bingung.

"Lufe." Satu kata itu membuat ketiga orang itu saling bertatapan. Zen langsung menatap Rai. "Kak, kau yang telah membunuh Lufe. Kau membunuh Lufe! Kenapa kau melakukan itu? Dia temanku, teman yang aku punya! Kenapa kau membunuhnya kak!" teriak Zen emosi.

Rai hanya bisa memperlihatkan wajah sedih saat melihat kekesalan adiknya. Liza segera memeluk anak kesayangannya agar membuat Zen lebih tenang.

~~~

Setelah kejadian itu. Zen lebih sering berada di kamarnya. Ia jarang sekali keluar dari ruangannya, membuat semua orang di kerajaan menjadi sedih. Karena, matahari yang biasanya menerangi hidup mereka kini telah menghilang.

Zen yang biasanya ceria, menjadi lebih sering murung. Akhirnya, Rai berangkat bersama dengan Alan untuk melakukan pelatihan sekaligus perang selama lima tahun. Saat, kedua orang itu akan berangkan dengan puluhan ribu pasukan. Liza melepas kepergian mereka seorang diri.

"Di mana Zen?" tanya Alan bingung. "Maaf, Yang Mulia. Zen tidak ingin keluar kamar. Saya sudah memanggilnya berkali-kali, tapi tidak ada respon sama sekali," jelas Liza sedih. "Hah ... Anak itu, masih aja seperti itu," ucap Alan pasrah.

"Tidak apa-apa, paman. Sudah sewajarnya Zen seperti itu. Memang ini karena salahku, aku tidak menyalahkannya jika ia membenciku," ucap Rai sambil tersenyum sedih.

Alan dan Liza sebenarnya merasa kasihan melihat keponakannya seperti itu. Bagaimana tidak? Sejak Zen masih kecil. Mereka berdua sangat dekat. Namun, karena peristiwa itu. Zen menjadi membencinya dan tidak pernah berbicara lagi dengan Rai. Alan dan Liza hanya bisa menghembuskan napas pasrah tanpa mengatakan apapun.

"Baiklah, ayo kita pergi," ucap Alan. Rai hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Hati-hati, Yang Mulia, Rai. Semoga Dewi perang dan Dewi keberuntungan berada di pihak kalian," ucap Liza.

Setelah itu, Alan dan pasukannya langsung berangkat meninggalkan kerajaan. Tanpa ada yang mengetahui. Sebenarnya Zen menatap kepergian Ayah dan pasukan kerajaannya dari jendela kamarnya. Ia tatap pasukan yang semakin jauh meninggalkan kerajaan dengan datar dan dingin lalu ia berbalik, dan berjalan menjauh dari jendela.

The Legendary Princess [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang