Tujuh

27.5K 3.6K 318
                                    

Kamu masih terus meringis di perjalanan pulang. Jongin membagi fokusnya antara kamu dan jalan. Dia benar-benar khawatir.

"Kamu yakin gak mau kerumah sakit?"

Kamu menggeleng, "nggak mau. Pulang aja. Mau nangis aku ini perih banget, huhu."

Jongin terkekeh walaupun dalam hatinya dia benar-benar takut akan keadaanmu yang bisa saja semakin memburuk.

"Iya pulang, beli makan mau ya? Nanti makin perih."

Anggukan kepalamu membuat beban di hati Jongin sedikit terangkat.

"Mau soto ayam," lirihmu seraya menoleh ke Jongin.

Jongin mengangguk, "iya. Ada lagi?"

"Nggak, itu aja."

"Yaudah. Istirahat aja kamunya, nanti aku bangunin."

Jongin mengelus kepalamu pelan lalu turun ke pipimu. Sentuhannya menyalurkan perasaan hangat yang asing. Jantungmu juga berdetak lebih cepat.

Pada akhirnya kamu tertidur. Tanpa kamu sadari Jongin menggenggam tanganmu dengan sebelah tangannya yang tidak digunakan untuk menyetir.

🍁

Tubuhmu sedikit berguncang, seseorang tengah berusaha membangunkanmu.

"(Y/n)? Bangun dulu, udah sampe."

Kamu mengerjap, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matamu.

"Dimana ini?" tanyamu.

"Basement. Aku gak tau apartemen kamu nomor berapa. Kuat jalan gak?"

Kamu mengangguk, "hng."

"Tunggu sebentar."

Jongin segera keluar lebih dulu dengan kantong plastik hitam di tangannya. Dia berjalan memutar untuk membukakkan pintu untukmu.

"Ihh, aku kan udah bilang bisa sendiri. Kamu jadi repot."

Jongin tertawa ketika kamu menggerutu. Tanpa kata, dia merangkul tubuhmu dengan lembut dan berjalan di sampingmu.

Sesampainya di dalam apartemen, kamu segera mempersilahkan Jongin untuk masuk sementara kamu berganti pakaian.

Jongin tengah sibuk memperhatikan desain apartemenmu saat kamu membawakan dua cangkir teh hangat ke ruang tengah.

"Maaf ya aku cuma bisa sediain teh."

Jongin menoleh dan tersenyum, "gak masalah. Lambung kamu udah mendingan? Masih perih?"

Kamu jadi ikut tersenyum, dengan catatan jantungmu yang berdebar lebih cepat ketika melihat senyum milik Jongin.

"Udah mendingan."

Jongin menepuk keningnya, "soto kamu nih. Maaf gak bangunin,  sengaja sotonya dibungkus buat kamu makan diapartemen. Biar abis makan bisa langsung istirahat."

Kamu mengangguk, "makasih ya, maaf ngerepotin."

"Aku sama sekali gak repot," balas Jongin yang lagi-lagi diiringi senyum lembut andalannya.

Kamu duduk di sofa dan mengisyaratkan Jongin untuk duduk di sebelahmu.

"Diminum dulu teh nya, kemanisan gak?" tanyamu ragu.

Masalahnya, selera orang kan berbeda. Kamu termasuk orang yang suka manis, tapi kalau Jongin siapa yang tahu?

Kamu bisa bernafas lega ketika Jongin selesai menyeruput teh nya seraya menggeleng.

"Kayaknya enak kalo pulang kerumah disuguhin teh begini sama istri," ujar Jongin setelahnya.

Kamu tertegun. Apa katanya?

"Hah?"

Jangan salahkan mulutmu. Salahkan saja otakmu yang lambat merespon.

"Iya, kayaknya enak setiap pulang kerja istri udah nunggu dirumah, abis itu disiapin teh anget kayak gini."

Entah kenapa, wajahmu terasa panas. Dan kamu yakin pasti pipimu juga memerah.

Kamu tertawa canggung, "ahaha, iya ya? Tapi kayaknya asik juga nyambut suami pulang kerja."

Jongin seketika meletakkan tehnya ke atas meja dan menghadap ke arahmu.

Ucapan Jongin selanjutnya mampu membuatmu terdiam, dan sepertinya otakmu kali ini memproses ucapan Jongin dengan lebih lambat.

"Nikah sama aku mau?"

Tidak mendapat respon, Jongin meraih sebelah tanganmu dan menggenggamnya.

"Aku mau yang nyambut tiap pulang kerja itu kamu, yang buatin teh kayak gini kamu, yang aku liat setiap hari bahkan setiap jam. Yah, kecuali kalo aku lagi kerja sih."

Sadar Jongin menatapmu intens, kamu menunduk guna menyembunyikan semburat merah di pipimu.

"Jangan bercanda," balasmu seraya tertawa kecil.

Jongin menggeleng, "aku gak bercanda. Aku udah gak mau lagi ngejalin hubungan yang sifatnya main-main. Aku mau serius sama kamu. Aku tau ini terlalu cepet, tapi dibandingkan aku jadiin kamu pacar, lebih baik langsung nikahin kamu kan?"

Kamu menatap Jongin lekat, mencari tahu apakah ucapannya hanya sebatas main-main atau tidak.

Tapi nyatanya, selama apapun kamu menatap matanya, kamu tidak menemukan hal yang janggal. Dia tidak bercanda akan ucapannya.

"Aku gak bisa mutusin ini sendiri. Kamu harus ketemu orang tua aku dulu, minta izin sama Ayah."

Mata Jongin terlihat berbinar. Raut wajahnya menggambarkan kelegaan walaupun tidak 100%.

"Minggu depan kita ke rumah kamu, ya? Aku mau minta izin sama Ayah Ibu kamu buat nyulik kamu ke pelaminan."

Kamu tertawa lalu memukul bahu Jongin, "kamu ih! Masa diculik? Pemaksaan dong?"

"Kamu terpaksa gak kalo seandainya nikah sama aku?"

"Nggak," jawabmu pelan.

Sedetik kemudian kamu menyadari akibat dari kata-katamu barusan. Jongin mengeluarkan seringaiannya.

"Ooo, jadi kamu udah tertarik sama aku ya? Hm?"

Kamu merengut kesal, "kalo aku gak tertarik mana mungkin aku suruh kamu kerumah buat minta izin sama Ayah?"

Sudahlah. Terlanjur juga, pikirmu. Pada akhirnya kamu jadi mengakui perasaanmu sendiri. Ya, tentang kamu yang sudah mulai memupuk rasa untuk lelaki di sampingmu.

"Hehe, berarti perasaan aku gak bertepuk sebelah tangan dong ya? Mau peluk sebentar boleh?" tanya Jongin penuh harap.

Kamu mengangguk dengan ragu, juga berusaha untuk menahan senyummu.

Jongin menarikmu dalam pelukannya. Menghirup aroma dari sampo yang kamu gunakan, dia juga mengelus kepalamu lembut.

"Makasih ya. Minggu depan kita ketemu Ayah kamu buat izin. Setelah dapet izin, baru aku bawa orang tua aku buat lebih lanjutnya."

Kamu mengangguk dalam pelukan Jongin. Tersenyum di ceruk lehernya. Jika diibaratkan confetti, rasanya kamu akan meledak dan hancur menjadi kertas warna-warni.

🍁

Husband Series - Maret 2018

-muffinpororo

[Husband Series] | Kim JonginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang