3. The Gift

3.5K 290 4
                                    

2 Bulan Kemudian

Selamat atas kelulusannya, semoga kamu juga lulus sebagai orang yang angkuh dan seenaknya. ~XX~

Apa ini? Lelucon? Sesuatu yang seolah-olah berasal dari musuh tapi sebenarnya cuma seorang pengagum rahasia? Nah, I don't give a damn. Aku juga sudah 'lulus' dari hal-hal berbau kekanak-kanakan begitu, contohnya dengan mengirim karangan bunga tepat di hari aku diwisuda, dan sang pengirim sengaja menuliskan 'XX' alih-alih inisial nama sebenarnya. Tidak sulit buatku menebak karangan bunga ini adalah hasil kebencian orang-orang yang ingin sekali hidupku sengsara. Mantan pacar brengsek, atau perempuan iri yang selalu menyebut keburukanku di media sosial mereka hanya demi kepuasan sesaat mereka akan dianggap eksis jika menyebut namaku. Mencoba menarik perhatianku? Usaha yang bagus, tapi ... Ah, sayang sekali aku tidak menemukan tempat yang tepat untuk bunga ini selain di tempat sampah.

Itu jika hanya satu karangan bunga. Masalahnya ada beberapa karangan bunga yang berjejer di depan kamarku menutup pintu masuk. Terutama karangan bunga besar yang sungguh genit dengan tampilan spektakuler bunga gerbera yang dirangkai dengan mawar merah. Aku tidak perlu melihat siapa pengirimnya. Siapa pun orangnya ia tahu benar bahwa salah satu penghuni rumah ini adalah pecinta gerbera, dan itu adalah mamaku. Tapi cukup curang untuk tidak bertanya apa bunga favoritku dan seenaknya mengidentikkan diriku dengan bunga mawar. Sungguh pandangan yang kuno. Gadis modern mana yang memilih mawar sebagai bunga favoritnya?

Papaku punya selera yang buruk soal bunga. Atau lebih tepatnya asisten papaku? Karena aku yakin orang sesibuk papa tidak akan sempat mengirimkan bunga, apalagi terlebih dahulu memilihnya. Bahkan lebih masuk akal kalau sebenarnya Papa lupa bunga favorit Mama adalah gerbera, namun berkat asistennya yang patuh dan mencatat semua daftar dengan rapi seperti kedisiplinan pasien meminum obat, Papa tidak harus dipusingkan hal remeh seperti ini.

"Nice present, huh? Tidak biasanya papamu peduli dengan kelulusanmu. Taruhan pasti Arlan yang menyarankan hadiah semacam itu." Mama tampak tidak suka dengan karangan bunga 'spesial' ini. Aku memperhatikan sosok langsing yang masih tampak muda dibalik semua make up dan hair-do yang membuatnya kelihatan tua. Sesore ini sudah berdandan rapi. Sepertinya aku akan menghabiskan malam kelulusanku dengan makan malam sendirian. Sebagai konsekuensi karena punya orangtua yang sama-sama sibuk dan tambahan lagi, keduanya telah bercerai.

"Arlan?" tanyaku mencoba mengingat-ingat siapa yang disinggung mama.

"Asisten papa yang dulu pernah dua bulan tinggal di rumah kita mempelajari Bahasa Indonesia," jawab mama sembari ia memasangkan anting di depan cermin ruang tengah.

Tidak berhasil. Aku tetap gagal mengingat-ingat. Aku tahu papa punya asisten. Tapi aku tidak pernah mendengar nama, umur, bahkan melihat wajahnya secara langsung. Dan sekali dengar pun namanya sangat Indonesia. Untuk apa orang itu mempelajari Bahasa Indonesia?

"Arlan itu orang Indonesia yang ibunya pernah menjadi TKI di Inggris. Tapi ibunya pulang ke Indonesia sendiri dan dia dititipkan di keluarga majikannya."

"Ah, another sad story tentang anak yang ditinggal orangtuanya," ujarku sinis.

"Dia tidak ditinggalkan, Ren. C'mon, it's realistic story. Cukup bijak mempercayakan anak pada keluarga yang bisa memberikan pendidikan yang baik ketimbang membawanya pada kehidupan yang tidak jelas."

Aku menghela napas. Malas berdebat, terutama jika berkaitan dengan pemikiran para orangtua yang secara egois memutuskan menganggap uang lebih penting ketimbang kasih sayang ibu kandung. Siapapun Arlan ini, aku kasihan padanya. Syukurlah aku tidak pernah bertemu dengannya selama ia tinggal di Indonesia karena membayangkan ceritanya saja sudah dipastikan ia orang yang melankolis. Menjual kisah sedihnya tentang bagaimana pahitnya ditinggal orangtua mungkin menjadi satu-satunya topik pembicaraan yang masuk akal untuknya.

"Jadi ... kamu mau pergi?" tanya mama. Pertanyaan yang cukup membingungkanku.

"Pergi ke mana?"

"Ah, jadi kamu belum buka hadiahnya?"

Hadiah? Karangan bunga ini? Bagian mananya yang disebut hadiah? Aku masih mencoba mencari tahu, sampai akhirnya aku melihat amplop coklat yang terjatuh tepat di kakiku. Sebuah kartu ucapan berwarna kuning menempel di bagian luar amplop.

Happy Graduation for my daughter. Here the present for you ~Papa~

***

Lucu memang mengingat-ingat bagaimana impulsifnya aku menerima hadiah kelulusan dari papaku. Bukan sesuatu yang kuinginkan, namun secara kebetulan membuatku merasa untuk sekarang ini, itulah yang kubutuhkan. Melarikan diri sejenak ke tempat yang jauh.

United Kingdom of Great Britain. Aku masih berada di wilayah Inggris Raya. Dan seharusnya sekarang ini aku berada di London. Di tempat papa yang sudah sepuluh tahun terakhir ini dihabiskannya di negara Ratu Elizabeth sebagai diplomat negara di kantor KBRI. Berlawanan dengan rencana awal, detik ini aku malah menghabiskan siangku bercengkrama dengan udara musim semi di sebuah café yang menyajikan menu brunch, istilah popular untuk jam makan yang berada di antara breakfast dan lunch di Edinburgh.

Roseleaf Café, begitu sekilas yang kubaca dari papan nama café ini di luar. Café bergaya medieval yang memang identik dengan bangunan yang mendominasi OldTown. Masih berada di kawasan Royal Mile, sebuah jalan raya utama yang namanya popular karena memang memanjang sekitar satu mil atau sekitar 1,8 km tepat di distrik Old Town, jantung kota Edinburgh. Akibat jet lag yang menyerangku tanpa ampun sejak kedatanganku ke London hingga aku meneruskan perjalanan ke kota ini, aku selalu saja bangun dengan mendapati matahari sudah tinggi. Akibatnya hari ini aku hanya sempat memakan menu brunch-ku yang berupa double potato scone dan orange juice. Aku bersiap meninggalkan café setelah menghabiskan makanku dan memanggil waiter kemudian menyerahkan uang empat puluh poundsterling. Sengaja aku biarkan waiter mengambil kembaliannya sebagai tip. Baru saja beranjak dan mengambil tas ranselku, di saat itu aku menyaksikan sosok berkelebat di sampingku dan berjalan memunggungiku.

Dia ...

Rambut coklat sedikit ikal, sosok tinggi namun kurus yang barusan melintas itu. Tidak salah lagi, aku mengenalnya. Namun malang, aku sangat ceroboh untuk menutup kembali resleting tasku setelah mengambil uang dari dompet. Begitu saja, seisi tasku berhamburan kemana-mana.

Sial.

***bersambung***

PS:

Ngebaca cerita / naskah lama itu perjuangan ternyata. Ngeditnya juga sampai-sampai bikin mikir, "gue mikir apa sih kok bikin scene or nulis kayak gini?" Tapi seru juga baca ulang cerita ini...

Nah gimana dengan kalian? Share yuk

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Where stories live. Discover now