9. The World Without You

1.8K 169 3
                                    

Oke, kebodohanku dimulai saat aku menemukan cincin berlian milik Jane tidak ada di dalam kotak berwarna putih gading itu. Apa yang sudah kuperbuat hingga cincin itu lenyap dari tempatnya?

Kepalaku sakit mengingat-ingat apa yang telah kulakukan di pesawat.

"Ada apa, Jim? Kau kehilangan sesuatu?"

Kakak perempuanku, Julie, bertanya saat ia tiba-tiba masuk ke kamarku.

"Sepertinya. Aku tidak bisa mengingat kemana perginya."

"Apa yang hilang?"

"Ah itu ..."

Kata-kataku terhenti. Aku ingin menceritakan sesuatu, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Apa aku harus mulai dengan ke mana aku menghilang sebulan terakhir ini? Apa aku harus menceritakan aku mencari pelarian kesedihanku dengan meniduri gadis-gadis yang kutemui di Indonesia? Dan perlukah kuceritakan aku mabuk di pesawat dan tidak ingat siapa yang pernah kuajak bicara? Lalu, yang paling bodoh, apa yang kulakukan hingga cincin itu harus lenyap sementara kotak cincinnya masih ada padaku?

Aku pasti sudah gila.

"Tidak ... tidak apa-apa. Bukan sesuatu yang penting," jawabku berbohong.

"Kau yakin?"

Tidak. Aku tidak yakin... tapi, aku merasa sebaiknya aku melupakan cincin itu. Selain harganya, keberadaan cincin itu sudah tidak berguna lagi. Here, melihat kondisiku, mungkin ada baiknya kalau cincin itu benar-benar hilang.

Ya, sebaiknya aku tidak mengungkit lagi.

"It's alright, Jules ..."

"Baiklah, Jim. Kalau kau sudah selesai, makan malam sudah siap. Turunlah kalau kau ingin bergabung makan dengan kami."

Aku mengangguk menanggapi tawaran Julie. Aku menyesal telah membuat satu-satunya keluargaku yang tersisa menjadi repot karenaku.

Sejak aku pulang dari Bali, dan menghabiskan dua hari di London sebelum akhirnya pulang ke Edinburgh, aku memutuskan tinggal sementara di rumah kakak perempuanku. Sudah kubilang, untuk kembali berada di kota dingin ini aku sudah menyiapkan keberanian yang cukup besar, tapi tidak dengan pulang ke apartemen lamaku. Terlalu banyak kenangan tentang Jane dan semua barang-barang miliknya. Terlalu pedih menghirup sisa-sisa aroma tubuhnya dari sprei, bantal dan baju-baju yang ia tinggalkan di apartemenku. Dan kukira, merepotkan Julie dan menumpang tinggal di rumahnya sementara ia sendiri sudah repot mengurusi suami dan tiga anaknya adalah keputusan paling egois yang bisa kupikirkan.

Syukurlah Julie tidak keberatan dengan kehadiranku. Selain karena hanya disinilah aku merasa punya keluarga, aku menyukai lingkungan di rumah Julie. Terletak di kaki perbukitan Arthur's Seat, sebuah tempat yang biasa disebut Duddingston. Meskipun dekat dengan pusat kota, tempat ini masih berupa pedesaan dan lingkungannya cukup tenang. Jendela kamar tamu yang kutempati bahkan tepat menghadap ke danau. Seandainya aku masih memiliki harapan untuk bahagia bersama Jane, sudah tentu menempati rumah yang memiliki nuansa seperti ini adalah impian kami. Aku bahkan berencana membeli cottage di sebuah desa yang agak jauh ke utara. Hanya selangkah lagi, selangkah bagiku menuju kehidupan yang sempurna. Dalam sekejap apa yang ada di depanku sudah tidak lagi terlihat. Kehilangan Jane membuat pandangan hidupku tak lagi sama.

"Uncle Jim, look at my pin ... Cantik kan?"

Jenny, putri bungsu kakakku berseru sambil menghampiriku yang tengah menuruni anak tangga. Ia menunjuk-nunjuk pada jepit berukuran besar warna pink yang ia kenakan di bagian belakang rambut ikal panjangnya yang berwarna coklat terang. Gadis kecil itu memang sangat manja padaku. Aku membiarkan tangan kecilnya menggandeng lenganku.

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Where stories live. Discover now