35. Push Back

1.3K 85 12
                                    


"Dihapus?"

"Ya."

"Kau menghapus part cello-ku? Kenapa?"

Dia pasti gila. Tidak, lebih tepatnya Jim sudah lupa. Tidak, kali ini ia sedang mengigau.

"Bukan itu yang kau bilang kemarin. Kau bilang aku cukup bagus untuk pemula yang mempelajari lagumu. Aku memang tidak percaya diri tapi aku sudah berlatih mati-matian, Jim. Aku akhirnya mempercayai kemampuanku. Kenapa kau sekarang menghapusnya?"

"Aku salah perhitungan."

"Salah?"

"Ya, aku salah. Kalau hanya berlatih kau sudah merasa puas, itu belum cukup. Kau belum tahu rasanya ketika puluhan bahkan ratusan penonton menyaksikan permainanmu. Kurasa kau belum siap."

Wajahku menegang. Tanpa sadar lenganku terkepal menahan dinginnya udara di sekitar kami. Tatapan dingin Jim yang diperlihatkannya padaku, seolah lupa beberapa malam sebelumnya ia memperlakukanku dengan hangat. Meskipun pada akhirnya kami berdua merusaknya. Dan sekarang, saat acara gladi bersih pementasan drama musikal tentang peri buku, secara mendadak Jim yang juga berperan sebagai music director sekaligus pianis memutuskan untuk menghapus part cello-ku. Dan konyolnya, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Lebih lucu lagi pada saat gladi bersih yang seharusnya sudah tidak memungkinkan melakukan perubahan formasi ataupun aransemen lagu. Dia mengubah part berarti Jim juga akan merubah piano-nya.

"Kau pasti becanda, ya kan? Kau tidak akan sempat mengubahnya, pementasan tinggal dua hari lagi."

"Oh aku bisa. Aku bisa mengubah komposisi keseluruhan kalau aku mau. Dan aku memang akan mengubahnya."

"Tapi kenapa kau merasa perlu mengubahnya??? My goodness ... how could you? ... you ..."

"Ini yang akan terjadi kalau kau bergaul dengan orang yang berkecimpung di bidang seni. Perubahan menit terakhir sudah menjadi makanan kami sehari-hari. Tidak perlu risau, kau masih boleh menyaksikan pertunjukan di bangku penonton, atau ..."

"Atau apa?" tanyaku tidak sabar.

"Atau kau bisa kembali ke negara asalmu, bertemu dengan ayahmu yang sepertinya mengalami kesulitan hidup dan menghiburnya. Kau lebih berguna di sana ketimbang di tempat ini."

"Ayahku? Apa yang kau tahu soal ayahku? Siapa yang memberitahumu? Jadi itu alasannya kau menghapus part-ku?"

"Aku selalu punya alasan tepat untuk memutuskan sesuatu. Dan kali ini aku memutuskan kehadiranmu dalam pementasan ini tidak dibutuhkan."

Begitu dingin. Tak sedikit pun aku melihat setitik penyesalan di matanya saat mengucapkan kata itu. Dan sedikit pun ia tidak menatapku. Aku bahkan sangat yakin ia sudah menganggapku tidak ada.

Kejam. Aku bisa menerima jika ia menyingkirkanku karena bayang-bayang Jane, tapi jika disingkirkan dengan cara seperti ini, tanpa alasan jelas apapun yang masuk akal, akan lebih baik jika dari awal ia tidak berniat melibatkanku.

Jemariku gemetar. Cello yang kubawa untuk latihan pun entah kenapa terasa lebih berat kugenggam ketimbang beberapa menit lalu saat aku melangkah menuju ruang latihan King's Theatre, gedung teater tua bersejarah di Edinburgh.

"Jadi ... aku tanya sekali lagi, apa aku sudah tidak dibutuhkan? Bahkan seandainya aku hanya membantu di belakang layar?"

Jim masih belum mau menghadapkan wajahnya padaku, yang mana ini membuatku sangat tidak rela dengan keputusannya yang sepihak. Aku tahu menanyakan ini hanya membuatku hatiku makin hancur. Melihat tatapannya yang mengacuhkanku, mendengar kata-kata dinginnya menghunjam kepercayaan diriku dan kalimat menyakitkan yang meluruhkan semua harapanku.

"Aku sudah memutuskan, Rena ... untuk apa kau tanya lagi?"

"Look at me, you moron! Dari tadi kau bicara tanpa melihatku. Apa kau benar-benar memintaku pergi?"

Kali ini aku bertanya dengan nada nyaris berteriak. Aku bahkan tidak peduli seluruh kru yang juga mempersiapkan gladi bersih beserta pemain anak-anak semua memusatkan perhatiannya padaku yang terlihat putus asa.

Jim tidak menjawab. Tangannya yang sibuk mencoret-coret buku musical scoring-nya terhenti sejenak. Ia meletakkan lagi buku itu di atas grand piano besar miliknya ... lalu menatapku.

"Yes. Aku memintamu pergi dari gedung ini sekarang juga. Jangan datang saat pertunjukan ataupun sebelum dan setelah pertunjukan. Itu sangat sederhana kan? Karena kalau kau cukup pintar menerjemahkan artinya, kau tahu kalau aku pun juga tidak ingin melihat wajahmu lagi."

Rahangku terkatup rapat. Tatapan mata dingin dan tajam itu menelan nyaris semua binar-binar bahagia yang tersisa. Bahkan mungkin tanpa sisa. Tidak, jangan menangis, Rena ... jangan ... oh shit. Mataku ... seberapapun aku berusaha keras menahannya, rasa sesak di dadaku tidak akan sanggup menyembunyikan bulir-bulir bening yang makin deras menggenangi pelupuk mataku. Dan saat wajahku terasa basah, saat itulah aku merasa keberadaanku semakin mengukuhkan kebodohanku.

"Thanks. Sekarang itu jelas bagiku."

Jim tidak menjawab. Dan kurasa memang sudah tidak ada gunanya menunggu jawabannya.

"Terima kasih untuk semuanya, Jim. Aku mungkin tidak menyangka harus mengucapkan selamat tinggal secepat ini. Tapi ... aku memang tidak punya pilihan kan? Semoga pertunjukanmu berhasil."

Apakah itu ucapan selamat tinggal paling singkat? Atau paling menyesakkan? Aku tidak tahu. Tidak tahu ... tapi ... air mataku belum bisa kuhentikan. Aku tidak memberi kesempatan Jim untuk kembali menatapku. Aku tidak mau ia melihatku lagi. Jika ini memang keputusannya, tidak ada artinya aku tetap berada di sisinya, bahkan untuk kami saling bertatapan untuk terakhir kalinya.

Sial kau, Jim. Aku tidak pernah berharap kau mencegahku pergi, tapi ketika kau tidak membalas salam perpisahanku, sedikit saja aku berharap kau merasa tidak rela mengucapkan perpisahan padaku. Tapi aku harusnya menyadari, tidak menjawab bisa diartikan kau tidak pernah peduli. Aku benar-benar bodoh.

Aku tinggalkan cello-ku di ruang latihan, sengaja aku tidak mengambilnya. Dari awal benda itu bukan milikku namun milik Jim yang kupinjam. Aku menyusuri lorong berlantai marmer dingin King's Theatre. Bangunan kesenian dengan dinding-dinding penuh pahatan klasik detail di tepi bingkainya mengukuhkan bangunan bergaya Georgia ini sejatinya memang bukan tempat untukku. Pada awalnya pun keterlibatanku dalam produksi musikal anak-anak ini hanya terbatas aku pencetusnya. Tak ada bakat, tak ada niat. Hanya dukungan dari Jim dan keinginannya lah yang membuatku merasa memiliki pertunjukan ini. Kepuasaan saat akhirnya pemeran tokoh anak-anak selesai terpilih, keberhasilan kru La Harmony yang juga didukung koneksi Derek Hoogan melobi semua peralatan panggung dan gedung theatre yang bisa kami pakai dalam pertunjukan satu hari itu, tidak kusangka hari ini aku menanggalkannya.

The Pleasance theatre, gedung yang direncanakan menjadi gedung pertunjukan gagal dilobi sesuai rencana. Namun Derek, si orang Amerika yang tangguh dan terobsesi menjadi produser children musical milik Jim itu tidak pernah kehabisan akal. Ia berhasil melobi direktur penyelenggara festival seni tahunan, Fringe Festival dan meminta sponsor dari beberapa donatur kesenian dan perusahaan lokal. Proyek ambisius yang dikepalai Derek ini akhirnya berhasil mendapatkan gedung yang sesuai. Mengingat banyaknya jumlah peminat yang ingin menyaksikan permainan piano Jim Morley, the Pleasance Theatre yang hanya berkapasitas tidak lebih dari 180 orang tidak cukup memadai untuk pertunjukan satu hari. King's Theatre menjadi pilihan yang masuk akal. Kami diijinkan untuk mementaskan pertunjukan khusus di satu hari setelah hari terakhir Festival Fringe.

Tapi sampai detik ini, aku tidak membayangkan kata-kata "kami" sudah tidak ada lagi. Aku sudah tidak terlibat. Secara sepihak oleh keputusan Jim.

Selesai.

It's over.

Entah apa yang usai? Aku belum pernah merasa kami memulai sesuatu. Bahkan saat aku masih mencari-cari dan meraba-raba perasaannya, aku telah dipaksa berhenti. Dan tidak pernah ada jalan kembali.

***

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Where stories live. Discover now