13. Life's Struggle

1.4K 148 1
                                    

"Kau ... seorang Jim Morley, sang pianist itu ... mau bekerja di tempat ini? Apa aku tidak salah dengar?"

Aku tidak percaya ini.

Ditambah aku sangat gatal ingin menjelaskan beberapa hal penting tepat di mukanya. Tentang seorang komposer jenius dari Austria yang diberkati kemampuan tala mutlak. Kau tahu artinya? Ya, kemampuan mengenali nada-nada atau yang biasa kau sebut not balok secara mutlak, tidak meleset satu pun. Wolfgang Amadeus Mozart. Kau pikir musisi jenius itu dielu-elukan sepanjang hidupnya? Hah, kau pasti terkejut kalau tahu bahwa sosok sehebat dia pernah mengalami depresi berat dalam hidupnya. Bayangkan saja saat di usia enam tahun ia berhasil menciptakan symphony pertamanya. Tidak cukup hebat? Di usia dua puluh satu tahun, ia telah menciptakan tiga ratus komposisi gubahannya. Aku tidak akan terkejut kalau tuntutan kesempurnaannya membawanya pada tekanan demi tekanan yang dialaminya. Termasuk tekanan dalam dirinya untuk bertahan dalam keterpurukan ekonomi, dan penolakan gadis yang dicintainya karena musisi berbakat itu terlalu miskin.

Dan ini yang paling legendaris, Beethoven, the deaf classic musician. Mungkin dalam proses penerimaan atas kondisi hilangnya pendengaran yang dialaminya, pencipta sonata Moonlight itu pernah ingin bunuh diri. Berpikir seluruh karirnya akan habis jika tak lagi ada suara yang bisa ditangkap indera pendengarannya.

Sebut saja itu masa titik balik dalam hidup mereka, masa istirahat, masa pemulihan, masa pengembalian kepercayaan diri, etcetera ... etcetera, you named it.

Kalaupun tokoh se-legendaris mereka diizinkan untuk rehat dari hingar-bingarnya musik yang menjadi sumber penghasilan, kenapa hal itu tidak berlaku padaku? Dan kenapa seseorang harus memandangi sedemikian heran hanya karena aku mencoba melamar pekerjaan yang jauh dari profesiku sebagai pianist?

Ok, tidak benar-benar jauh dari bidangku, musik. Tapi sangat jauh dari apa yang biasa aku lakukan.

"Why? Kenapa? Kenapa kau ingin bekerja di tempat ini?" tanya si pewawancara yang kuketahui bernama Derek. Nama Amerika. Logatnya juga sangat Amerika. Termasuk rasa ingin tahunya yang menyebalkan.

"Because I need money. What else?"

"Money? You are Jim Morley, for god's sake. Kau bisa mendapatkan uang dengan konser-konsermu, bergabung di orkestra, bermain solo atau sekedar di belakang layar sebagai penata musik. Apa yang bisa kau dapatkan di sekolah musik konyol ini?"

"And who are you? Pekerjaanmu adalah mewawancaraiku, menilai kemampuanku layak atau tidak menjadi pengajar di sekolah musik keparat ini. Bukannya memberiku ceramah soal profesiku dan apa yang seharusnya aku lakukan."

Oke, ini membuatku kesal. Dan aku tidak malu menyalakan rokok saat sedang diwawancarai seperti ini. Aku merasa ditolak bahkan sebelum aku mengenalkan diriku sendiri. Ah, sial .... Lighter-ku bahkan membuat masalah dan tidak mau menyala.

"Here ..." Tiba-tiba saja pria bernama Derek itu telah menyodorkan lighter dan menyalakan rokokku.

"Thanks," ujarku tanpa sungkan menghisap lintingan tembakau dan mengepulkan asap bahkan tepat di hadapan si pewawancara. Kelihatannya dia juga menjabat manager di tempat ini. Aku tahu beberapa orang yang mengenaliku sebagai pemain piano, tapi aku jarang berbicara lama kecuali kalau aku mengenal mereka. Dan pria ini, seriously .... Dia sunggu tidak sopan menghakimiku tiba-tiba bahkan sebelum aku menyampaikan niatku.

"Yah, maafkan kalau aku lancang, tapi aku selalu kagum dengan karyamu. Apa kau tahu kau itu pianis yang banyak menerima pujian? Majalah seni selalu memberitakan penampilanmu sebagai sesuatu yang ditunggu. Bahkan untuk Fringe Fetival nanti, aku bisa menjamin kursi penontonmu akan selalu penuh."

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Onde histórias criam vida. Descubra agora