18. (Un)expected Meet

979 80 1
                                    

Berbekal permintaan itu, aku akhirnya sampai di tempat ini. Ya. Tempat yang disebut sekolah musik ini tidak lebih besar ketimbang wisma yang kami tempati. Meskipun bergaya Georgia, sekolah ini seperti ditata seenaknya. Interior klasiknya terpaksa berbaur dengan atribut-atribut minimalis modern. Aku terbiasa melihat gaya Georgia atau Medieval baik untuk bangunan ataupun interiornya. Namun melihat ruangan ini sama seperti menyaksikan gedung Scottish Parliament yang kontroversial sebagai gaya arsitektur "perusak" pemandangan bahkan lebih buruk.

Ruangan atau yang disebut kantor administrasi pun tampak lengang. Komputer di ruangan ini berjejer tanpa sekat. Karena sempitnya ruangan membuatku yang sedang berada di ruangan khusus tamu ini leluasa memperhatikan aktivitas karyawannya. Itu pun kalau hanya dua orang bisa disebut sebagai karyawan.

"Jadi, apa kau sudah memutuskan akan mengambil kursus alat musik apa?" tanya laki-laki yang dipaksakan beraksen Inggris. Tidak, sepertinya aku mendengar aksen Amerika dari caranya bicara.

Aku kembali menatap Arlan, mencoba mendapatkan dukungan atas apa yang akan kulakukan. Namun, sayangnya, makhluk satu itu tidak terlalu supportive dan lebih memilih menggelengkan kepalanya. Ya, aku tahu ia menganggapku konyol untuk mendaftar di sekolah musik ini hanya supaya aku bisa leluasa bertemu dengan Jim Morley tanpa harus berpikir keras apa alasan utamaku mencari keberadaannya.

"Bisakah aku mengambil jurusan piano saja tapi dengan pengajar Jim Morley?" tanyaku berusaha menawar dari apa yang ditawarkan kurikulum sekolah ini. Karena terus terang saja, kalaupun aku terpaksa mempelajari alat musik, aku mau alat musik itu cukup dikenal dan bunyinya sangat kusukai. Bukan alat musik bernada bass, yang bahkan untuk memegangnya saja sudah repot. Pria di hadapanku sepertinya memandangku dengan sedikit muak.

Muak? Hei, apa salahku?

"Oh, dear .... Kau orang keseratus sekian yang menanyakan hal itu dan meminta hal yang sama," jawab pria itu dengan mimik wajah yang menyebalkan. Siapa sih orang ini?

"Kalau soal aku orang keseratus yang meminta hal yang sama, bukankah lebih baik kau mengabulkannya? Sekolahmu pasti dipadati murid."

Dan tentu saja kau jadi punya dana lebih untuk mendandani interiornya sedikit.

"Tentu saja aku mau sekalipun aku harus memecat guru piano di sini, tapi itu tidak mudah, nona ... Jim Morley sendiri menolak mengajar piano."

"Why?"

"Like the hell I know, memangnya aku ibunya?"

Kata-katanya yang menyebalkan dan sok kuasa itu aku asumsikan dia sendirilah pemegang jabatan tertinggi di tempat ini.

"So .... Do you still want to get in? Or not?" tanyanya lagi. Kali ini dengan nada mengultimatum. Kalau saja tidak ada Jim di tempat ini, dengan mudah aku meludahi pria menyebalkan di depanku. Dia pasti orang Amerika.

"Ok. Aku mendaftar."

"Renaaaaa," geram Arlan yang acuh tidak acuh mendengarkan percakapan ini, "Ini konyol," sambungnya lagi, tapi aku terlalu sibuk untuk mempedulikan protesnya.

"I'm sorry, what's your name, sir?" tanyaku pada pria Amerika itu.

"Derek Hoogan."

"Ehm, Mr. Hoogan .... Apakah hari ini ... Jim ... I mean, Mr. Jim Morley ada kelas mengajar?"

"Yes, Miss."

"Ummm, kalau boleh ... aku ingin melihat sedikit pelajarannya. Maksudku, aku baru saja ingin mempelajari cello, sekedar mengukur apakah sekiranya aku bisa mengikuti atau tidak arahannya."

Derek terlihat berpikir.

"Aku tidak ada masalah dengan hal semacam itu, tapi aku tidak tahu kalau Jim akan mengijinkan atau tidak. Dia cukup menerapkan aturan saat mengajar. Jadi ..."

"Tidak perlu. Kami akan pulang," potong Arlan seketika. Aku mendelik ke arahnya.

"Tapi ..."

"Kita tidak punya waktu, Rena. Kamu sudah mendaftar sebagai murid. Masih banyak waktu."

"Hey, jangan menyeretku!"

Aku baru saja memprotes perlakuan Arlan karena seenaknya menarik lenganku setelah aku menandatangi formulir dan menyerahkan sejumlah uang sebagai biaya pendaftaran. Namun saat di depan pintu, sebelum Arlan menjangkau pegangan pintu, secara tiba-tiba pintu terbuka dari arah luar.

Lututku menegang dan sekujur tubuhku mengalirkan aliran listrik yang membuat langkahku terhenti seketika. Sosok yang tengah memasuki ruangan ini ... sosok itu, dia ... telah menjadi obyek pencarianku selama tiga bulan terakhir.

Pria bermata hijau cemerlang itu, sekarang dia tengah berdiri di depan pintu. Jim Morley.

"Oh, I'm so sorry. Apa aku menghalangi kalian?"

Entah ditujukan untuk siapa ia menunjukkan kesopanannya. Padaku? Atau Arlan yang saat ini berdiri di depannya. Aku masih tidak mampu bergerak dari posisiku berdiri saat ini. Lidahku kelu, mulutku terkunci. Fakta bahwa ternyata aku tidak siap bertemu Jim membuatku merasa gamang. Aku mencengkram erat lengan baju Arlan dan tanpa sadar menyembunyikan diriku di belakang pria itu.

"Tidak. Kami baru saja akan keluar. Ayo, Rena ..."

Aneh. Kali ini aku tidak melawan Arlan dan membiarkan asisten papa itu menggandeng lenganku. Sekilas aku menangkap kilasan tatapan mata Jim. Sorot mata itu ... aku memimpikannya setiap hari, namun ... aku terlalu pengecut untuk benar-benar berdiri di depannya, menatap matanya dan menyapanya dengan lantang, "hei, aku menyimpan cincin tunanganmu selama ini, kau ingat?"

Aku benar-benar bodoh.

Pintu di belakang kami tertutup. Bayangan Jim seketika lenyap dan suara-suara dari balik pintu itu seperti memudar seiring dengan langkah kaki dan Arlan yang menjauhi ruangan tadi.

Aku masih merasakan lututku yang lemas dan detak jantungku yang tidak beraturan.

"Dari reaksimu, aku yakin laki-laki yang baru datang tadi adalah Jim Morley. Apa-apaan kamu ini? Kamu seperti melihat hantu ketimbang seorang pria yang berbulan-bulan kamu kejar."

Aku tidak menjawab dan buru-buru berjalan ke arah mobil. Masuk, lalu menelungkupkan kepalaku di atas dashboard. Merayakan kebodohanku karena membuang kesempatan satu-satunya untuk bertukar salam ataupun menyapa pria yang telah membuatku meletakkan begitu saja harga diriku untuk mendatangi kota ini.

"Oh my .... Sekarang aku tahu kenapa kamu butuh alasan untuk menemuinya. Perkara sekolah musik dan mendaftar sebagai siswa ..."

"Diam dan nyetir saja!" seruku.

Dan sepanjang perjalanan aku harus bertahan dengan tawa geli seorang asisten yang merangkap sopirku.

Ini penyiksaan ...

Dan jantungku ..., seolah-olah bisa berhenti berdetak kapan pun.

***

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Where stories live. Discover now