44. White Dress

1.2K 57 1
                                    

"Kamu dan Arlan? Dalam mimpi pun aku tidak menyangka kalian benar-benar akan menikah."

Ya aku tahu itu.

"Apa kamu yakin Arlan tidak memaksamu untuk menikah dengannya?"

Apa yang ini aku harus menjawabnya?

Terkadang Astrid bisa sangat menyebalkan juga. Ia terus saja menggodaku setiap ada kesempatan betapa sangat aneh menurutnya kalau akhirnya aku dan Arlan benar-benar memutuskan untuk berpacaran serius. Hanya selang beberapa bulan saja sejak kami menjalin hubungan, Arlan langsung mengatakan niatnya untuk melamarku di hadapan papa dan Astrid. Reaksi papa sangat terkejut, mungkin dikarenakan memang beliau sama sekali tidak menyangka mantan asistennya berani meminta anak perempuannya untuk dijadikan istri. Sementara Astrid, tidak terhitung dari awal hingga saat ini ia masih menertawakanku. Demi Tuhan, Arlan itu pernah menjadi mantan pacarnya. Bisa tidak wanita yang sekarang berperan sebagai ibu tiriku itu tidak meledekku terus-menerus?

"Benar kan? Si brengsek itu yang memaksamu menikahinya kan?" tanyanya lagi dengan kedipan nakal. Aku gemas dan menarik buket bunga dari tangannya.

"Ya, Arlan yang memaksaku untuk menikahinya. Kamu bisa bilang meskipun dia memaksa tapi paksaannya berhasil meluruhkan hatiku. Puas?" jawabku sambil mematutkan bunga itu di samping gaun pengantinku.

Gaun pengantin ya.

Wedding dress.

Gaun putih cantik dan bersih symbol dari kesucian cinta yang ditawarkan sepasang insan yang mengikat janji saling berdampingan sehidup semati. Ya saat ini aku tengah mengenakannya.

Tidak, aku mengenakan ini bukannya mendapat job sebagai model gaun pengantin seperti tahun lalu saat aku menangkap basah perselingkuhan pacarku. Bukan juga untuk mematut-matutkannya di depan cermin semata untuk menentukan gaun mana yang terbaik. Itu sudah aku lakukan berbulan-bulan lalu.

Aku memakainya karena sederhananya ... hari inilah hari besarku.

Aku dan Arlan akan menikah hari ini.

Sedari tadi aku mendengarkan ocehan Astrid ide aku menikah dan Arlan adalah sangat aneh baginya. Aku tahu aku juga merasa aneh bahwa tanpa berpikir panjang aku menerima lamaran Arlan. Bukan karena aku benar-benar jatuh cinta setengah mati padanya. Ya aku pun menyukainya. Menyukai sikapnya yang kadang kontradiktif. Sangat pendiam di satu waktu, namun bisa sangat ribut dan cerewet jika menyangkut kelalaianku.

Tapi memang seperti itulah hubungan kami. Kenyamananku dibangun dari kedewasaaan sikap Arlan yang sangat protektif. Aku tidak punya karakter yang terlalu mengagungkan kebebasan seperti Astrid, dan bagiku aku tidak terganggu dengan sikap Arlan.

Singkat kata, kami adalah pasangan normal. Tidak selalu cocok dalam segala hal namun cukup toleransi mengatahui perbedaan cara pikir masing-masing. Ia menyayangiku dan melindungiku. Sementara papa ku mengenal baik Arlan sejak lama dan tahu pria itu tidak akan pernah berniat menyakitiku. Maka aku memutuskan untuk menerima lamarannya. Memperpanjang masa pacaran kami hanya membuatku makin dibayang-bayangi sosok yang sampai detik ini tidak pernah hilang dalam kepalaku.

Sosok tinggi kurusnya, rambut ikal kecoklatan, sentuhan jemarinya di atas piano dan denting melodi yang ia ciptakan dalam komposisinya.

Jim Morley ...

Merindukannya teramat sangat menyakitkan. Kata yang memintaku menunggunya berulang-ulang menari di benakku. Namun setiap waktu yang kuhabiskan tidak juga menunjukkan tanda-tanda dia mengingatku.

Hingga di satu titik Arlan menyadarkanku bahwa cinta yang kupunya untuk Jim teramat tidak realistis. Mungkin itu pula kebodohan mantan asisten papa itu untuk tidak menyerah mendekatiku meskipun aku masih mencintai pianis Skotlandia itu. Dia tahu cintanya untukku tidak bisa mengalahku perasaanku pada Jim Morley. Tapi Arlan menerimanya sebagai bagian dariku. Bagian dari resiko karena mencintaiku yang masih mencintai Jim.

"Kamu cantik, Rena. Arlan pasti akan sangat kesulitan menahan diri untuk tidak menciummu dan menarikmu ke ruangan sepi supaya kalian berdua bisa bermesraan tanpa diganggu tamu undangan," puji Astrid yang masih juga diselipi keusilannya menggangguku.

"Itu lucu sekali, Astrid. Berhentilah menggodaku."

"Oke baiklah, sekarang ayo bersiap-siap. Arlan sudah menunggumu."

Aku menarik napas dan berusaha menegakkan badanku. Dalam beberapa jam ke depan aku akan menjadi Nyonya Arlan Rizza. Ini lebih menegangkan ketimbang saat aku akan naik ke panggung pementasan untuk memainkan cello berduet dengan Jim Morley.

Sial. Lupakan soal Jim, Rena ...

Lagi-lagi aku menarik napas dan menghembuskan pelan-pelan.

Aku bisa melalui ini semua.

I can through this .... Pasti.

Yah, semoga ....

***

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang