38. Going Solo

574 44 0
                                    

"Jim ..."

"..."

" Hey, Jim ... Are you ok?

Mataku terbuka. Menangkap samar-samar cahaya redup yang melatari ruang ganti yang saat ini tengah sepi. Mungkinkah beberapa saat lalu aku sengaja mematikan satu atau dua lampu karena terlalu silau? Tapi dalam keremangan seperti ini aku masih bisa mengenali wajah yang dibalut make up panggung dan kuku yang mengkilat warna-warni, Kyle.

"Astaga, kau berkeringat. Kami semua mencarimu karena sebentar lagi pertunjukan akan mulai. Tidak lucu kalau semua pemain sudah bersiap di belakang panggung sementara kau tertidur di ruang ganti."

Aku mencoba menegakkan dudukku. Mengingat apa yang telah kulakukan sebelum terbangun seperti ini dan mendapati gelas wine di dekatku sudah berada dalam posisi tumpah dan membasahi meja rias. Ya, aku ingat... aku memutuskan minum segelas untuk membuatku sedikit tenang. Tapi ketenangan itu justru membawaku pada mimpi-mimpi dan ingatanku tentang Jane. Bahkan Renata.

"Dan ternyata kau malah minum. Sungguh kau itu benar-benar susah ditebak. Untung saja kau hanya tertidur dan bukannya mabuk. Berdirilah.. akan kurapikan sedikit pakaianmu."

Aku membiarkan Kyle meraih kerah kemejaku dan mengikat kembali dasi kupu-kupu yang sekali lagi aku tidak ingat kapan aku melonggarkannya.

Aku berdehem sedikit, semata hanya supaya Kyle sedikit melonggarkan jaraknya, karena dari posisi berdiri kami yang sedekat ini, aku bisa melihat jelas belahan dada-nya. Aku memang tidak mabuk, tapi aku tidak ingin sedikitpun perhatianku teralihkan. Tapi,... syukurlah dia Kyle. Dari awal aku tidak punya percikan perasaan apapun padanya.

Bagaimana jika saat ini Renata-lah yang berdiri di depanku? Meraih jasku dan mengepaskan lagi di tubuhku. Apa aku merasakan hal yang berbeda?

Hentikan, Jim ...

Kau sudah tidak ada lagi urusan dengan gadis itu. Naïf sekali jika kau berpikir setelah kau mengasarinya dengan kata-kata yang tidak masuk akal untuk mengusirnya, kau masih berharap gadis itu muncul di depanmu.

"Aku tahu ini bukan urusanku. Kenapa kau menghapus peran serta Renata dalam pertunjukan ini? Apa karena pertengkaranmu saat di apartemenmu waktu itu?" tanya Kyle dengan tangannya yang masih sibuk merapikan jasku hingga mendudukkanku dengan paksa. Sebentar kemudian ia mengambil peralatan rias untuk mengelap keringat dan membedaki wajahku sedikit.

Aku menghela napas. Aku tahu keputusanku di mata orang-orang yang mengenalku pastilah teramat ganjil. Bahkan aku pun tidak yakin keputusanku benar. Mengubah part cello dalam komposisi terakhir sebagai pamungkas drama musikal ini? Aku memang gila. Tidak, aku memang tidak meragukan kemampuanku untuk mengadaptasi cepat perubahan dalam komposisi yang kuciptakan, tapi aku telah kehilangan sentuhan keindahan gesekan cello yang keluar dari jemari Renata. Jemari yang beberapa minggu ini menemani kesepianku dan membangkitkan kepercayaan diriku.

"Bukan apa-apa. Aku merasa dia belum siap,"

Hahhh. Aku bahkan masih saja bisa berbohong.

"Aneh sekali, aku rasa dia tidak kelihatan seperti amatir. Sekalipun dia melakukan kesalahan saat di panggung nanti, kurasa tidak akan ada yang memarahinya jika tahu gadis itu belum ada sebulan berkenalan dengan alat musik cello."

Aku pun berpikiran seperti itu. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan teknik. Bagiku drama musikal ini terwujud dengan demikian spektakular pun rasanya tidak pernah terbayangkan di kepalaku. Sesuatu yang tercetus secara tiba-tiba dari ucapan gadis itu, tak kusangka akan sedemikian besar impact-nya. Dari kesemuanya, aku tidak pernah menyangka akan tiba saatnya kolaborasi pertamaku berkarya dengan Jane yang ironisnya saat kolaborasi ini terwujud, Jane tidak lagi ada untuk menyaksikannya ataupun bahkan sekedar menerima pujian dari penggemar karyanya. Kolaborasi pertamaku dengan Jane, kulakukan dengan meminta peran serta gadis lain. Ironi dibalik sebuah ironi lain.

Dan sekarang ini pun aku terjebak dengan ironi yang kuciptakan sendiri.

Betapa pun aku menyangkal tak bisa melupakan Jane dalam waktu singkat, saat ini seluruh aliran darahku bergejolak karena memikirkan gadis lain. Jadi begini rasanya menanggung penyesalan telah meniadakan peran Renata dalam produksi ini, dan sungguh ... aku tidak pernah membayangkan penyesalan yang kualami akan sampai pada titik ini. Titik yang membuatku putus asa.

"Kudengar ... hari ini pesawat Renata akan membawanya kembali ke negaranya," ucap Kyle berhati-hati.

Aku terhenyak. Jadi dia benar-benar tidak akan bisa kutemui lagi.

"Benarkah?"

"Ya. Mungkin pesawat mereka baru lepas landas. Beberapa jam lalu, Renata meneleponku. Aku tidak begitu menyukai gadis masam itu, tapi dia begitu perhatian pada pertunjukan ini. Jadi ya, aku sedikit simpati padanya."

"Kyle .... Tolong jangan bicarakan dia lagi, oke?."

Wanita di depanku itu terdiam lalu mengedikkan bahunya.

"Oke. Kalau maumu seperti itu."

Aku butuh melenyapkan suara-suara yang mengutuk diriku karena apa yang kulakukan atas Renata. Gadis itu telah kembali terbang ke negaranya. Sesuai yang kuperkirakan dan seperti yang seharusnya. Aku sudah tidak bisa mengubahnya lagi, dan seharusnya memang aku tidak mengharapkan apa-apa lagi.

"Okay, done. Cepat kau bersiap-siap. Intro sudah dimulai."

Aku tidak menunggu apa-apa lagi. Dan memang tidak ada yang ditunggu.

Pertama kalinya dalam sebuah pertunjukan aku tidak melihat siapa pun sosok yang kuharapkan untuk mendukungku. Tidak Jane, tidak juga Rena.

***

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang