23. Back And Forth

764 70 1
                                    

Patung?

Tidak, lebih tepatnya boneka. Boneka terbuat dari porselen berwujud seorang Scottish yang mengenakan tartan kilt dominasi warna hitam merah, mengenakan penutup kepala hitam berbulu dan meniup bagpipe. Berukuran sepanjang ujung jari tengah hingga pergelangan tangan orang dewasa. Boneka khas Skotlandia itu tergantung dan bergoyang di depan mataku. Lebih tepatnya menggodaku.

"Why you look so gloomy. It's sunny day~"

Aku mengenali suara ini. Meskipun suaranya dibuat secempreng mungkin untuk meniru suara anak kecil (atau boneka?), tetap saja suara dalam dan khasnya lebih bisa kuingat. Tapi bukan itu yang penting. Boneka itu ... boneka itu ...

"Lucunya," seruku seketika meraih boneka Skotlandia itu dan mengabaikan siapa pemberinya.

"Benarkah? Kamu menyukainya? Ternyata kamu murahan juga?"

Aku menyikut keras perut Arlan sampai dia mengaduh kesakitan.Terserah sajalah. Salahnya karena mengulurkan boneka itu padaku. Dan aku akan menerimanya dengan senang hati. Meskipun itu artinya aku menerima sogokan Arlan dan membiarkan laki-laki itu mengambil tempat di sampingku.

Sejak aku dan Astrid selesai menyaksikan Millitary Tattoo, Astrid memutuskan menemui kawan jurnalisnya dan mereka punya agenda untuk meliput sebuah opera di sebuah opera house ternama di Edinburgh, The Edinburgh Festival Theatre. Opera berjudul Fidelio. Tentang perjuangan hidup seorang Ludwig Van Beethoven. Astrid tentu saja mengajakku dan aku sebenarnya lumayan tertarik. Hanya saja aku terlalu lelah, dan itu artinya dia harus meninggalkanku dan membuatku duduk di sebuah taman yang juga dipadati pengunjung. Taman yang juga pernah kudatangi bersama Christian saat aku masih mengira Jane Ruthven masih hidup. Prince's street Garden. Di sini pula, asisten papa itu memintaku menunggu sebelum ia menjemputku.

"Aku kira kamu tidak suka orang Skotlandia yang memakai kilt dan bagpipe," ujarku meneliti setiap detil boneka ini. Souvenir yang cantik.

"Aku hanya tidak suka bunyi alat musiknya. Melihat secara langsung rok itu dikenakan laki-laki Skotlandia juga aku tidak suka, tapi aku bisa tahan kalau hanya membeli souvenir-nya."

Aku tersenyum mendengar alasannya. Aku memperhatikan sedikit penampilannya. Selama beberapa hari di Edinburgh, aku nyaris tidak pernah melihat Arlan menanggalkan penampilan resminya. Ia selalu mengenakan kemeja polos dan jas musim panasnya. Namun kali ini aku melihatnya hanya mengenakan t-shirt V neck gelap yang memperlihatkan jelas lekuk ototnya. Bukan hanya itu, Arlan juga mengenakan celana jins yang lebih santai. Rupanya pria kaku ini bisa berpenampilan santai juga.

"Kenapa? Apa yang salah denganku?" tanyanya mencoba menerjemahkan pandanganku.

"Tidak ada. Kau cuma kelihatan berbeda ketimbang biasanya."

"Aku tidak kelihatan berbeda. Aku memang sengaja terlihat berbeda. Baguslah kamu memperhatikan. Kupikir akan susah menarik perhatianmu setelah apa yang terjadi semalam."

Aku terkesiap. Arlan tahu soal semalam? Apa kira-kira yang ia tahu?

"Aku melihatmu, Rena .... Aku melihatmu keluar dari apartemen laki-laki itu. Kamu keluar dengan wajah paling sedih yang pernah kulihat."

Ingatanku kembali ke peristiwa semalam. Arlan tahu aku keluar dari apartemen Jim? Kenapa aku tidak mengetahuinya?

"Ahaha .... Jadi ternyata malam itu kamu datang juga. Tahu begitu aku tidak usah pulang berjalan kaki meskipun dari wisma kita ke apartemen Jim hanya dua puluh lima menit," ujarku berpura-pura menganggap semua ini lelucon.

"Dasar pembohong. Aku tahu kamu tidak langsung pulang. Dan aku melihatmu minum di Greyfiars Bobby's pub. Kamu sangat berantakan ..."

"Dan kamu menunggu di luar? Tanpa menegurku atau memaksaku pulang?"

"Aku sangat ingin melakukannya. Memaksamu pulang. Tapi kupikir ... mungkin saat itu kamu tidak suka jika aku tahu tentang keadaanmu yang seperti itu."

Sekarang pun aku juga tidak suka kau tahu situasiku, Arlan.

"Jadi kamu melihatku dalam keadaan yang paling menyedihkan?"

"Maaf. Aku cuma mengkhawatirkanmu. Awalnya aku berniat menjemputmu dan mencegahmu melakukan sesuatu yang mungkin kamu sesali. Dan ternyata aku terlambat. Tapi aku juga tidak punya hak untuk menghakimi apa yang kamu lakukan."

"Apa yang mungkin kulakukan? Aku cuma orang bodoh. Dibutakan semata-mata karena dia satu-satunya orang yang membuatku melakukan sesuatu sejauh ini. Dan ketika aku sadar aku bukan siapa-siapa, aku merasa perlu menghibur diri sendiri."

"Aku bahkan tidak terkejut melihatmu sepanjang malam itu lebih memilih tertidur di sebuah meja pub yang sepi."

"Mengejutkan. Kamu bahkan menungguiku di luar sampai pagi."

"What can I say? Kamu gadis terbodoh yang pernah kutemui. Aku cuma memastikan tidak ada laki-laki bodoh yang berani mengganggumu saat situasimu tidak memungkinkan untuk melawan mereka."

Aku mendengus.

"Yes, you right. Aku orang paling bodoh."

Aku pura –pura sibuk memainkan boneka Skotlandia itu. Berharap obrolan semacam ini tidak cukup panjang untuk membuat emosiku terpicu tentang peristiwa semalam. Arlan juga tidak mengatakan sepatah kata pun lagi. Namun aku merasakan jemarinya mengusap lembut kepalaku.

Taman itu cukup ramai. Kemeriahan Fringe membuat tempat ini menjadi dipadati pengunjung. Tak beberapa jauh dari tempatku dan Arlan duduk aku bisa melihat sekumpulan teater jalanan menggelar pertunjukan mereka. Aku melihat beberapa pemainnya mengenakan make up yang menyolok, nyaris seperti badut. Tapi tak ada pengunjung yang tertawa terbahak-bahak. Penonton hanya tersenyum dan menyaksikan pertunjukan dengan seksama. Sang tokoh terlihat melucu namun sedang tidak memainkan lelucon. Mungkin komedi satir menjadi tema cerita mereka. Sang tokoh pun tertawa, namun tidak ada yang ia tertawakan selain dirinya sendiri.

Pahit.

Sepertiku yang menertawakan kebodohanku karena jatuh cinta.

***

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz