22. Feeling You

907 72 0
                                    

"Jadi hari ini pertama kalinya dalam tiga bulan kau mendatangi apartemenmu?" tanyaku sembari mataku menatap pada gerakan tangan Jim yang sibuk menuang kopi dari mesin pembuat kopi dari dalam pantry. Jim hanya tersenyum datar dan kembali menghampiriku yang tengah menikmati udara malam Edinburgh dari atas balkon apartemennya. Aku menerima segelas kopi yang disodorkannya.

"Ya, begitulah ..."

"Lalu ... kenapa tiba-tiba kau kembali ke sini?"

Ia terdiam dan memainkan gelas whisky-nya. Aku tahu memang ada sesuatu dari surat yang diterimanya. Tiba-tiba aku pun menyesal menanyakan ini.

"Di mana tepatnya kau pernah bertemu denganku?" tanyanya mengalihkan pertanyaanku. Mau tidak mau itu membuatku tersenyum getir. Sesaat tadi, saat Jim tiba-tiba menciumku, aku punya perasaan kuat dia berhasil mengingat pertemuan kami saat di pesawat dan obrolan-obrolan yang menyertainya. Tapi ..., bagaimanapun ternyata dia lelaki normal. Pelukanku sebelumnya telah sedikit membangkitkan kesepiannya dan kebutuhannya akan kehangatan seorang teman bicara. Sepertinya aku tidak boleh terlalu banyak berharap.

"Di pesawat. Jadi benar, saat itu kau mabuk rupanya. Kau tidak ingat kau menceritakan padaku bahwa kau akan menikah dan akan menghadiahi calon istrimu cincin berlian?"

Ia mengangguk-angguk. Ekspresinya susah bagiku untuk membaca, apakah ia terkejut atau sebenarnya pura-pura tidak terkejut.

"Cincin ya ... I'm such a bullshit, right? Membicarakan sesuatu seolah-olah aku pria paling bahagia di dunia. Munafik."

"Aku tidak berpikir itu omong kosong. Kenyataannya kau memang sangat bahagia memiliki Jane sebagai calon istrimu. Aku bahkan merasa iri dengannya karena aku tidak pernah mendapatkan cinta sebesar cintamu untuknya."

Jim menatapku lama. Meletakkan gelasnya di selasar balkon dan berjalan mendekatiku.

"I remember you. Aku tidak ingat tepatnya apa yang sudah kubicarakan denganmu, tapi aku mengingat seorang gadis menceritakan padaku betapa tidak beruntungnya ia dalam percintaan karena berkali-kali menjalin hubungan dengan laki-laki yang hanya mengincar kekayaannya. That was you?"

Oh, dia ingat rupanya. Aku mungkin seharusnya senang, tapi aku benci jika diingatkan pada ketidakberuntunganku atas laki-laki yang kupacari. Di saat seperti ini, hal terakhir yang kubutuhkan adalah merasa dikasihani.

"Ya ... that's me," jawabku getir.

"So ... you are rich? Tidakkah kau juga berhati-hati padaku, bisa jadi aku mengincar hartamu."

Aku hampir meledak mendengar leluconnya. Tidak menyangka dari bibirnya akan meluncur kalimat seajaib itu.

"Aku tidak akan berhati-hati padamu, Jim. I'm not that rich. In fact ... bukan aku yang kaya, melainkan orangtuaku. Bahkan sebenarnya orangtuaku juga tidak sekaya yang kau bayangkan, tepatnya ibuku ... ia beruntung karena lahir dari keluarga besar pengusaha kaya yang memiliki sebagian besar saham di beberapa perusahaan besar Indonesia. Dan bukan kebetulan ia menikah dengan anak keluarga terhormat yang berprofesi sebagai diplomat negara."

"Ahhh .... I can see that."

"Aku hanya 'terlihat' kaya karena kekuatan berita dan gosip sosialita di kotaku. Dan itu yang membuatku sial dan selalu salah menilai laki-laki yang mendekatiku. Sekarang kau lihat sendiri, aku cuma pengangguran yang mencoba menemukan jejak laki-laki yang kutemui di pesawat."

Jim tertawa dan tatapannya makin lekat menelanjangiku.

"Dan ... kenapa kau merasa perlu mencariku?"

"Karena ..."

Karena aku menyimpan cincinmu. Seandainya saja aku bisa mengatakan itu. Tapi sisi egoisku mengatakan jika aku mengatakan tentang cincin, aku merasa setelah ia kembali menerima cincinnya maka kehadiranku tidak akan dibutuhkan lagi. Kenapa semuanya berubah menjadi sulit? Kenapa Jim harus melupakan bahwa ia pernah bicara denganku? Dan kenapa ia harus melupakan fakta bahwa dia yang menaruh cincin itu di jariku?

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Where stories live. Discover now