30. Piano And Cello

597 54 0
                                    

Bagaimana rasanya menyentuh piano lagi setelah berbulan-bulan aku memutuskan ikatan dengan benda itu? Rasanya seperti tidak ada bedanya. Seperti aku tidak pernah memusuhi alat musik besar yang terdiri dari delapan oktaf tangga nada. Aku tetap tidak kesulitan menggerakkan jemariku di atas tuts-tuts putih dan hitam itu. Secara teknis.

Namun secara emosional, aku masih belum sepenuhnya stabil dengan keputusanku bersentuhan dengan grand piano milikku di ruangan ini. Aku menyewa dua apartemen di tempat tinggalku. Satu untuk kutinggali, satu lagi kupakai untuk ruangan piano. Lengkap dengan interior yang menunjang akustik pianoku. Dan tentu saja menghindari amukan tetangga yang mungkin bisa membuatku diusir. Syukurlah itu tidak pernah terjadi. Tetanggaku cukup toleran dengan profesiku. Beberapa secara jujur mengakui kehilanganku saat aku memutuskan vakum menjadi pianis.

Mataku kembali terfokus pada coretan partitur di hadapanku. Beberapa nada minor menjadi penjembatan untukku menciptakan irama. Serenada yang bahkan begitu menguras emosi dan pikiranku.

Sebentar-sebentar aku mencari rangkaian nada yang sudah kutorehkan. Pertimbangannya aku terlalu banyak menggunakan emosi. Aku tidak ingin komposisiku menjadi sedih. Pementasan itu bukan acara pemakaman. Ini tentang hidup seorang peri buku yang selalu merasa bahagia. Tentang apa yang menjadi sumber bahagianya. Tentang cintanya pada sang dewa musik tentang keinginan menyandingkan harapan mereka.

Ahh, tidak ... air mataku ... jangan lagi ...

"Jim, apa kau menangis?"

Aku tersentak dengan kehadiran seseorang di ruangan ini tiba-tiba. Aku menoleh ke arah pintu dan sudah menebak siapa yang masuk tanpa suara. Gadis cello itu, Renata.

"You're late," ujarku. Sengaja kuhunjami gadis itu dengan tatapan penuh selidik. Dia satu jam terlambat dari janji latihan yang sudah kujadwalkan.

"Aku minta maaf."

"Kita kehabisan waktu. Kau tahu waktu kita tidak banyak. Dan kau bahkan masih jauh dari standar."

"Karena itu dari awal aku menolak usulmu menjadi partner duetmu, Jim."

"Aku menciptakan lagu ini untuk kumainkan dengan iringan cello. Dan aku tidak mau pemain cello-ku adalah muridku yang di bawah umur. Aku tidak punya waktu mengaudisi pemain profesional. Mereka sudah cukup disibukkan dengan konser-konser dan pertunjukan saat festival. Kau adalah pilihan yang masuk akal."

Aku memang tidak mengada-ada. Dan kupikir dengan kecepatannya menyerap semua arahanku, waktu beberapa minggu bukanlah mustahil untuk menguasai satu komposisi penuh. Aku hanya menekankan pada harmoni permainan kami. Bukan teknik.

"Ya, baiklah. Aku mau melakukan ini. Aku minta maaf aku terlambat .... Tapi ... ah sudahlah kita berlatih saja."

Aku tidak lagi mendebat. Setengah logika di kepalaku mengutuk keputusanku memaksa gadis itu memainkan bagian cello untuk komposisi ini. Bisa jadi bagian ini memang penting, bisa jadi aku menginginkan kesempurnaan, atau bisa jadi aku hanya menginginkan Renata ada di sisiku.

Ya, aku pun terkejut dengan sisi tak terduga dalam diriku. Aku terus menerus menolak untuk mensejajarkan dia dengan Jane, menolak ide bahwa gadis itu spesial. Bahkan sisi paling gelap dalam diriku menyadari, sejak malam Renata mendatangi apartemenku dan kami nyaris bercinta, saat itu aku dikutuk untuk tidak bisa mengabaikannya. Termasuk mengabaikan raut wajah dipenuhi kecemasan dan lelah dari wajahnya.

Ada apa denganmu, Renata?

Tapi aku tidak punya keberanian untuk bertanya dan hanya terdiam menyaksikan gadis itu melatih jari-jarinya dengan teknik yang sudah kuajarkan. Teknik dasar aku menganggap gadis itu cukup menguasai. Selebihnya hanya masalah kestabilan gesekan bow-nya, yang mana akan terbantu seiring dengan latihan beberapa lagu. Atau sedikit melatih teknik vibrasi untuk lagu ini akan lebih bagus. Semoga saja hal itu tidak terlalu berat untuk Renata.

Aku sudah memberikan porsi bagian cello untuk awal komposisi ini. Sementara aku mengerjakan bagian tengah, akan lebih cepat kalau Rena bisa menguasai part awalnya. Permainannya masih terlihat kasar, tapi aku akan mencari tahu cara untuk memolesnya. Sementara itu ...

Hei, kenapa permainannya berhenti? Aku merasa ada yang sesuatu yang membuatnya kehilangan konsentrasi.

"Kenapa denganmu? Kenapa berhenti?"

Aku merasa gadis itu menghindari kontak mata denganku. Dan tampak memegang bow-nya dengan canggung.

"Aku mengkhawatirkan perkembangan pementasan kita. Bagaimana dengan audisi pemain ciliknya? Gedungnya? Properti? Kostum?"

Kenapa dia tiba-tiba membahas urusan teknis?

"Kau sendiri yang bilang Derek dan staff La Harmony-nya lebih antusias ketimbang kita untuk urusan pementasan ini. Sejauh yang kutahu mereka mengurusnya dengan baik. Kudengar mereka sudah mendapatkan deal yang baik untuk salah satu gedung teater di Pleasance Theatre."

"Benarkah? Yah ... Pleasance selalu menjadi pusat perhatian saat Fringe."

"Yap, kau benar. Sayangnya kita hanya bisa tampil satu kali. Itu pun karena ada salah satu pertunjukan yang dibatalkan karena masalah budget penyelenggaranya. Entah bagaimana caranya Derek bisa tahu soal ini dan mem-booking lebih awal."

"Sepertinya ini akan berhasil ya kan?" tanyanya, entah apa ini cuma perasaanku, aku merasa nada suaranya terdengar tidak yakin.

"Kenapa? Apa kau tidak yakin?"

"Aku ... aku cuma tidak ingin jika semuanya berjalan dengan baik, tapi tiba-tiba aku merusaknya dengan permainan cello-ku," ucapnya dengan nada lirih.

"Terlambat kalau kau ingin mundur. Aku ingin kau juga ambil bagian dalam pementasan ini. Tolonglah, Rena ... kau lebih baik dari apa yang kau pikirkan."

Aku melihat keragu-raguan dari mata gadis itu. Beberapa saat aku mengira matanya memantulkan cahaya bening. Seolah air mata belum lama menggenangi pelupuknya. Lalu tanpa aku perkirakan dia mendekat ke arahku yang duduk di kursi piano. Berdiri sejenak hingga akhirnya gadis ini setengah berlutut di depanku. Mendadak, saraf tubuhku mengencang, jantungku makin berpacu. Tidak menyangka gadis ini merendahkan tubuhnya di hadapanku. Keragu-raguan di matanya berganti dengan binar harapan.

"Kau tahu? Kaulah alasanku berada di sini. If you want me to stay, then ... I'll stay. Tapi .... Aku juga tidak ingin kehadiranku membuatmu menyesal karena telah memintaku untuk tinggal."

Kata-katanya .... Apa yang ingin disampaikan pemilik wajah mungil dengan leher jenjang namun mirip dengan Jane?

"Renata ... It's okay. Everythings will be alright."

"I hope. Dan seharusnya aku yang mengatakan begitu, Jim. Setelah pementasan ini, semuanya akan baik-baik saja. Kenanganmu tentang Jane akan membekas. Tapi memang itulah kenangan. Jangan mencoba lari ataupun menyingkir. Ini langkah awalmu."

Mulutku seakan terkunci. Jadi ini tentang aku, bukan lagi tentang Renata?

"Renata, Apa yang ingin kau sampaikan? Berhenti mengkhawatirkan aku. Aku bisa mengatasi sendiri masalahku."

"Aku cuma ingin bilang, tetaplah mempercayaiku."

"Baiklah. Aku percaya padamu. Lalu apalagi? You know something? Posisimu yang seperti berlutut itu seperti kau akan melamarku. Apa sebentar lagi kau akan mengeluarkan cincin atau apa?" godaku.

Entah darimana keinginanku untuk menggodanya. Aku menyukai gadis ini. Tapi melihatnya berwajah serius dengan tatapan seperti itu somehow, sedikit membuatku tergerak. Wajahnya begitu dekat denganku. Aku mati-matian menahan diri untuk tidak merengkuhnya dalam pelukanku. Aku tidak mau peristiwa malam itu terulang, dan aku juga tidak siap hatiku terlebih dahulu menerima perasaan orang lain ketimbang menerima ketiadaan Jane di sisiku.

Apa ini perasaanku? Atau gadis itu merasa tidak nyaman aku menyebut tentang lamaran atau cincin? Renata serta merta bangkit dan kembali memegang cellonya. Dia tidak membalas kata-kataku. Kenapa? Tersinggung? Heii, say something ...

"Rena ..."

"Yes, Jim?"

"Malam ini, maukah kau makan malam denganku?"

Apa aku baru saja mengajaknya kencan? Ah, tidak ... Jangan tanya ....

***

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin