4. (Not) A Meet Cute

3.1K 247 8
                                    

Ah, kemana dia? Sekilas aku melihat sosoknya berjalan melewati jalan ini. Aku ingat ia memakai celana khaki, t-shirt Polo yang dibalut dengan jas musim panas. Belum sempat aku memastikan sosoknya, ia sudah menghilang ditelan kerumunan orang yang berjalan di sepanjang Royal Mile. Entahlah, mungkin saja aku kehilangan jejaknya saat menelusuri setapak demi setapak di area St. Giles Cathedral ini.

"Ren, kamu cari siapa sih?" tanya Christian, salah satu temanku yang kuhubungi sejak aku datang ke kota ini. Aku menoleh padanya dan tersenyum kecil.

"Nothing, aku kira aku melihat seseorang yang kukenal," ujarku berusaha terlihat tidak gelisah, "jadi kau akan mengajakku ke mana, mister guide?"

"Blackford Hill. Kamu akan suka pemandangannya. Dari puncak bukitnya kamu bisa melihat seluruh kota. Rasanya seperti melihat sebuah kartu pos atau kolom wisata di majalah."

"Benarkah? Aku kira kamu sudah membawaku ke sebuah bukit kemarin. What it's name again?"

"Arthur's Seat? Percayalah, ini lebih indah. Agak berbeda dengan perbukitan Arthur's seat. Di Blackford Hill kita bisa melihat istana Holyrood House dari kejauhan."

Ah, perbukitan lagi. Entah apa aku harus senang atau kesal dengan fakta bahwa ibukota Skotlandia ini berbentuk kota perbukitan. Bahkan Kastil Edinburgh yang megahpun berdiri di atas puncak gunung yang sudah tidak aktif. Dan bukit-bukit di bawahnya, aku tahu pemandangan dari atas sangatlah indah tapi agak mengesalkan untukku yang lama tidak pernah berjalan jauh dengan kakiku sendiri.

"Hey, ceria dong. Kenapa mukamu kelihatan lelah begitu?" Christian mengacak-acak rambutku.

"I am tired. Sejak aku datang yang kulakukan cuma jalan dan jalan kaki terus. Bisa tidak kamu mengantarku jalan-jalan dengan mobil saja?"

Christian tertawa mengejek.

"It's Edinburgh, you dumb girl. Siapa yang perlu mobil kalau kita bisa berjalan kaki mengelilingi kota? Jangan samakan dengan Jakarta."

Ah, ingin rasanya menendang kakinya. Tidak ada yang membandingkan kota ini dengan Jakarta. Tapi aku membenarkan semua ucapannya. Luas kota ini sempurna. Tidak padat, dan tidak besar. Semua tempat tampak sangat mudah dijangkau tanpa harus dibingungkan dengan rute transportasi umum. Singkatnya, kota ini kecil, dalam arti yang sebenarnya. Meskipun aku baru empat hari di sini, aku telah berpapasan lebih dari dua kali dengan orang yang sebelumnya telah kutemui. Dengan pria gendut di bar, dengan wanita berkacamata yang berbicara cepat dengan akses Skotlandia yang kental, dengan mahasiswa yang selalu mengenakan earphone di telinganya. Mendadak aku teringat pria tadi. Bisakah aku kembali bertemu dengannya lebih dari dua kali?

Ini hari keempatku di kota terbesar kedua di Skotlandia, Edinburgh. Aku mengingat-ingat apa yang membuatku nekat datang ke kota yang penuh dengan sejarah kelam namun menakjubkan ini. Tapi semakin aku mengingatnya aku semakin jauh dari tujuanku. Dan pikiran tentang sosok yang berkelana di benakku dan sepintas aku merasa telah melihatnya beberapa saat tadi, membuatku makin terpuruk. Aku kehilangan jejaknya (lagi).

Lima kali dua puluh empat jam yang lalu, aku mungkin menganggap perjalananku ke Inggris Raya hanya sebuah pelampiasan. Pelampiasan untuk melupakan kebodohan yang kulakukan karena muncul secara spektakuler di hadapan sosialita yang tampaknya mengenalku dan membuatku jadi bulan-bulanan gosip. Bertemu papaku bukan tujuan utama. Aku tahu sekalipun aku mendatangi apartemennya di London, aku toh tidak mungkin membuat jadwal padat papa yang penuh dengan rapat dan pertemuan menjadi seratus persen berubah drastis untuk menemaniku saja. Tapi tanpa berpikir lama, aku mengambil tawaran papa untuk berlibur.

Jalur penerbangan yang cukup panjang dan memakan waktu total lima belas jam jam membuatku nyaris tak berkutik. Aku bosan setengah mati dan hanya menghabiskan waktuku makan, minum dan menonton televisi yang menyediakan layanan lima ratus channel di dalam pesawat.

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Where stories live. Discover now