5. Him

2.3K 224 2
                                    

"Ini .... Minumlah!"

Aku meneguk air mineral yang dibawa temanku, Christian. Suatu kebodohan paling fatal jika aku memutuskan berjalan-jalan tanpa persediaan air yang cukup. Saat membuka botol minumku, aku sadar, aku nyaris dehidrasi.

Christian mengajakku berhenti sejenak dan bersantai di sebuah taman luas yang terletak di sebelah utara Kastil Edinburgh, Taman Prince's Street. Meskipun sebentar lagi memasuki musim panas, suhu di Edinburgh relatif lebih dingin. Musim semi akan berakhir, tapi aku masih sempat menyaksikan floral clock, sebuah rangkaian taman dekoratif berbentuk jam lengkap dan jarum detik dan menitnya yang tentu saja berwujud bunga. Setiap tahun, desain floral clock selalu berganti sesuai dengan event yang sedang berlangsung di kota itu. Aku tahu karena Christian-lah yang bersemangat mengajakku beristirahat di tempat ini.

Kalau saja aku datang kemari saat musim dingin, mungkin aku akan menyaksikan Winter in Wonderland. Taman yang asri ini akan berubah menjadi taman bermain yang dipenuhi dengan lampu penuh gemerlap sepanjang malam, arena ice skating, mini roller coaster, bianglala dan pohon natal raksasa. Suasana yang membuatku sangat iri namun sekaligus lega, karena bukan musim dingin pun cuaca di Edinburgh sering berubah-ubah. Aku dengar dari orang Edinburgh sendiri, musim dingin di Edinburgh terlalu panjang. Kurasa aku pun tidak akan tahan.

Aku mengeluarkan sebuah benda melingkar dari sakuku dan memandanginya lama. Benda ini yang membuatku rela menginjakkan kakiku pertama kali ke Edinburgh. Aku berhati-hati memasangkannya di jariku. Dan mencoba tidak terhenyak ketika melihat kilaunya. Berlian.

Apa yang ada dalam kepala pria itu? Mengatakan berlian yang indah ini adalah berlian palsu. Aku sudah membuktikannya dan menanyakan pada toko perhiasan di London. Mereka mengatakan hal yang sama, benda ini asli. Dan kebodohan apa yang bisa dipikirkan pria seperti itu hingga meninggalkannya di pangkuanku saat pesawat mendarat? Karena terlalu mengantuk dan menjadi penumpang yang terakhir turun, aku tidak menyadari bahwa Jim, pria yang mengobrol denganku sudah tidak ada di kursinya. Keterkejutanku makin parah saat mendapati benda mungil itu berada di pangkuanku.

"Masih belum menunjukkan petunjuk di mana pemilik benda itu?" tanya Christian begitu ia mengambil tempat di sampingku seraya berbaring di atas rumput. Aku menggeleng pelan.

"Beberapa usahaku tidak berhasil. Sama sekali tidak bisa kutelusuri jejaknya."

Aku hanya tahu nama pria itu Jim Morley. Usianya mungkin tidak terpaut jauh dariku, bisa jadi hanya 3-5 tahun lebih tua dariku. Tak punya akun Facebook, Twitter, Instagram atau sosial media lainnya--andai namanya benar-benar Jim Morley. He's just ... invisible. Dia bilang akan menikah, tapi belum pernah sebelumnya ada calon suami yang seceroboh itu meninggalkan cincin untuk tunangannya di pesawat. Untuk ini, aku harus menempuh perjalanan ke Skotlandia.

"Coba saja mencarinya di kantor polisi. It's a small town afterall." Christian tidak terlalu peduli dengan rasa penasaranku dan cincin ini. Dari awal ia tidak suka ceritaku tentang pria itu. Aneh dan mengada-ada. Dan yang ia lakukan sekarang hanya berbaring di atas rumput membaca novel dan melihatku mondar-mandir tak jelas. Christian adalah teman lamaku saat dia masih menjadi siswa pertukaran pelajar SMA-ku di Indonesia. Kadangkala aku juga sedikit heran, laki-laki dewasa tapi sangat menyukai buku-buku atau novel fantasi. Ia masih memegangi buku yang sama dari pertama kali ia mejemputku. Novel tentang lima penyihir wanita klasik dan makhluk dongeng yang menjelma menjadi manusia, sungguh kekanak-kanakan. Penulis sekarang sudah cukup kehabisan ide fantasi sejak JK. Rowling menyelesaikan naskah novel Harry Potter ke 7 di sebuah hotel megah dengan arsitektur bergaya pertengahan di Edinburgh, Balmoral Hotel. Bahkan untuk penulis yang novelnya sedang dibaca Christian. Jane Ruth ... Oh my ... Apakah penulisnya benar bernama Jane Ruthven? Jane? Calon istri pria itu?

Darahku berdesir. Naluriku bergejolak. Merasa beruntung sekaligus bodoh. Christian membawa-bawa novel itu sejak tiga hari lalu dan aku terlambat menyadari siapa penulisnya.

"Hey, what's wrong with you? Kenapa kau ambil bukuku?" protes Chris begitu aku tanpa ijin menyambar bukunya. Aku tidak peduli.

Aku akan bertemu lagi denganmu, Jim. Lihat saja.

***

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Where stories live. Discover now