36. Late Confession

622 53 5
                                    

28 Agustus 20XX

Edinburgh Airport.

"Have a safe flight. I'm waiting for you."

Aku membaca pesan yang dikirimkan Astrid beberapa detik yang lalu. Pesan yang cukup biasa, hanya ucapan bernada basa-basi, selamat menikmati penerbanganmu. Lucunya, aku sedang tidak ingin menikmati apa pun. Aku mungkin satu-satunya calon penumpang yang tidak peduli sekalipun koperku terdengar berdecit atau seperti menyeret mayat. Faktanya aku tidak peduli akan kemana. Satu hal yang jelas dan pasti. Tempatku memang bukan di sini, di Edinburgh.

"Siapa? Ada yang mengirim pesan untuk kamu?"

Aku melirik ke arah Arlan yang menjejeri langkahku dan membawa kopor bawaannya dan beberapa bawaanku. Aku mencoba memperhatikan ekspresinya. Meskipun Jim tidak memberitahuku dari siapa pria itu tahu soal situasi papa, aku tidak ragu lagi Arlan lah yang memberitahunya. Itu membuatku kesal, tapi entahlah ... mungkin aku memang harus pulang. Dan aku tidak ingin menyalahkan siapa pun. Keadaan yang memaksaku berhenti menemukan cinta. Aku cuma boleh berjalan sampai sejauh ini.

"Astrid titip salam padamu. Tadi menelepon sebentar."

"Benarkah? Bagaimana keadaan papamu?"

"Papa sedang mengurus keperluan untuk sidang keputusan pencabutan jabatannya. Sementara orang yang ditabrak Papa saat mengemudi itu memberi kesaksian yang bisa meringankan Papa. Ia mengaku sedikit tidak memperhatikan jalan karena menelepon, buktinya memang ada ponsel yang ditemukan dekat kejadian."

Aku menjawab dengan ekspresi datar. Aku tidak membenci Arlan, hanya saja untuk sekarang ini aku lebih memilih untuk tidak bicara panjang lebar dengannya.

Arlan tidak membalas perkataanku. Alih-alih dia mengusap-usap kepalaku.

Sejak Jim memberitahuku untuk menghapus keterlibatanku dalam produksi musikal yang berdasarkan buku karangan Jane Ruthven, Arlan seketika mengurus penerbangan kami pulang ke Indonesia. Ya, kami langsung pulang ke Indonesia dan bukannya ke Inggris meski penerbangan ini juga mengharuskan kami transit di bandara Heathrow, Inggris.

Kejadian yang menimpa Papa cukup membuat shock keluarga. Sementara aku masih berharap bisa memberikan bantuanku untuk Jim, Astrid berinisiatif untuk memberikan dukungan moral pada Papa. Aku tidak bisa lebih berterima kasih. Aku mungkin bukan putrinya yang baik di mata papa. Tapi satu hal yang kutahu, Astrid tahu benar bagaimana mencintai Papa seperti seharusnya. Hal yang tidak bisa dilakukan Mama ataupun olehku.

Karena kejadian ini, Papa memutuskan menghabiskan waktu selama skorsing jabatannya dengan kembali ke Jakarta. Aku tidak tahu apa yang akan direncanakan Papa, tapi sedikit banyak dari percakapanku dan Astrid barusan, sepertinya Papa memutuskan memperkenalkan Astrid pada keluarga besar Papa di Solo.

Ya secepat itu memang. Yang kupikirkan hanya reaksi Mama. Terlebih setelah pembicaraan mama beberapa malam lalu. Mama masih mencintai papa.

Masih mencintai ...

Tidak bisakah dua kata sakti itu menjadi kunci bahwa harapan untuk bisa bersama orang yang kita cintai bukan hanya sekedar harapan palsu?

"Kamu pucat sekali, Rena ..."

Buru-buru aku menghapus setitik bening di sudut mataku. Arlan sepertinya tidak mau berhenti memastikan aku baik-baik saja sejak dia melihatku menangis di dalam lift apartemen Jim, tidak terhitung ia terus menanyakan keadaanku. Seharusnya ia tidak perlu bertanya. Dia tahu aku tidak baik-baik saja. Ditambah seharusnya hari ini aku bersama Jim memainkan komposisi khusus piano dan cello yang akan kami mainkan. Persembahan istimewa dan yang terakhir untuk Jane.

Kurang dari dua jam lagi, pementasan akan berlangsung. Di saat seperti ini, adalah sebuah siksaan batin yang menyesakkan ketika malam seharusnya aku mengiringi permainan piano Jim dengan cello-ku, aku malah berada di bandara. Menunggu pesawat yang akan kami naiki bertolak ke Jakarta.

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Where stories live. Discover now