11. The New Girl and The Opera

1.5K 146 1
                                    

"Opera?"

Arlan mengangguk. Alih-alih menjawab keterkejutanku ia memberiku satu amplop yang setelah kubuka berisi sebuah undangan tiket pertunjukan opera. Jangan bilang ini lelucon.

"Mr. William bilang kamu harus datang ke pertunjukan itu. Bagian dari pekerjaannya menemani beberapa pejabat Indonesia yang datang ke London. Aku yang akan mengantarmu."

Aku terdiam. Sejak kedatanganku ke London, dua hari lalu aku jarang bertemu dengan Papa. Sekedar percakapan singkat saling menanyakan kabar pun tidak pernah ia sempatkan di tengah jadwal pekerjaannya yang sibuk. Bahkan di malam hari, aku pun tidak bisa memanfaatkan hak utamaku sebagai anak perempuan untuk menguasai waktu Papa. Dan tanpa ada basa-basi dan obrolan itu datanglah sepucuk tiket pertunjukan opera. Cukup eksklusif, berlokasi di gedung opera ternama di London, Royal Opera House. Pertunjukan opera berjudul La Donna Del Lago, kisah dari tanah Skotlandia. Aku menyukai musik, tapi mendengarkan musik opera nonstop dengan nyanyian melengking aktris opera selama tiga jam sudah pasti aku tidak akan tahan. Tiga jam, for God's sake. Jauh lebih baik kalau saat ini Papa mengajakku nonton konser Coldplay, atau nonton stand up comedy ala Inggris.

"Pesan beliau, you have to dress up tonight," ujar pria itu menekankan kata 'dress up'. Aku melirik ke arahnya tajam. Apa dia mengira nantinya aku akan datang ke opera memakai piyama sampai sebegitunya menekankan soal berdandan padaku.

"Aku tahu. Jangan khawatir, aku nggak akan pakai bikini."

Dia tertawa menanggapi balasanku. Aku baru menyadari pria bernama Arlan itu punya senyuman yang cukup menawan. Sayangnya, dia sepertinya tidak terlalu suka tersenyum. Kecuali pagi tadi saat aku mendapati wajahnya memerah setelah melihat tubuhku, ia sama sekali tidak menarik. Berwajah serius dan bicara dengan nada formal. Sepertinya orang yang bekerja untuk papa akan berakhir menjadi orang yang kurang lebih sama persis dengan papa. Kaku dan membosankan.

***

Aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Sudah lima belas menit lamanya aku tiba di Covent Garden, sebutan lain Royal Opera House. Dan sekarang aku berada di dalam hall yang konstruksinya sebagian besar terbuat dari besi dan kaca yang biasa disebut Paul Hamlyn hall. Hall ini berfungsi sebagai atrium yang menghubungkan ruangan ini dengan auditorium utama Royal Opera House. Di sinilah sebagian orang menghabiskan waktunya sebelum atau sesudah pertunjukan opera dimulai. Tidak terkecuali Papa yang memintaku menunggu di gedung yang lebih dikenal sebagai Floral Hall ini.

Lalu lalang orang berpakaian necis dan wanita yang rata-rata berusia matang dengan penampilan yang tidak kalah berkelas memadati ruangan yang juga dilengkapi champagne bar dan restaurant. Jadi kira-kira orang-orang inikah yang sering ditemui Papa sehari-hari? Atau Papa memang suka mengajak koleganya untuk berbincang-bincang sembari menikmati musik opera dan ballet klasik?

"Rena ..."

Aku berbalik mencari arah suara yang familiar di telingaku. Tepat saat itu aku melihat sosok Papa yang berjalan menghampiriku, diikuti seorang wanita berusia tigapuluhan di belakangnya. Bukankah Arlan bilang malam ini Papa menemui beberapa pejabat penting dari Indonesia? Tapi yang kulihat sekarang hanya ada satu. Satu orang yang ditemani Papa. Entah wanita itu pejabat atau bukan terlepas dari wajahnya yang terlihat muda untuk dibilang pejabat, aku tidak tahu, tapi ... firasatku tidak terlalu bagus.

"Kamu sudah datang? Mana Arlan?" tanya Papa dengan nada bicara yang wajar. Seolah-olah mengabaikan bahwa ia berhutang penjelasan padaku tentang siapa wanita yang ada di sampingnya.

"Dia memang cuma mengantar, apa Papa lupa kalau hanya memberikan satu tiket untukku?"

"Memang. Tapi setidaknya dia mengantarmu sampai di sini dan menemanimu sampai Papa datang."

"Jangan khawatir. Dia memang bermaksud untuk menemani, tapi aku menolak. Aku bukan anak kecil. Berada di sini tidak membuatku tersesat, hanya bingung. Karena aku tidak mengenali siapa pun di ruangan ini," ujarku sengaja sembari melirik ke sosok wanita teman Papa yang memakai terusan warna biru terang dan memperlihatkan bahu mulusnya namun sedikit tertutup scarf. Seketika wanita itu tersadar dan mengulurkan tangannya padaku.

"Ah, maaf aku terlambat memperkenalkan diri. Namaku Astrid, aku seorang jurnalis seni yang menulis untuk koran setempat."

Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Aku tidak tertarik dengan profesinya. Pertanyaan besar yang ada di kepalaku adalah, apa hubungan wanita itu dengan papaku? Aku mencoba secara isyarat mata menanyakan ini pada Papa. Kupikir Papa sengaja menghindari kontak mata denganku.

"Aku dan Mr. William ... kami berteman baik. Kebetulan opera dan musik klasik adalah hal yang kami sukai, makanya ..."

"Apa kalian pacaran?" todongku tanpa basa-basi.

"Rena ..." Papa mencoba menyela.

"Arlan bilang, Papa akan menemani kolega dari Indonesia. Lalu di mana tamu Papa?"

"Arlan? Dia bilang apa? Tapi Papa tidak pernah bilang hari ini akan ada tamu siapa. Papa cuma minta dia mengantar kamu datang ke acara ini. That's it," ucap Papa membela diri.

Aku terdiam. Jadi aku telah ditipu? Ini jebakan. Arlan bersekongkol dengan Papa yang bermaksud mempertemukanku dengan teman, kekasih, whatever yang juga datang ke gedung opera ini.

"Tapi aku kira ..."

"Rena, right?" Wanita bernama Astrid itu tanpa diduga mengaitkan lengannya di lenganku. "Listen, for your information and as far as I know, hubunganku dengan papa kamu masih teman baik. Kami hanya sebatas teman diskusi. Karena surat kabar tempatku bekerja punya tiket opera khusus untuk kolom seni, aku selalu punya tiket lebih. Kebetulan kamu datang dan kupikir menyenangkan kalau aku bisa mengenalmu. Apa kamu keberatan?"

Aku menatap mata wanita itu. Aku tidak bisa memungkiri bahwa sorot mata wanita itu terlihat tegas namun sekaligus ramah. Dari caranya mendekatiku aku tahu dia wanita yang cerdas. Dan itu membuatku kesal, karena aku pun merasa sikapku berlebihan dan tidak sopan.

"Aku tahu kamu punya banyak pertanyaan, tapi ... pertunjukan ini terlalu bagus untuk dilewatkan. Jadi ... can we be friends right now?"

Astrid, wanita cantik berdarah Indo yang mengulurkan tangan sekali lagi di hadapanku, dalam waktu singkat membuatku bisa menerima kehadirannya. Dan aku pun menyambut uluran tangannya, meski dalam hati masih ada yang mengganjal.

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Where stories live. Discover now