28. Admiration

603 50 0
                                    

"No way, Jim bakalan main piano lagi? Kamu yakin?"

Jangankan Astrid yang baru saja mendengar berita ini, aku sendiri pun masih tidak percaya saat Jim akan mengatakan akan bermain piano lagi saat aku berada di puncak Arthur's Seat. Aku mengangguk dan tidak bisa menyembunyikan senyumku.

"Woahhh, itu baru kabar baik. Aku tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan, Rena, tapi aku tidak menyangka kehadiranmu membuat perubahan yang besar pada diri Jim."

Aku menghela napas mendengar komentarnya. Andai saja semudah itu.

"Tidak, tidak ada yang berubah. Jim memang sudah seharusnya kembali menjadi dirinya," ujarku getir. Makin hari perasaanku kepada Jim makin kuat. Semakin aku mendorongnya untuk melakukan pementasan itu, semakin aku merasa terikat padanya. Sementara di matanya aku hanyalah seorang murid didiknya yang kebetulan suka ikut campur urusan pribadinya.

Astrid menatapku. Selang beberapa detik kemudian, wanita itu memelukku.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa kamu benar-benar mencintai laki-laki itu, ya kan?"

Apa aku harus menjawabnya, meskipun menjawab kurasa bukan hal yang perlu. Aku pikir Astrid pun tahu apa yang aku rasakan.

"Dari cerita papa kamu, kamu sangat tidak ekspresif jika berkaitan soal cinta. Setengah hati jika menjalin hubungan, dan sulit mengungkapkan perasaanmu."

Aku terhenyak.

"Papa bilang begitu? Kapan? Dari mana dia tahu?"

Ya. Karena intensitas pertemuanku dengan Papa yang sangat jarang, keajaiban rasanya jika Papa membicarakan aku seolah ia setiap hari memperhatikan aku.

"Tidak perlu jadi jenius untuk bisa merasakan apa yang terjadi pada anak perempuannya sendiri. Aku mungkin belum pernah jadi seorang ibu, Rena .... Tapi melihatmu sekarang. Rasanya aku bersyukur kamu datang ke Edinburg. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu dulu, tapi aku bisa memastikan kalau papamu menyayangimu."

Aku terdiam. Mencoba memahami. Meskipun seringkali aku gagal memahami pemikiran Papa. Selama ini yang ada di dalam benakku dan tertanam di otakku, Papa bukan sejenis orang yang hangat. Cenderung dingin, bahkan bisa jadi sinis. Dan itu yang membuatku tahu, dari mana asal sifatku yang menurut orang lain tidak menyenangkan. Tapi mendengar ucapan Astrid, kenapa seolah-olah wanita ini lebih mengenal Papa ketimbang aku, anaknya.

"Astrid?"

"Hmm?"

"Do you love him? Maksudku, soal papa."

Astrid melonggarkan rangkulannya di bahuku. Ia masih tersenyum hanya saja kali ini lebih misterius.

"Kamu benar-benar menganggap serius ucapan Arlan ya?"

"Lalu, apa artinya kamu tidak serius soal Papa? Sebenarnya hubungan macam apa yang kamu jalani dengan Papa?"

Terlanjur basah. Bahasan soal Papa menyeruak ke permukaan meskipun setengah mati aku tidak ingin memikirkan ini. Memikirkan bahwa kemungkinan keluargaku akan utuh kembali nyaris mustahil terjadi. Tapi apa pun itu, aku juga menyukai Astrid. Tanpa dia, aku tidak mungkin kembali ke Edinburgh. Dan dia cukup menyenangkan. Kecuali fakta bahwa wanita ini tidak cukup setia untuk bisa bertahan dengan Arlan yang telah sangat mencintainya. Bagaimana dengan papaku? Apa Papa mungkin mengalami juga hal yang dirasakan Arlan?

"Aku tidak tahu, Rena. Sejujurnya baik aku maupun papamu tidak tahu pasti hubungan yang kita jalani. Kita merasa nyaman bersama, tapi tak satu pun dari kita pernah membicarakan soal komitmen atau pun rencana-rencana yang mengubah keadaan kami."

"Aku juga tidak sedang membicarakan komitmen, Astrid. I just asking whether you love him or not. Jadi, apa kamu mencintai Papa?"

Astrid terdiam. Matanya menerawang ke sekerumunan orang-orang yang memadati Pleasance Courtyard, lokasi beberapa pertunjukan Fringe yang paling banyak dikunjungi oleh penikmat festival. Sesuatu yang memang sengaja kami lakukan di siang hari ini. Menjadi seorang fringer.

Aku melihat Astrid menghela napas. Saat akhirnya ia akan membuka mulutnya, saat itu Arlan berteriak ke arah kami.

"Astaga, seramai ini aku kesusahan mencari kalian. Kemana saja kalian?" seru Arlan dengan terburu-buru menghampiri kami. Seketika wajah Astrid menunduk, barangkali kata-kata yang ada di ujung tenggorokannya, ia telan kembali.

Arlan sialan. Kenapa ia harus datang di saat tidak tepat seperti ini?

"Kalau ada orang sebanyak ini, bisa tidak kalian tidak terus-terusan menyuruhku membeli tiket show, burger, dan cola terus-terusan? Aku tidak tahan berada di tempat ramai seperti ini," keluh Arlan sembari menyodorkan bungkusan yang sudah lama kami tunggu.

"Kalau begitu suruh siapa kamu jadi asisten?" ujarku singkat.

Arlan hanya menggeleng dan menatapku dengan pandangan menyerah.

"Terserah sajalah," gumam Arlan, seolah aku tidak bisa mendengarnya. Sedetik kemudian, laki-laki itu berjalan mendahului kami ke sebuah stage yang sudah dipenuhi para penonton yang rela membayar tiket seharga delapan belas poundsterling. Aku terpana dengan reaksinya yang agak menyebalkan. Oke, akulah yang menyebalkan tapi tidak biasanya ia menanggapi sikapku sedingin itu.

"Dia kenapa sih?" tanyaku pada Astrid. Aku melihat wanita di sampingku ini kembali tersenyum.

"Sudah sejak kemarin dia uring-uringan seperti itu, Rena. Tepatnya sejak saat kamu pagi-pagi menghilang dari wisma kita dan baru pulang malamnya."

"Ah itu ..."

"Ya saat kamu memutuskan untuk mendatangi rumah kakak Jim di Duddingstone kan? Lama sekali aku tidak melihatnya sepanik dan sekesal itu. Mengingatkanku saat kami masih pacaran. Wajah kesalnya, sering ia perlihatkan."

Aku menatap Astrid dengan pandangan tidak percaya.

"Jadi kamu bilang sikap dingin dan jaim yang ia perlihatkan itu bukan karakter aslinya?"

"No .... Arlan sama sekali tidak dingin. Dia memang sedikit gengsian, tapi sangat perhatian. Dipikir-pikir lagi ...., dia begitu memperhatikanmu, apa kamu tidak sadar?"

"Memperhatikanku?" tanyaku tidak percaya. Aku menggeleng cepat. Tidak mungkin kan? Sejak kedatangan kami kemari, Arlan terlihat masih menyukai Astrid. Biarpun ia juga tidak pernah mengacuhkanku. Tapi setidaknya, jika berusan denganku, aku selalu menganggap karena tanggungjawabnya sebagai asisten papa. Bukan karena ia memang memperhatikanku.

Tapi ... bagaimana saat ia memperhatikanku keluar dari apartemen Jim tempo hari dan berakhir tertidur di kedai minum Greyfiars Bobby? Saat ia mengawasiku dan memastikan keselamatanku, apa itu ia lakukan karena posisinya sebagai asisten?

Ahhh aku tidak tahu, kenapa juga aku jadi memikirkannya, hanya karena laki-laki itu bertingkah tidak biasa? Aku pasti sudah gila. Kepalaku sudah dipenuhi masalah tentang Jim, aku tidak mungkin menjejali pikiran-pikiran aneh soal Arlan lagi ke dalam benakku.

Dan lagi, kenapa ada orang sebanyak ini berkumpul di halaman gedung teater Pleasance?

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Where stories live. Discover now