10. The Assistant

1.5K 148 0
                                    

Ada yang masuk ke kamarku.Langkah kakinya berat. Meski mataku masih terpejam, tapi aku tahu bukan Papa yang memasuki pintu kamarku. Tetapi ... dia punya akses masuk ke kamarku. Siapa dia? Ah, siapa yang peduli? Terserah saja siapa yang mau masuk ke kamarku. Asal dia tidak membangunkan tidurku.

Hmmm .... Samar-samar, sosoknya terlihat naik turun, lalu muncul menghilang. Tidak, aku bercanda, yang naik turun adalah kelopak mataku. Energiku belum sepenuhnya pulih di pagi hari. Dan membuka mata rasanya seberat menaiki tanjakan curam saat bersepeda. Biarkan saja orang itu masuk, mungkin dia punya sesuatu yang tertinggal di kamarku.

Non sense, tidak ada orang lain yang masuk ke kamarku sebelumnya, memangnya apa yang bisa tertinggal? Tunggu dulu, sepertinya dia berjalan ke arah tirai. Sungguh klise, dia berniat membangunkanku dengan membuka tirai terlebih dahulu. Tidak akan mempan. Dia bukan Papa. Kalau Papa dia tidak akan berani secara frontal membuka tirain. Ia pasti duduk di samping tempat tidur, membelai keningku dan mengecupku tanda selamat pagi.

Astaga, memangnya siapa yang aku bodohi? Itu bahkan lebih tidak masuk akal. Kapan terakhir kali Papa membangunkan dengan cara seperti itu? Lima tahun lalu? Sepuluh tahun lalu? Ah, tidak .... Mungkin lima belas tahun lalu. Crap, berpikir seperti ini sungguh manjur membuat kantukku berkurang. Serta merta kelopak mataku pun terbuka.

"Oh, kamu sudah bangun? Syukurlah aku jadi tidak usah susah payah membangunkanmu," ujar suara yang berdiri di sampingku dan tepat saat itu ia menarik tirai jendela hingga terbuka.

Silau.

Cahaya matahari memberiku efek kejut yang cukup lumayan untuk sepasang mataku. Dan sosok yang menyapaku itu hanya berhasil tertangkap mataku dalam wujud siluet bayangan manusia bertubuh tinggi dan memakai setelan rapi. Selebihnya, aku tidak bisa memaksakan mataku menantang cahaya matahari yang rakus melahap separuh ruangan kamarku.

"Siapa kamu?"

Aku mencoba mendongakkan kepala, berharap mengenali suara barusan yang menyapaku. Dia satu-satunya sosok berbahasa Indonesia selain Papa yang mengajakku bicara.

"Aku asisten papamu. Namaku Arlan dan aku sudah bekerja di sini selama empat tahun."

Ah, laki-laki anak tenaga kerja yang menitipkannya ke keluarga Inggris.

Aku baru saja berniat berjalan menuju kamar mandi. Namun saat aku membuka selimut, sekonyong-konyong pria bernama Arlan itu melingkarkan sebuah kimono mandi di tubuhku. Tak pelak aku terkejut. Kenapa tiba-tiba dia melakukan ini? Seolah-olah ...

"Ehm ... jangan salah paham. Pakai kimono ini kalau mau ke kamar mandi. Aku cuma ..."

Belum selesai dia menjelaskan, aku menyadari ada keganjilan yang menyergap kesadaranku. Ternyata di balik selimut yang kukenakan, aku hanya mengenakan pakaian dalam saja. Buru-buru aku merapatkan kimono mandi berwarna biru muda itu. Aku melirik sekilas ke wajahnya. Saat itu dia juga menatapku dan wajah kami hanya terpaut beberapa senti saja ini pertama kalinya aku melihat wajahnya dengan jelas. Seketika dia langsung menundukkan kepalanya.

"Thanks," ucapku singkat dan berjalan menuju kamar mandi.

Coba kupikir lagi. Aku bangun tidur tidak sadar hanya mengenakan bra dan celana dalam saja. Masih untung tidak telanjang. Tapi dibandingkan siapapun di ruangan ini, harusnya aku yang panik. Dan yang dilakukan asisten Papa itu, seolah-olah melihat tubuhku menjadi hal yang menjijikkan untuknya. Kenapa dia yang sepanik itu memberikan kimono padaku? Demi Tuhan, selain dia tidak ada siapa pun di ruangan ini. Apa sih yang dia khawatirkan?

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ