21. Kilt, Bagpipe and Jealousy

915 71 0
                                    

Aku baru menyadari pria yang mengenakan kilt dan meniup bagpipe itu sangat keren. Sangat bernuansa Scottish. Rasanya seperti menyaksikan pria yang menjadi icon sejarah dan jadi bagian negara yang pernah berseteru dengan Inggris dan menolak berada di bawah pimpinan Raja Edward I. Ketika sekumpulan pria mengenakan seragam kebesaran pengawal kerajaan Skotlandia, meniup bagpipe dan berparade membentuk formasi di bawah cahaya lampu berkilauan di sebuah pelataran terbuka Kastil Edinburgh, bahkan akupun akan menarik napas takjub.

Pelataran Kastil yang di hari biasa tampak lengang pun hari ini disulap menjadi gelanggang display sebuah event international yang biasa disebut Royal Edinburgh Military Tattoo. Event yang merupakan kombinasi penampilan British Armed Forces, Commonwealth dan team marching band Internasional Militer dari seluruh dunia itu menjadi sajian utama seluruh rangkaian Festival di musim panas selain Fringe Festival selama tiga minggu berturut-turut.

Sepanjang yang kutahu, ini sudah hari ke-3. kursi barisan tempat duduk selalu penuh. Meskipun bukan barisan yang paling dekat dengan event, namun aku menyukai spot yang sekarang kami tempati. Astrid bilang, spot ini sangat disukai pengunjung yang hobi memotret karena selain mendapatkan sudut gambar event yang cukup strategis, pantulan cahaya lampu warna warni yang mengenai dinding Kastil Edinburgh menjadi backdrop yang sangat mempesona. Dan Astrid memang tidak salah. Sayang aku yang hanya memotret menggunakan kamera saku dan bukan dengan kamera DSLR profesional yang tengah dipakai Astrid.

Sayangnya lagi, hanya aku dan Astrid saja yang menyukai barisan rapi pria Skotlandia yang mengenakan kilt dan bagpipe. Tidak demikian dengan Arlan. Asisten Papa itu lebih memilih menunggu di luar Kastil. Si bodoh itu tidak memahami betapa sangat menyentuh melihat seorang pemain alat musik pipa memainkan lagu Skotlandia kuno yang sedih pada acara puncak dari atas dinding Kastil Edinburgh.

"Apa menariknya melihat laki-laki berbaris mengenakan rok dan meniup alat musik yang bunyinya memekakkan telinga?"

Itu salah satu komentar si asisten yang membuat Astrid memutuskan menjual tiket Millitary Tattoo ketiga yang ia beli untuk pertunjukan hari ini. Kenapa ia tidak mencoba menyenangkan kami dan bekerja sama saja? Toh Astrid sudah susah payah membelikan tiket.

"Itu salahku, Rena .... Aku selalu lupa kalau dia tidak suka mendengar musik yang dimainkan dengan alat musik pipa. Padahal aku mengenalnya lama," jelas Astrid saat aku memprotes sikap Arlan yang tidak mau mengalah.

Langit yang gelap menandakan bahwa hari sudah lewat petang. Lontaran kembang api yang mewah dan tampak semarak namun sekaligus klasik itu menjadi penutup sajian keseluruhan rangkaian acara Millitary Tattoo yang sudah berlangsung selama tujuh tam sejak pukul sepuluh pagi. Aku dan Astrid pun bergabung bersama pengunjung lain yang bermaksud keluar arena.

"Kenapa dia tidak suka?" aku kembali bertanya, melanjutkan rasa ingin tahuku tentang Arlan

"Aku tidak terlalu ingat detilnya, tapi musik bagpipe sepertinya mengingatkannya akan sesuatu yang buruk. Ah bodoh, kenapa aku bisa lupa? Wajar kalau Arlan kesal padaku," gumam Astrid.

Mau tidak mau aku juga berpikir, memang sangat aneh kalau Astrid yang pernah menjalin hubungan dengan Arlan bisa melupakan fakta sepenting itu. Dan itu membuatku menyimpulkan Astrid tidak pernah mencintai Arlan sebesar Arlan pernah mencintainya. Itu tentu membuat Arlan sangat terpukul.

"Astrid, apa kamu pernah berpikir kalau suatu saat hubunganmu dengan Arlan bisa seperti dulu lagi?"

"Maksudmu? Seperti dulu itu ... apa aku dan dia kembali pacaran?"

Aku mengangguk. Seketika wanita berambut merah dan berpotongan pendek itu tertawa.

"Kenapa kamu tertawa? Apa itu tidak mungkin?" tanyaku sedikit tidak suka dengan reaksinya.

"Tentu saja itu tidak mungkin, Sayang ... aku sudah cukup menghadapi kecemburuannya yang tidak masuk akal dan juga sifat posesifnya."

"Tapi itu artinya dia memang mencintaimu. Aku tidak pernah punya pacar yang melarangku ini itu, memberiku perhatian atau pun membuatku merasa nyaman dengan kehadirannya. Sederhananya pacarku tidak pernah menganggap aku ada kecuali apa yang kumiliki."

Astrid tersenyum bersimpati. Ia menepuk bahuku lembut.

"Aku tidak tahu, Rena. Aku selalu merasa ingin bebas. Tidak suka jika apa yang kulakukan selalu dinilai ataupun dihakimi. Arlan sangat baik, aku juga menyayanginya. Aku benci selalu dicemburui. Itu saja."

Buatku, itu belum cukup menjadi alasan bahwa mereka tidak lagi bisa bersama.

"Ngomong-ngomong soal cemburu, aku sangat ingin tahu, kupikir ada hal lain yang membuat Arlan uring-uringan hari ini. Mungkin karena seseorang tidak pulang semalam dan baru pulang paginya."

Sindiran halus yang dilontarkan Astrid serta merta membuatku melayangkan ingatanku tentang peristiwa semalam. Dengan hanya mengingatnya saja seolah-olah pikiranku dibawa kembali pada menit-menit mengejutkan saat tiba-tiba Jim menciumku. Seketika aku merasakan panas yang tidak biasa menjalari seluruh wajahku.

"Itu ... aku ..."

"Arlan bilang semalam kamu datang ke apartemen Jim. Bagaimana bisa terjadi? Kukira menurut cerita Arlan, kamu seharusnya mengikuti kelas cello yang diajarkan Jim."

"Ya, seharusnya begitu. Tapi ada sesuatu yang terjadi."

"Benarkah? Ada yang terjadi antara kamu dan Jim? Jangan bilang kalau kalian ..."

Aku terperangah. Tidak tahu harus menjelaskan dengan cara seperti apa. Apa yang terjadi di antara aku dan Jim? Aku akan dengan senang hati menceritakan kalau memang di antara kami 'ada' yang terjadi. Tapi nyatanya ...

Nothing happened.

***

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Where stories live. Discover now