40. Only Hope

564 47 0
                                    

Jakarta, 14 Agustus 20XX

Menjadi popular tidak pernah sekalipun kuinginkan.

Popularitasku bukan berasal dari apa yang sudah kuraih, melainkan karena siapa orangtuaku, siapa kakek nenekku dan siapa orang-orang yang pernah bergaul denganku. Sedikit pun aku tidak bangga akan hal ini. Kupikir memang banyak orang lain yang mencibir karena seseorang popular akibat "hasil" semacam ini. Dan aku tidak pernah ambil pusing sekalipun mereka melempar pandangan sinis ke wajahku. Ya, aku terbiasa dengan perlakuan semacam itu.

Lalu, apa yang kulakukan jika sekarang ini tatapan mereka berubah?

"Wow ... lihat dia, dia yang pernah menjadi cellist saat penampilan khusus pianist dari Skotlandia saat festival di Edinburgh tahun lalu."

"Aku nggak tahu kalau anak konglomerat seperti dia bisa memainkan cello ..."

"Aku juga baru tahu anak angkuh itu bisa bersentuhan dengan musik."

"Aku sih nggak heran jaman sekarang orang mudah populer dengan ratusan ribu klik video yang diunggah ke Youtube."

"Ya benar. Kenapa juga orang yang sudah populer harus lebih populer dari sebelumnya?"

Aku menghela napas. Percakapan mereka tetap saja tidak jauh dari mencelaku. Aku tidak heran. Yang membedakan kali ini, aku tidak punya kepentingan untuk merasa terluka ataupun sakit hati. Namun itu tetap tidak mengubah bahwa kenyataan aku memang tidak peduli.

Satu-satunya yang kupedulikan, siapa orang bodoh yang mengunggah video pementasan drama musikal anak tahun lalu itu? Dan sangat spesifik hanya merekam bagian duetku dengan Jim Morley, sang pianis terkenal sementara aku memainkan cello.

Ya, satu fakta kecil itu telah sedikit merubahku sekarang ini. Itu membuatku harus berdiri di hadapan sejumlah orang yang mungkin kelewat antusias mengharapkan sebuah penampilan sekelas maestro ketimbang hanya seorang amatir. Apalagi jika bukan gara-gara video Youtube sialan itu. Akan kupastikan orang yang mengunggahnya tertangkap sebelum membuat video lain yang memalukan tentangku. Di caption video-nya saja sampai tertera jelas: The one and only Renata William, the only bitch in Jakarta. Bahkan di Edinburgh saja, masih ada seseorang yang mengenaliku.

Aku berdiri tepat di depan pandangan puluhan atau bisa jadi ratusan pasang mata undangan di acara resepsi pernikahan Papa malam ini. Ah ya, aku lupa memberitahu, ya seperti yang sudah seharusnya dan seperti yang kuperkirakan, Papa benar-benar melamar Astrid beberapa hari setelah kepulangan Papa kembali ke tanah air. Papa masih harus menghadapi kasus pemukulan pejabat yang dilakukannya saat menjabat sebagai duta besar. Meskipun belum sepenuhnya terbukti bukan murni salah Papa sepenuhnya, Papa tetap fair memutuskan untuk mundur dari jabatan. Terlebih Papa juga dibebaskan dari tuduhan menyetir dalam keadaan mabuk. Meskipun tidak ada sangsi deportasi, Papa bilang akan mengurus beberapa keperluan penting di Inggris dan selebihnya pasangan suami istri baru ini akan tinggal di Indonesia.

Ini yang kusebut ironi dibalik sebuah ironi.

Aku bahagia Papa akhirnya lebih dekat denganku dan aku bisa menemuinya kapan pun aku mau, tapi sekaligus sedih bukan aku ataupun mama yang membawanya kembali ke Indonesia, melainkan Astrid, seorang wanita cantik, pintar sekaligus ambisius dalam karir jurnalistiknya. Satu lagi ironi dalam lingkaran ini. Astrid yang ambisius dan hampir tidak bisa ditebak perasaannya memutuskan menerima lamaran Papa dan bersedia kembali ke tanah air ketimbang terus bekerja sebagai jurnalis di Inggris. Yang paling membuatku serba salah adalah karena aku tahu Astrid sangat baik padaku dan kami telah berteman baik tanpa kami sadari, sementara Mama belum bisa menerima kenyataan bahwa pintu rujuk yang pernah terlintas di kepalanya menjadi pupus karena kehadiran Astrid.

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora