15. Do You Love Her?

1.1K 119 2
                                    

"Kamu menyukainya kan?"

Arlan tidak terlihat terkejut dengan pertanyaanku yang tiba-tiba. Ia seolah tahu aku akan menanyakan pertanyaan itu. Alih-alih terkejut, asisten Papa itu tetap meneruskan membereskan koper dan bawaan kami.

Astrid terhitung sangat beruntung. Menit di saat kami memutuskan akan mencari hostel, ia mendapatkan tawaran yang lebih bagus. Seorang kawan reporternya, menawarkan sebuah wisma cukup besar yang bergaya Georgia. Wisma yang belum dibuka untuk umum, setelah pemilik rumah sebelumnya menjual rumah itu pada pengelola wisma yang masih keluarga kawan Astrid. Beberapa tamu dari luar negeri juga dijadwalkan datang tapi mereka membatalkannya di menit terakhir. Dan sungguh hal yang bagus saat kami mendapati wisma mewah ini masih kosong. Secara kebetulan setelah berputar-putar mencari lokasi wisma, Astrid minta ijin untuk menemui teman reporternya. Lalu disinilah kami, di saat aku membiarkan Arlan membereskan bawaan kami, aku mencoba sedikit menginterogasinya.

"Siapa?" tanyanya acuh tak acuh.

"Astrid. Seharian ini kalian bertengkar, berdebat seperti anak remaja. Dan aku tidak pernah melihat itu kalau ada papa. Jadi benar kan? Kau menyukainya?"

"Bagaimana kalau iya?"

Oh dia cukup berani juga.

"Why not? Kalian cocok."

Ia menggeleng sembari tersenyum mendengar jawabanku.

"Sayangnya, pertanyaanmu tidak akan membawa jawaban yang memuaskanmu. "

"Let's give it try, jadi apa sebenarnya hubungan kalian?"

"Dia pacarku saat kuliah."

Jawaban yang lugas. Aku terdiam, tidak menyangka pria ini akan menjawab pertanyaanku dengan sangat jujur.

"Kami pernah dekat. Sejujurnya, kami juga pernah berhubungan tapi tidak lama. Dan lebih sering bertengkar. Aku sangat posesif sementara dia menginginkan kebebasan. Menahannya lebih lama hanya membuat kami menjadi saling benci."

Ia mengucapkan itu dengan nada yang sangat datar. Seolah-olah ia berusaha mati-matian menyembunyikan rasa sakitnya.

"But you still love her, don't you?"

"I still care for her. That's it. I can's ask more than this. Tidak, jika di depan Mr. William."

"T-Tunggu, apa maksudmu tidak di depan Papa? Maksudmu Papa dan Astrid benar-benar menjalin hubungan?"

Aku mendadak tidak ingin mendengar kelanjutannya lagi.

"Aku kira kamu sudah tahu," ujarnya.

Tahu soal apa? Aku selalu tahu mereka berteman, mungkin bisa jadi lebih atau salah satu dari mereka punya perasaan satu sama lain. Tapi tidak dengan cara diberitahu secara terang-terangan seperti ini. Rasanya ... rasanya aku belum siap menerima siapapun ... siapapun yang mungkin menggantikan mama. Bahkan seandainya dia adalah wanita yang kusukai.

"Konyol," ucapku sedikit kesal.

Aku tidak tahan lagi untuk tidak meninggalkan tempat ini. Segera saja aku meninggalkan Arlan yang masih sibuk membagi kamar untuk kami tempati.

"Hey, kamu mau kemana?"

"None of your business," sahutku tidak mempedulikan dan seketika membanting pintu begitu saja di depan mukanya.

"Renata! Rena ..."

Aku tidak mempedulikan panggilan Arlan dari dalam dan dengan kesal meninggalkan wisma yang akan menjadi rumah kami sebulan ke depan.

Aku menyukai Astrid. Dia wanita yang menarik. Tidak biasa dan sangat menyenangkan dijadikan teman biarpun ia lima tahun lebih tua dariku. Tapi bagaimanapun aku tidak menyukai ide bahwa ada wanita yang mendampingi papa selain mama. Memikirkan seseorang akan menjadi ibu tiriku itu sungguh mengerikan. Lebih mengerikan dibandingkan aku ditipu belasan pria matre manapun.

Mobil taksi serta merta berhenti di depanku. Aku buru-buru menepikan kakiku dan naik ke trotoar. Beberapa detik kemudian aku menyadari sosok yang turun dalam taksi, dan tiba-tiba aku tidak ingin melihat wajahnya.

"Rena .... Hei, ada apa denganmu?"

Astrid setengah berlari mengejarku. Wanita berambut ikal pendek itu tampak berusaha keras mengikuti langkahku yang menghindarinya.

"Tidak ada apa-apa," jawabku tidak mau peduli.

"Lalu, kamu mau kemana? Kenapa kamu menghindar? Apa yang sudah kulakukan?"

"Nope, itu cuma perasaanmu. Aku cuma mau jalan-jalan sendiri."

"Renaaaa ..."

"Tolong jangan ikuti aku. Aku cuma mau sendiri."

Aku berbalik dan terpaksa sedikit membentaknya. Aku melihat raut keterkejutan di wajah wanita itu. Mungkin ia tidak menyangka aku akan berlaku memberontak. Hanya sebentar ia terkejut, dan berikutnya ia berjalan menghampiriku.

"Aku tidak tahu ada apa denganmu atau apa yang dikatakan Arlan padamu. Tapi aku cuma ingin membantumu ..."

Aku mendengus dan menghindari tatapan matanya. Aku takut akan tunduk pada semua bujuk rayunya dan membuatku lupa sama sekali akan perasaan mamaku.

"Aku bertemu dengan temanku sesama jurnalis seni. Dia kenal dengan Jim Morley. Sejak kematian tunangan Jim, temanku tidak pernah bertemu lagi dengannya."

Nama itu lagi. Seolah-olah ia sengaja menyuapku dengan segala hal tentang Jim.

"Tapi dia memberiku alamat apartemen Jim Morley."

DEG

Sial, bahkan di saat aku ingin sejenak melupakan nama itu. Debar jantungku tidak bisa kubohongi. Aku melihat Astrid mengulurkan secarik kertas padaku. Aku ragu-ragu dan merasa bersalah jika aku meraih kertas itu. Tapi ...

Aku ingin bertemu denganmu, Jim.

Ingin sekali .... Sampai rasanya aku bisa gila.

***

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang