41. Fade Out

624 49 4
                                    

"Penampilanmu menakjubkan, Rena."

Aku tersenyum berterima kasih saat Arlan menghampiri mejaku dan aku tengah menyesap anggur putih yang disediakan khusus resepsi ini. Tidak ada orang lain di meja ini. Aku sengaja memilih meja yang sepi dan menyendiri setelah penampilan singkatku beberapa menit yang lalu.

Tidak berakhir dengan dilempari gelas dan botol kosong membuatku merasa bersyukur bahwa penampilanku terhitung lumayan di mata penonton di sini. Aku bahkan tidak percaya saat beberapa orang bersiul dan bertepuk tangan keras. Yang paling mengejutkan gerombolan gadis-gadis yang lebih suka mencelaku ketimbang memujiku itu juga tampak tulus bertepuk tangan. Keajaibanku masih bertahan sampai malam ini. Aku tidak bisa meminta lebih dari ini.

"Kamu masih terlihat galak. Tapi entah bagaimana malam ini kamu juga terlihat lembut dengan sisi melankolismu saat menyanyikan lagu barusan. Aku tidak tahu permainan cello-mu semakin sempurna."

Aku anggap kata-kata Arlan itu pujian terlepas dia masih memberiku label galak.

Musik jazz pelan mengalun lembut. Band yang disewa khusus untuk menghibur tamu undangan tampaknya tahu benar mood pengunjung saat ini adalah larut dalam keromantisan yang menular dari pasangan pengantin itu. Aku melihat beberapa pasangan turun dan berdansa waltz pelan.

Hingga aku terlambat menyadari Arlan mengulurkan tangannya dengan isyarat jelas. Tatapan matanya dan senyum menggantungnya tengah mengucapkan kata "would you dance with me?"

Aku terdiam sebentar sebelum menyambut uluran tangannya. Semata untuk mengetahui bagaimana reaksinya. Tapi dia terlalu tidak sabaran dan lebih memilih menggamit pinggangku dan membimbingnya ke lantai dansa.

"Apa lagi yang kamu tunggu sih? Kamu mau menggodaku?" tanyanya dengan nada yang menggelitik di telingaku. Aku membiarkan jemarinya memagut jemariku sementara lengan yang satu lagi ia letakkan di belakang punggungku.

"Seingatku dari awal kamu yang menggodaku, Arlan," tukasku sembari tersenyum dan meletakkan kepalaku di bahunya.

"Tidak ada dalam rumusku aku menggodamu, ingat? Aku sudah memperhatikanmu sejak lama. Aku menunggu lama saat bisa berdansa denganmu seperti ini, kamu tahu?"

Aku tersenyum menanggapi protesnya.

"Ya, aku tahu," ucapku lirih. Memusatkan segenap kekuatanku yang tersisa untuk berdansa waltz pelan malam ini.

"Melihatmu memainkan cello tadi, entah bagaimana membuatku ketakutan setengah mati kamu akan meninggalkan aku seperti saat di bandara tahun lalu."

"Benarkah?"

"Ya. Kamu juga menyinggung tentang laki-laki itu, tentang bagaimana kamu mencintainya ..."

"Kamu tahu soal itu."

"Ya. Aku merasa sungguh terluka jika masih mendengarmu membicarakan dia, terlebih karena aku melihatmu tengah menghancurkan diri sendiri karena mencintainya."

Aku tidak membalas ucapannya. Menyandarkan kepalaku di salah satu bahunya, cuma itu satu-satunya yang bisa kulakukan. Hanya dengan seperti ini aku bisa meredam gejolak dan seluruh kerinduanku pada sosok pianis itu.

"Kau belum pernah menceritakan padaku. Apa yang terjadi setelah pementasan itu? Meskipun aku tahu mendengar ceritanya tidak pernah membuatku senang, aku harus tahu ... Hanya supaya aku yakin padamu bahwa hatimu tidak tertinggal di tempat itu."

Bahkan seandainya aku menceritakannya padamu, aku tetap tidak yakin bahwa hatiku tidak tertinggal di sisi pria itu.

Masihkah kau menginginkan aku bercerita?

***

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang