12. Astrid

1.4K 159 2
                                    

"It's awesome," seru Astrid segera setelah kami keluar dari amphitheatre tempat kami barusan menyaksikan opera yang disuguhkan.

"Siapa yang menyangka opera Italia ini terinspirasi puisi terjemahan bahasa Perancis dari penulis Skotlandia terkenal, Sir Walter Scott. Kalau tidak salah judulnya The Lady of The Lake."

Aku masih mendengarkan celotehannya setelah kami sudah melangkah keluar dari Covent Garden ini, di dalam mobil bahkan saat kami akan makan malam di sebuah restoran. Astrid terus saja bercerita tentang pertunjukan barusan. Sepanjang ia menceritakan tentang kehebatan Gioachino Rossini yang menciptakan kisah La Donna Del Lago, Astrid terus saja menggandeng lenganku seolah-olah kami adalah kawan lama.

"Nyanyian Elena untuk Malcolm, kekasih yang dicintainya saat di danau itu indah sekali. Sebuah pengharapan seorang gadis yang berdoa bahwa kekasihnya berada di antara para pemburu yang datang ke danau ..."

Bagaimana mengatakannya ya, sosok Astrid ini sungguh terlihat bagaikan gadis naif dan pengkhayal. Tak pelak aku menatap mata Papa dan mendapati Papa tersenyum geli ke arahku. Entah kenapa itu membuatku tersenyum.

"Ada apa? Kenapa kalian tersenyum? Don't you like it?" tanya Astrid padaku. Buru-buru aku sibuk dengan menu appetizer di depanku.

"Uhmmm .... Aku tidak terlalu paham soal opera. Mungkin karena seluruh bahasa yang dipakai itu bahasa Italia."

"Tapi ... bukankah ada subtitle yang disediakan?"

"Yeah ... aku tahu, tapi ... " Aku kebingungan mencari alasan, terutama karena aku cukup bosan dengan pertunjukan yang memakan waktu tiga jam dua puluh menit.

"Kamu tidak suka opera? Lalu bagaimana musiknya? Nyanyiannya?"

"Bagus. I mean, musiknya bagus ... Akustiknya juga sangat bagus," ujarku.

"Sudah pasti. Sayang sekali di bagian sonata piano saat intermezzo, bukan Jim Morley yang memainkannya. Akan sangat bagus kalau komposisi Brahms itu dimainkan oleh pianis yang berasal dari Skotlandia itu."

Mendadak aku menghentikan suapan sup biji kedelai dan mint yang menjadi makanan pembuka makan malam kami hari ini. Nama itu ... Apa Astrid baru saja menyebut nama Jim Morley?

"Jim Morley?"

"Yap. Sebenarnya saat di tengah-tengah sebelum memasuki babak kedua, Jim Morley dijadwalkan tampil. Bahkan namanya tercantum di dalam poster. Tapi kudengar penampilannya dibatalkan, yah pianis yang tadi pun tidak buruk juga," jelasnya yang makin membuat dahiku berkerut.

"Jim Morley yang berasal dari Edinburgh?"

"Oh, kamu juga tahu soal dia? Kukira kamu tidak suka musik klasik. Tapi cukup masuk akal, Jim sangat tampan untuk seorang pianist. Cukup terkenal di kalangan wanita."

Benarkah Jim yang dimaksud Astrid dan Jim yang ada di kepalaku adalah sosok yang sama? Aku tidak berani berharap. Namun kuberanikan diri untuk mencari tahu, berasumsi bahwa yang kami bicarakan adalah sosok yang sama.

"A ... aku dengar ... dia baru saja kehilangan tunangannya. Seharusnya mereka menikah bulan ini."

"Ya kudengar juga begitu, salah satu temanku jurnalis seni di Edinburgh adalah teman dekat Jim. Dia menghilang selama sebulan dan sama sekali tidak datang ke pemakaman tunangannya. Sayang sekali. Itu artinya dia juga membatalkan jadwal konser dan resital pianonya."

Aku terkesiap dan semakin yakin, Jim yang kami bicarakan adalah orang yang sama. Ingatanku akan sosok ceria yang menceritakan tentang tunangannya di pesawat mendadak menyeruak. Sekarang aku tahu makna kegetiran yang menyertai derai tawanya saat percakapan kami di pesawat. Dia terlalu terpukul dengan kenyataan bahwa orang yang paling dikasihinya tidak ada lagi di dunia. Dan bodohnya aku justru iri dengan kebahagiaan yang dipancarkan Jim saat itu. Kenyataannya ... dia ...

"Oh, darling ... Ada apa denganmu? Kenapa menangis?"

Menangis? Aku?

Oh sial, darimana asal buliran titik air ini? Tanpa bisa mencegahnya, aku membiarkannya jatuh dan menggenangi pelupuk mataku.

"Rena ...? Kamu tidak apa-apa?" Kali ini papaku yang bertanya.

"Aku ... eh ... aku ingin ke toilet," pamitku. Sebentar kemudian aku berjalan menuju toilet di ujung koridor Restaurant Clos Maggiore. Tadinya aku berjalan cepat, namun saat berada di depan pintu masuk toilet, aku ragu. Aku menghampiri kursi antik yang menjadi aksen kolam pancuran di dalam ruangan. Lampu kolam berpendaran seraya kompak dengan gemericik air kolam. Seperti yang diharapkan pada restoran bernuansa romantis yang terbaik di Inggris.

Instead being romantic why I'm feeling so sad right now?

"Menyendiri di sini rupanya ...."

Aku menoleh dan mendapati Astrid sudah berdiri di belakangku. Sejak kapan dia mengikutiku?

"Cuma ingin mencari udara segar," jawabku.

"Kamu bohong. Raut wajahmu berubah saat aku menyebut nama Jim Morley. Seingatku kamu bilang tidak suka opera, musik klasik atau semacamnya. Tapi kamu tahu soal dia. Jadi kamu mengenalnya?"

Sebentar saja, Astrid sudah menjejeriku di kursi tua ini. Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku mengangkat lengan kiriku dan kelima jariku tepat di hadapannya. Hanya supaya ia bisa melihat cincin yang kukenakan.

"Cincin? Ada apa dengan cincin itu?"

"Cincin ini... Milik tunangan Jim."

"Kenapa cincin ini ada sama kamu?"

Seketika dari mulutku meluncurlah cerita pertemuanku dengan pria itu di pesawat dan alasan kenapa aku pergi ke Edinburgh. Pencarianku atas tunangan Jim yang berujung pada berita duka yang menghancurkan bayangan-bayangan indah akan prosesi pernikahan mereka. Dan cincin ini .... Betapapun Jim tidak membutuhkannya lagi, adalah sesuatu yang salah berada di jemariku.

"Oh dear ..., sekarang aku mengerti kenapa kamu menangis. Kamu jatuh cinta dengannya."

Aku menatap Astrid dengan pandangan heran. Darimana ia berasumsi seperti itu?

"Tidak, kamu salah paham. Aku sedih karena mengetahui kenyataan bahwa Jim telah kehilangan tunangannya. Dan aku merasa tidak berhak akan cincin ini."

"Ya, kamu benar. Tapi kamu tidak akan sejauh itu datang ke Edinburgh hanya untuk mengembalikan cincin. You attracted to him."

"Tidak ... itu tidak benar ..."

"Dalam hatimu ada rasa penasaran yang sedemikian hebat, wanita macam apa yang dicintai Jim. "

"Bukankah itu hal yang wajar?"

"Ya tentu saja wajar. Dan sangat wajar kalau kamu jatuh cinta padanya karena dalam hatimu kaupun mencari sosok seperti dia."

Aku terdiam. Pernyataan terakhir yang diucapkan Astrid membuatku bertanya-tanya, sejauh mana Astrid tahu tentang aku? Apakah Papa sering bercerita tentangku? Dan bagaimana mengatakannya ya .... Rasanya, ucapannya benar-benar menghunjam ulu hatiku. Begitu tepat sasaran.

"Kamu ingin menemuinya kembali ke Edinburgh?" tanyanya seakan hanya basa-basi. Aku mendengus kecil.

"Aku ingin menemuinya, tapi ... aku khawatir Papa tidak setuju."

"Oh, dia pasti setuju."

"Why?"

"Karena sebentar lagi musim panas, dear ..."

"Musim panas?"

Astrid menggelengkan kepalanya melihat kebingunganku.

"Karena musim panas di Edinburgh artinya festival and I have a lot job to do. Apa aku sudah bilang kalau pekerjaanku adalah meliput dan me-review acara seni? Festival Fringe di Edinburgh bukan pengecualian. Jadi .... Kamu mau ikut?"

Saat itu aku melihat sosok Astrid berdiri di samping patung malaikat. Sekarang aku tidak bisa membedakan manakah malaikat yang sebenarnya. Kupikir ... aku bisa menyukai wanita ini.

"Tentu saja."

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang