19. The Last Letter

938 81 0
                                    

Aku tidak pernah ingat kapan terakhir kalinya aku menerima surat sebanyak ini. Surat yang semuanya bernada sejenis. Ajakan untuk melakukan pekerjaan. Pekerjaan yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tawaran untuk mengisi musical score di sebuah musical production, tawaran bermain untuk Scottish Orchestra dalam beberapa konser, mengisi sebuah sonata saat intermezzo untuk opera ataupun sekedar menjadi tamu dalam recital pianis-pianis pemula. Bahkan beberapa production menjanjikanku jadwal konser di akhir pekan selama Fringe Festival untuk memastikan kursi penonton selalu penuh. Tawaran yang menggiurkan, kalau saja ini aku dapatkan beberapa tahun lalu saat aku masih bersusah payah menapaki dunia persaingan para pianis.

Tidak, bukan tawaran-tawaran itu yang mengejutkanku, melainkan ... dari mana asalnya semua surat-surat ini?

"Kyle, bisa jelaskan dari mana surat-surat ini berasal?" tanyaku pada seorang sekretaris Derek yang seluruh hidupnya dihabiskan untuk menerima telepon dan me-manicure kukunya kapan pun dan bagaimanapun situasi kantor sekolah musik La Harmony ini.

"I don't know, Jim ... they're just coming. Awalnya dari beberapa telepon orang tua siswa yang penasaran tentangmu. Berikutnya, aku terus menerima telepon dari orang-orang yang hanya menanyakan keberadaanmu."

"Lalu kau bilang apa?"

"Aku jawab sekarang kau adalah guru cello di tempat ini. Dan tiba-tiba saja, surat itu sudah berdatangan . benar-benar tidak bisa meremehkan kekuatan jaringan informasi ibu-ibu. By the way ... happy birthday, Jim "

Aku terdiam sejenak. Mengingat-ingat sesuatu yang justru aku lupakan. Tanggal 2 Agustus. Sedikitpun aku tidak ingat kapan aku berulangtahun.

"Thanks, Kyle," ujarku tidak terlalu antusias.

Aku menghela napas melihat tumpukan surat-surat ini. Sesuatu yang tidak kuperkirakan sebelumnya. Kukira setelah aku tidak mendatangi apartemen lamaku, aku akan aman dari tumpukan surat-surat pekerjaan itu, tapi ternyata aku salah. Di rumah Julie, aku aman. Tapi di sini? Aku harus berhati-hati dengan keingintahuan wanita-wanita yang gemar memaksakan bakat musik anaknya hanya supaya anak mereka diajar oleh orang yang hanya kelihatan keren saat di televisi atau di panggung.

Dan kenapa aku membicarakan diriku sendiri dari sudut pandang orang ketiga? Aku mulai gila.

"Oh, hai Jim .... Kau sudah terima surat-surat itu? Baguslah ..." Derek berjalan masuk dan menuju mejanya dengan wajah lebiih sumringah ketimbang biasanya. Aku tidak merasa punya kewajiban untuk menjawab pertanyaannya. Ia pasti sudah tahu sendiri jika melihat tanganku yang penuh dengan tumpukan surat.

"By the way, Jim .... Minggu ini Mrs. Finns, istri dari sekretaris walikota mendaftarkan anaknya ke kelas cello. Aku sudah mengatur jadwalnya."

"Astaga. Lagi? Berapa umurnya?" tanyaku tidak bersemangat dan berdoa semoga cobaanku tidak terlalu berat.

"Five."

"Five? Five years old?"

"Yap. Ibunya sangat antusias sekali. Mereka jelas menyukaimu, Jim."

"Derek, this time I begging you, please .... Jangan lagi menerima murid di bawah umur delapan tahun. Kau bahkan tidak punya cello dengan size yang cocok untuk anak di bawah umur standar."

"Ok. Noted. Aku akan membelinya."

"Astaga. Aku serius. Aku tidak suka mengajar anak di bawah umur untuk cello. Itu sangat menghabiskan waktu karena selama berminggu-minggu yang mereka pelajari hanya bagaimana posisi duduk dan memegang cello dengan benar. Mereka akan bosan setengah mati. Sebelum mereka mengenal not balok, mereka sudah merengek minta berhenti."

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)Where stories live. Discover now