Bab 5 : Broken Hope

913 45 6
                                    

Hari yang berat. Bagi Loli maupun Riyan. Bahkan pembaringan itu dirasa terlalu luas bagi gadis mungil seperti Loli. Ia mulai sadar bahwa ketika esok hari ia harus terbangun dan keluar dari ruangan itu, ia tak akan mendapati papa, mama, maupun Ifah lagi. Ah, ya, sekarang bertambah dengan kehadiran ponakan barunya. Ia bahkan belum tahu nama ponakan pertamanya.

Besok gue harus ke rumah sakit.

Ia memejamkan matanya beberapa kali, namun setiap kali itu terjadi, matanya akan membuka kembali. Sejujurnya ia terlalu takut untuk terlelap. Ia takut lelapnya akan berakhir dengan kenyataan esok hari. Kenyataan yang mencabik relungnya, relung yang tengah terisi oleh manisnya ilusi. Ia mulai takut akan mimpi yang sewaktu-waktu bisa saja meninggalkan dirinya pergi.

Ini kok hujan dari mana, ya? Si pancang beli rumah agak gede gini kok malah bocor, sih? Niat bangetttt dia bikin gue nyesekk.

Batinnya berusaha melawan, dibersamai oleh genangan bening yang tak henti membanjir. Tubuhnya meringkuk di sudut ruangan, meninju bahunya berkali-kali, hanya demi memastikan kedua matanya tak terpejam.

Tak berselang lama. Akhirnya ia mencapai lelap.

Satu detik. Dua detik.

Hanya dalam hitungan 3.540 detik, kedua matanya membuka. Ia masih mengenakan baju dan kerudung yang dipakainya ketika makan di luar bersama Riyan. Benaknya kosong. Tapi, satu hal yang membuat seluruh sendinya bergerak cepat. Terlalu cepat.

Brakk! Pintu kamar terhempas. Napasnya tercekat, langkahnya tak lagi berjalan, ia berlari.

01.08

Ckrekkk!

Pintu terbuka paksa. Kedua matanya membulat sempurna. Ia mendapati sebuah ruangan luas dengan kertas tertumpuk rapi, beberapa terkulai di atas lantai, sisanya berserakan tak keruan di atas sprai matras. Satu lagi. Ia mendapati seseorang terduduk di atas kursi dengan komputer yang masih hidup. Seseorang itu, kini menatapnya lekat, mencari celah di antara dua retina pelaku pendobrak.

"Lo... Ngapain di situ?" kalimat berbubuh tanda tanya sukses terlontar dari mulut Riyan. Ia terkesiap ketika mendapati Loli yang tampak sulit mengatur napas, bahkan dengan bulir yang berjatuhan di wajah gadis itu.

Gue ngapain, sih? Kenapa gue sekhawatir ini? Kenapa gue ketakutan begini? Kenapa gue lemah begini? Di depan dia? Kenapa detak jantung gue nggak bisa normal?

"Ng-nggak. Gue..." kalimatnya tersendat. "Gue cuma ngigau. Ini kebiasaan gue, tidur jalan," ungkapnya, bahkan dengan napas yang masih tersengal-sengal.

"Oh, okay...?"

Tanpa kata, bahkan tanpa suara langkah, Loli mundur dan menutup kembali pintu yang bahkan gagangnya tak pernah ia lepaskan sejak tadi.

Gitu, ya? Dia... Masih ada di dunia ini.

Batin Loli. Ada lengkung tipis menghiasi wajahnya. Ia lega.

.
.
.
3:45 AM
.
.

Si pancang tadi malem begadang sampe jam berapa, ya? Duh, gue masih keinget kelakuan super gaje gue semalam.

Betewe sejak kapan gue manggil dia si tiang pancang? Mungkin sejak gue sadar kalo gue mirip bayi prematur kali, ya.

Loli hanya memangku kepalanya dengan tangan kanan yang sikunya bertumpu pada meja belajar di sudut kamarnya. Ia memutar bola matanya bosan. Membiarkan buku berjudul Paradigma Pendidikan yang sejak dua jam lalu menganggur dan stuck di tujuh halaman terakhir.

Cih. Bahkan di mimpi pun gue harus belajar?

Sebentar lagi liburan UAS berakhir. Ia akan memulai kehidupan kuliahnya dengan suasana berbeda. Ia akan berangkat dan pulang ke rumah yang baru.

Nikah Lagi, yuk!Where stories live. Discover now