Bab 10 : Bimbang

544 31 3
                                    

Cekidot
.
.
.
.

Pagi menyapa Loli lagi. Aroma kemuning di taman bunga halaman rumahnya kini menusuk indera penciuman gadis yang memandang jauh di balik jendela kamarnya. Ia mematung. Sesekali merubah posisi tangannya yang terulur bebas di atas matras dengan sprai lembut berwarna hijau menyejukkan. Gadis itu menatap nanar pada tiap kilatan peristiwa yang masih diyakininya sebagai mimpi. Ia menangis, jauh di dalam hatinya.

"Lo masih hidup?" suara lantang namun sedikit lembut. Riyan, pria itu duduk di sisi lain matras. Keduanya kini tepat saling memunggungi satu sama lain.

"Lo ngebet banget buat jadi duda, ya?" balas Loli tangkas.

"Haha, gue cuman nggak mau masuk penjara gara-gara polisi nemuin mayat lo di rumah kita,"

"Nggak papa, yang potensial jadi tersangka di rumah ini kan bukan cuma lo. Ada bi Lisa juga, jadi persentase keamanan lo dari gelar tersangka fifti-fifti lah,"

"Gue nggak mau dapet gelar lain sebelum gelar dokter dulu,"

"Lagian kalo misalnya lo masuk penjara, kayaknya lo bisa istirahat total setidaknya selama lima tahun. Bagus tuh buat lo yang lagi kayak cebong sekarat,"

"Ahh, masih banyak yang harus gue lakuin di luar penjara,"

"Misalnya?"

"Apalagi kalo bukan jagain lo?"

Blushing

Oh, heart, lo nggak boleh nunjukin gejala-gejala abnormal lo di depan si Tiang pancang, pelis....

"Sigh, lo lupa dulu SD gue pernah dapet medali emas Taekwondo?" Loli berdecak bangga.

Riyan tertunduk sambil kedua telapak tangan menopang dahinya, ia tersenyum, "Inget lah. Gue juga inget banget pas dua Minggu setelah lo nerima medali itu, lo tiba-tiba masuk ruang pelatihan olimpiade Matematika sambil nangis-nangis nyariin gue terus lapor kalo kaki lo kejedot siku meja kelas lo,"

Loli bersedekap manyun.

"Ih, apaan, sih, Lo? Itu kan masa lampau," Loli merengut. Tapi kemudian dia tersenyum, seolah moodnya membaik saat itu juga. "Thanks pas itu lo ngobatin gue," tambahnya.

.
.

"Okay, karena lo keliatan masih punya napas panjang, gue ke RS dulu. Kalo ada apa-apa, telepon gue aja,"

"Nggak papa, kan ada bi Lisa,"

"Okay, lo cuma boleh nelepon gue kalo nyawa lo udah di ujung tanduk aja, ya?"

"Sigh," decak kesal Loli yang sampai di telinga manusia kesayangannya itu.

Riyan pergi. Loli masih bisa mendengar suara dengingan mobil yang perlahan menjauh dari rumahnya. Ketika ia merasa jejak Riyan benar-benar tak berbekas, ia memulai drama di kamarnya. Tubuhnya melorot menyapa lantai dengan punggung tersandar di dinding matras. Kepalanya menunduk dengan kedua tangan menutupi matanya yang telah lama berkilauan, yang telah berusaha ia tahankan setidaknya sampai Riyan tak lagi menjangkau dirinya.

Kenapa rasanya sakit?

"Mbak, mbak Lita, mbak baik-baik saja?" seru bi Lisa cemas sambil meletakkan kesepuluh jemarinya pada lengan Loli. Gadis itu tak memberi jawaban. "Apa perlu saya menelepon pak-"

"Tidak, Bi," tukas Loli dengan suara yang susah payah ia kendalikan agar tak bergetar, tapi itu gagal.

Bi Lisa terdiam dan memutuskan untuk duduk di sisi Loli.

"Mbak kalo ada masalah, terutama masalah hati, jangan sungkan tanya ke saya, mbak. Saya pakarnya," celetuk bi Lisa tiba-tiba.

"Benarkah?" sahut Loli seketika mengangkat kepalanya mendadak bersemangat, "Terus bayar SPP nya berapa per semester pas ngambil kuliahnya?"

Nikah Lagi, yuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang