Bab 22 : Lo gue end.....less

486 35 1
                                    

Kau tak akan temukan logika dalam cinta.
Karena bersama cinta, ada rindu yang mengiringinya.
Ia adalah sebuah rasa yang tak mampu diuraikan oleh sejumlah bahasa.
Ia memiliki simbol-simbolnya sendiri.
Simbol yang hanya bisa dipahami oleh hati.

.
.
.
.

Cekidot!

Dua dunia. Ilusi dan realita. Gadis itu tak tahu di mana kisahnya tengah beranjak, dan ke mana kisah itu akan melangkah. Dunia ini berputar, berubah, tapi tidak dengan perasaannya. Ia masih percaya bahwa ini adalah... mimpi.

Ia menangis. Jauh di dalam hatinya. Ia telah melihat kekasihnya tampak begitu tersiksa, berulang kali. Ia merutuki dirinya sendiri sebagai pemilik mimpi.

Kenapa?
Bukannya ini mimpi gue?
Kenapa gue nggak bisa buat dia bahagia?
Lagian ini kan mimpi.
Tapi kenapa rasanya kek sakit beneran?

Mama, Papa, kak Ifah, Ita kangen, hiks...

"Mbak, Mbak mikirin apa?" Bi Mona menepuk pelan bahu kiri Loli.

Gadis itu terkejut dan segera menjawab, "Eh? Nggak papa, Bi. Cuma kepikiran padi di sawah digondol keong ratcjun."

"Eh? Mbak punya sawah?"

"Nggak."

"Duh gimana, sih, Mbak." Bi Mona geleng-geleng kepala.

"Mbak, pak Adryan udah mau berangkat tuh," kata bi Lisa mengingatkan. Lagi-lagi Loli terkejut. Jelas sekali ia tengah sibuk memikirkan sesuatu.

"Udah siap?"

"He'm." Loli mengangguk mantap sembari tas ransel menempel erat dalam pelukannya.

"Inget, ntar kalo lo pulang, jangan ke mana-mana. Kalo gue belom dateng, lo nggak boleh pergi."

"Okay, pak dokter!"

Sejak semalam Riyan sudah memperingatkan Loli untuk menuruti keinginannya. Bukan keinginan, mungkin lebih tepatnya seperti perintah karena terdengar cukup mutlak.

Lagian gue seneng sih sebenernya.
Seseneng sponsebob ketemu petrik en warga bikini batem pas 'satu hari bahagia tanpa sponsebob'

Ya, gue berasa dianggep bini aja sih.
Udah nggak terlalu berasa jadi curug pungut.

Mereka bergegas ke kampus dalam satu mobil. Riyan meminta Loli agar tidak menggunakan kendaraan pribadi untuk beberapa waktu. Dia hanya ingin memastikan segala sesuatu berjalan lancar untuk Loli.

"Pak dokter ... nggak papa?" tanya Loli dengan wajah tertunduk, tenggelam dalam ransel yang masih saja dalam pelukannya.

"Gue? Gue nggak papa, tuh."

"Oh ya, kalo lo mimpi pocong nyetir vespa sambil keramas, atau kuntilanak kecebur got talent, lo baca Alfatihah kek. Jangan lupa, inget gue juga. Sapa tau zatannya menciut kayak di pilem aminasi Nusabangsa," cerocos Loli tanpa jeda.

"Hahaha. Oke siaappp profess-"

"Astaghfirullah... Riyan, awas!"

Ckieeeeetttt

Hampir. Hampir saja ia menabrak mobil yang sejak awal terparkir di sisi kiri jalan. Entah. Ia hanya tiba-tiba terdiam ketika tanpa sadar kata yang selalu menjadi nama panggilannya di masa lalu itu terucap spontan oleh dirinya sendiri. Kilasan kenangan itu muncul beberapa detik selama kata itu terngiang.

"Maaf," ucap Riyan dengan paraunya. Tangan kirinya sejak awal kejadian merentang hendak melindungi Loli dari hentakan yang bisa membuatnya terluka.

Nikah Lagi, yuk!Where stories live. Discover now