Bab 28 : Heartless

352 29 0
                                    

Inilah hatiku.
Ruang yang dijejali oleh rasa takut.
Takut memilikimu, karena aku takut kehilanganmu.
Takut tak memilikimu, karena aku takut tak akan ada lagi hakku untuk berada di sisimu.
Dunia terasa semakin sesak.
Jika boleh meminta, aku ingin sejak awal rasa ini tak pernah ada.
.
.

Cekidot!
.
.
.

Ding dong ding dong

"Ck. Siapa sih?"

Loli berjalan menuju gerbang yang jaraknya sekitar 10 meter dari pintu utama.

"Pengiriman paket. Tolong ditandatangani."

Paket?
Dari siapa?
Ini bukan gaya mama ngasi hadiah.
Atau jangan-jangan fans radikal gue?

Moga-moga isinya bukan surat berantai.

Tapi ini tertulis untuk...

"Ah, ya. Terimakasih," ucap Loli sembari menerima kotak berbungkus plastik cokelat.

"Nih." Loli menyerahkan kotak paket itu pada pemilik yang berhak alias Adriyan.

Laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya ketika melihat benda itu terpampang di atas meja kerjanya.

"Ini apa?"

"Buntilan telur kodok," jawab Loli ngasal. "Ya paket lah, tolo'! Pake nanya lagi."

"Dari?"

"Nggak tau, mungkin mantan terbego lu."

Tanpa membuang waktu lebih lama, ia membuka paket tersebut dan hanya menemukan beberapa jilid buku, arsip lomba menulis cerpen lima tahun yang lalu.

.
.
.

Flashback on

Lima tahun yang lalu.

Pukul 01.05 a.m.

Tretetet tretetet tretetet
Dering telepon berhasil mengejutkan pemiliknya. Ia baru saja membalik halaman ke-sekian ratus dari buku judul favoritnya.

Asing. Nomor telepon tak dikenal. Riyan menekan tombol power di sisi ponselnya dan melanjutkan kegiatan berharganya.

Tretetet tretetet

Telepon itu kembali berdering. Dering yang ke-5.

Kali ini Riyan mencoba memberi kesempatan.

"Hallo?"

"Ma-maaf..."

Sek!

Terdengar jelas ponsel di ujung sana tengah dirampas oleh seseorang, dihempaskan dan mati. Telepon mati.

A-Acha?

Tanpa memberi jarak waktu, laki-laki itu bergegas menuju garasi dan mengambil sepeda motor sembarang. Ia memikirkan segala kemungkinan selama perjalanan tanpa mengurangi kecepatan. Ia berusaha untuk tetap berpikir kritis.

Dan, ia akhirnya mengarahkan laju motornya ke suatu tempat.

Sekolah.

Hari ini Acha tidak masuk sekolah. Ia teringat beberapa hari yang lalu Acha pernah bercerita tentang kegiatannya pekan ini : kemah pengukuhan anggota Paskibra SMA. Surat izin dari kepala sekolah datang terlambat sehingga guru mata pelajaran kelas pertama tidak mendapat konfirmasi apapun.

Motor berhenti. Gerbang sekolah seharusnya terkunci. Seseorang memaksa masuk dan menghancurkan gembok pagar secara kasar. Ia masuk dengan rasa cemas yang semakin memburu.

Nikah Lagi, yuk!Where stories live. Discover now