Bab 8 : Jeles (2)

620 33 4
                                    

Cekicekicekidot!
.
.
.
.
.

Ruang tamu. Seorang wanita setengah baya terduduk di salah satu kursi dengan menghadap dua warga asli rumah, Adriyan dan Loli. Ia akan membantu pekerjaan di rumah mereka sebagai hadiah pernikahan dari orang tua Adriyan. Begitu pun gaji dan tunjangan ditanggung oleh orang tua Adriyan. Meski awalnya laki-laki itu menolak, namun orang tuanya, terkhusus bu Kartika, memaksa agar ia menerimanya. Maksud tersembunyi dan sebagainya? Wallahu a'lam. Kalo lo segitu ngebetnya pengen tau, tanya aja sama mama baru gue!

“Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Saya Muniroh Labibah Sa'diah, biasa dipanggil Mona atau Lisa.”

“Wah wahh... Bagus bener nikenemnya, Bi. Ada Lisa-nya juga. Bibi mantan member blekjek, ya?”

“Iya, Mbak, bibi dipecat gara-gara ketauan selingkuh sama bang Koi,”

“Wahh bibi, sih, selingkuh kok nggak pengalaman, harusnya konsul ke ak-"

“Udah stop! Jadi ngelantur kesana kemari,” sambar Riyan menengahi. Keduanya pun menurut. “Jadi bibi akan menginap di sini. Kalo bibi masih kelelahan karena perjalanan ke sini, mulainya besok saja,” ujar Riyan lembut.

Wah, giliran di bibi aja alusnya kayak bubur kacang ijo digiles botol kecap Bangkok.

“Bi, bibi bisa ngedit sekeripsi, nggak?”

“E-eh? Se-se-ke apa tadi?”

“Mulai deh,” rungut Riyan menatap tajam ke arah Loli.

“Iya, iya.” timpal Loli memutar bola matanya malas.

.
.
.

Riyan dan Loli bersiap menuju kampus. Laki-laki jangkung itu sesekali melirik ke arah penghulu kursi di sisinya, seorang gadis yang lebih memilih untuk menatapi pemandangan di luar jendela mobil yang tidak menarik sama sekali. Hanya bangunan-bangunan yang setiap hari mereka lewati, bahkan jauh sebelum ijab qobul itu terjadi. Pemandangan yang membosankan.

Namun pandangan Riyan terfokus pada tas selempang kecil berwarna ungu yang dengan mungilnya melingkari pundak Loli. Ia ingin memecah hening.

“Lol, lo dapet apaan kuliah pake tas sekecil telor ayam kampung begitu?”

Loli tak langsung memberi jawaban. Ia tersenyum beberapa centi di ujung sana. Ya, sebuah guratan senyum kemenangan.

“Nggak masuk kelas, cuman KRS-an,” jawab Loli setengah malas. Ia tak menggerakkan kepalanya sedikit pun. Masih setia bertengger menghadap luar.

“Mana map lo? Mana bisa muat di tas semungil itu? Lo jangan manja deh, mentang-mentang mungil gitu, milih tas juga sepadan,” sabet Riyan menggoda istrinya sendiri.

“Dih, map nya di korsi belakang!” sahut Loli mantap. Riyan mencuri pandang ke belakang dan memang benar ia mendapati apa yang disebutkan oleh Loli sebelumnya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan.

“FKIP masih aja pakek offline? Terus apa gunanya tuh website sia?” cibir Riyan yang berharap Loli akan lebih terprovokasi dengan cara itu. Namun, nihil. Loli bergeming bersama pemandangan di luar sana.

“Mana gue tau?! Emangnya moyang gue yang punya kampus?” timpal Loli akhirnya.

Mereka tiba di kampus. Terkhusus Loli maksudnya. Sementara lokasi Fakultas Kedokteran masih harus menyetir selama sekitar beberapa menit lagi.

“Thanks, ya. Assalamu'alaikum,”

“Eh, bentar,” ujaran yang berhasil menghentikan langkah kaki Loli yang hampir saja menyapa tanah. “Ntar lo pulang jam berapa? Biar gue jemput,”

Nikah Lagi, yuk!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora