Bab 50 : Titik Light

399 28 1
                                    

I never mean to start it over
You did it first
And I take a step after
.
.
.

Flashback on

Seorang gadis cantik setinggi 170 cm ditambah dengan hak sepatu setinggi 10 cm menambah kesan elegan. Gea Ananda Putri. Rambutnya tergerai bebas dengan warna pirang tampak alami. Kedua matanya menatap lurus ke depan. Ia tengah berdiri di hadapan sosok pria berumur sekitar 45 tahun. Pria berdarah asli Indo yang ternyata adalah ayahnya. Sementara mata biru yang dimiliki Gea adalah warisan dari mamanya, seorang gadis Belanda.

"Apa maksud perlakuan ini?" Tanya Gea tampak geram ketika 10 pria dengan setelan serba hitam mengelilingi dirinya, seolah ia adalah target.

"Mulai dari sejak polisi menangkapmu, kau bukan lagi bagian dari keluarga ini," jelas pria itu dingin, ia bahkan tak menatap ke arah lawan bicara yang jaraknya sekitar 10 meter darinya.

"Oh, begitu? Kau tak takut jika aku melaporkan apa yang kau lakukan pada mama?" Tawar Gea tersenyum licik.

"Ah, siapa yang mau percaya pada pernyataan gadis GILA seperti dirimu?" Timpal pria itu dingin dan mematikan.

Gea mematung, keningnya berkerut sempurna. Tapi ia berusaha untuk tak menumpahkan setetes pun keringat dingin di wajahnya. Padahal nyatanya ia kini mulai panik.

"Lagipula kaulah yang melakukannya, bukan? Dan, 'mama'?" Gadis itu memicingkan matanya sambil menyimak. "Wanita gila yang kau sebut 'mama' itu mati di tanganmu sendiri."

Kedua matanya membulat sempurna dihiasi warna merah menyala. Untuk sesaat ia sempat hilang kendali dan menunjukkan amarah yang begitu dalam melalui sorot tajam matanya.

"Jadi kau ingin membuangku?" Gadis itu menyeringai lebar. "Setelah semua yang sudah kulakukan untukmu?"

"..."

"Ya. Aku sudah mengotori kedua tanganku dengan melenyapkan siapapun yang kau kehendaki, menyakiti keluarga mereka hingga mereka tak ingin hidup di tempat yang sama. Karena itu pula aku menjadi objek bullying di sekolah."

"..."

"Kau pikir aku tak tahu? Sejak umur 9 tahun kau menipuku dengan mengatakan bahwa mama mengalami Mental Disorder akut dan berniat membunuhku. Padahal mama baik-baik saja. Kesalahannya hanyalah mengetahui kejahatanmu. Kau akhirnya berhasil membunuhnya dengan kedua tanganku."

"Kalau kau mengetahuinya, mengapa kau tetap menurutiku?"

"Kau benar. Aku yang berumur 9 tahun begitu mudah untuk kau racuni. Tapi, aku berterimakasih untuk itu."

"Apa maksudmu?"

"Kau membuatku mati rasa. Saat mengetahui kebenaran tentang mama, kau pikir aku menangis dan menyesalinya? Aku bahkan tertawa sangat keras. Hingga rasanya aku sangat ingin melenyapkanmu."

"Kau ingin balas dendam?"

"Tidak. Sudah kubilang aku sudah mati rasa. Aku hanya ingin merasakan kembali bagaimana rasanya kedua tangan ini berlumuran darah milik orang yang terdekat denganku, seperti mama."

Kedua alis pria itu bertaut satu sama lain. Namun kemudian ia tersenyum licik. Senyum yang penuh dengan makna. Gea menyambut senyuman itu dengan seringai kebencian. Gadis itu berbalik begitu saja ketika sang ayah memerintahkan anak buahnya memberi jalan.

"Sebelumnya kau selalu bekerja dengan sempurna. Waktu itu kau bahkan membantai seluruh anggota keluarga Roosevelt tanpa jejak. Sampai sekarang kasus itu belum dipecahkan. Sejujurnya kau adalah karyawan terbaikku," ujar pria itu berhasil menghentikan ketukan anggun langkah Gea. "Tapi tidak sejak kau bertemu dengan dokter itu."

Nikah Lagi, yuk!Where stories live. Discover now