Bab 38 : Ending (2) - Ga Jadi Ending

402 33 5
                                    

Teruskan melangkah...
Jika kau lelah dan menyerah, kau hanya akan berakhir sebagai peran yang kalah.
Biarpun jalannya susah
Kau hanya perlu tahu bahwa akan ada bahagia di akhir kisah.
Teruskan melangkah...
Hingga suatu hari Tuhan mengatakan,
"Berhentilah..."

.
.
.
(Revisi pembatalan ending cerita)
Happy reading 🤗
.
.
.

Cekidot!
.
.
.

Nah, bener kan?

Hanya ketidakmungkinan yang bisa membawa dirinya pada ruang yang putaran waktunya terhenti. Itulah yang diyakini Loli saat ini. Keyakinan itu membuatnya semakin jatuh, jauh terhempas ke daratan berkerikil tajam. Ia tahu setiap hal yang terjadi seperti mimpi. Tapi, 'tahu' saja tak cukup mampu untuk membuatnya merasa baik-baik saja ketika akhirnya ia harus terbangun dan mendapati takdir benar-benar mempermainkan perasaannya begitu kejam.

Okay,
Yang lebih gawat lagi......

Jeng-jeng.....

Gimana caranya gue minta maap gara-gara tadi gue asal jeplak aja ngomongin cincin nikah? Udah gitu pake nyamber tangan orang...

Mo dijejelin ke mana muka polos tak berdoza gue ini?

Krieeeet. Pintu terbuka dan menampilkan sosok pria yang sangat ingin ia hindari saat ini.

Duh, gue ngomong apaan nih?
Dia mikir apa tadi, yak?
Pasti dia mikir kalo gue kurang lesson gara-gara main asal sosor ke tangan orang.
Atau dia bakal protes, "percuma kerudung lo lebar tapi kelakuan lo masih kurang ajar!"

"Bagaimana perasaannya?"

Gantengnya nggak berubah,
Persis kek masih janin dulu...

Astaghfirullah minal khatoya...
Tobat, Ta, tobat lo!

"I'm okay," balas Loli sedikit gugup.

"An?" panggilnya merasa ragu.

"Hm?"

Uuhh jawaban 'hm' konstannya...

"Lo dokter yang nanganin gue? Bukannya terakhir kali ketemu lo masih kuliah? Koasnya kelar kapan?Kok lo cepet banget dapet gelar dokter? Bukannya lo harus ujian kompetensi dokter atau apalah istilahnya, lo udah? Terus temen cewek lo yang cantik itu kema-"

Ups.

Gue pasti udah hilang akal.
Kenapa gue malah nanyain hal yang bakal bikin dia bingung, sih?

"Ma-maksud gue... Eh... Kayaknya selama operasi, lo ngilangin otak kecil gue, ya? Gue rada-rada nggak waras rasanya. Lo boleh kok transfer gue ke rumah sakit jiwa deket sini."

Riyan masih terdiam bersama ribuan diksi yang mengendap dalam benaknya. Ia ingin memandang ke manik cokelat di hadapannya tapi ia takkan cukup berani. Ia lebih tertarik pada pemandangan jauh di luar jendela ruangan yang semakin lama semakin sumpek.

"Gue juga mau minta maaf. Gue... Abis mimpi... Panjang banget. Mimpi, part bahagianya, bahkan rasa sakitnya... Nyata banget. Uuuhh, gue jadi kebawa-bawa pas bangun. Haha. Absurd banget nggak, sih? Begonya lagi, gue udah larut di mimpi itu. Nyampe gue lupa kalo gue harus bangun."

"..."

"Ah, sorry gue buat alasan lagi biar dikatain kejahatan gue nggak berencana. Tapi tetep aja salah. Semoga Mister Atid kecolongan bolpoin biar lupa nyatet dosa gue tadi. Kan kesian banget kalo gue nyebur ke Empang fire berbahan bakar human cuman gara-gara gue nyosor dua detik narik tangan lo? Yah, intinya gue salah en minta maap. Dimaapin, kan? Kan?"

"Masih aja bawel, ya?"

"Eh?" Loli mengerjapkan kedua matanya beberapa kali.

"..."

Tak mendengar tanggapan lebih lanjut, Loli mengalihkan topik. "Sapa yang berani nabrak gue, hah? Belom pernah ngerasain namanya ditodong pake pisau bedah sama psikopat kali, yak?"

"Truk tangki BBM,"

Eh?
Tangki BBM?

"Sakit," gumam pria itu sembari menyembunyikan getar kedua tangannya di dalam saku celana kain hitam.

"Eh? Lo sakit? Lo ngobatin orang tapi Lo malah sak-" Loli menengadahkan kepalanya, memastikan bahwa cintanya baik-baik saja.

"Pasti sakit, kan?" ujar Riyan memalingkan wajahnya ke arah antah berantah.

"Nggak kok," tukas Loli tersenyum lebar nan hambar. "Nggak sakit sama sekali," tegasnya lagi.

"Kenapa?" tanya Riyan setengah penasaran.

"Karena..." Loli menghentikan aktivitas rongga mulutnya. Ia tengah berusaha menelan pil kecewa yang meradang dalam hatinya. Ya, ia kecewa pada dirinya sendiri. Ia kecewa pada betapa mudahnya ia tersakiti hanya oleh sebuah mimpi.

"...ada yang lebih sakit dari ini," sambungnya parau, memandang jauh ke dalam netra yang maniknya mewakili berjuta kata dan rasa.

Et dah!
Apa-apaan nih kespontanan?
Astaghfirullah rabbal baroya merinding gue...

Loli tengah berusaha menyembunyikan getar di wajahnya. Ia takut cintanya dapat membaca kabar yang terukir melalui sorot matanya. Ia tak ingin mutiaranya terlibat dalam mimpi yang tiada rasional bahkan bagi manusia pada khasnya. Ia hanya ingin memastikan bahwa mimpinya telah berakhir. Ia menyadari akhir itu setelah melihat tatap dari sosok yang memandangnya dengan cinta di akhir mimpinya.

Sementara Riyan mengutak-atik jarum infus yang menggantung dan menembus vena Loli. Ia tampak seperti seorang dokter bagi Loli. Iya, dokter. Sementara bagi Riyan, Loli tampak seperti pasien yang membutuhkan dokternya. Iya, pasien.

Loli tengah berusaha meredam getar emosi yang meledak kuat di dalam batinnya. Tanpa sadar cairan bening di dalam lorong infus kini bercampur dengan cairan merah.

"Apa sesakit itu?" Riyan menggenggam erat tangannya sendiri. Terlalu kuat, hingga rasa perih pasti menyapa bagian kulit yang bertubrukan dengan masing-masing ujung jemarinya.

"Ah, maaf." Loli menatap dokternya yang tengah asyik menikmati sesuatu yang bahkan ia tak tahu. Ia hanya bisa bertegur sapa dengan punggung tegak di hadapannya. Ia melihat dokternya begitu sibuk. Iya, dokter yang sibuk menutupi luka hatinya sendiri.

"Akan saya gantikan," ujar Riyan sembari menarik jarum infus dan menggantinya dengan yang baru. Ia melakukannya dengan lihai.

Saya?
Apa dia bakal bilang 'Anda' juga ke gue?
Dia amnesia atau pura-pura bego atau emang bongol dari brojol, sih?

"Wah, sekali coba langsung nemu Vena gue. Dokter gue emang yang terbaik." Loli membuka mulutnya terkagum-kagum. Meski tak berselang beberapa detik kemudian ia tersadar.

Oh God...
Gue jadi kedengeran sok asik banget sekarang.
Si Tiang niat banget nyakitin gue yak.

"Ah, maaf, Dok. Saya hanya teringat teman lama." Loli kembali berargumen demi menyelamatkan harga dirinya yang terluka oleh dirinya sendiri.

Meski sedikit, ia ingin tersenyum. Walau pada akhirnya itu hanya sebatas bahasa hati. Ya, hatinya tersenyum di antara ribuan luka yang menjejal. Ia takut mawarnya melayu jika yang terdengar adalah sayup lirih. Ia benci membayangkan mataharinya meredup saat yang tampak hanyalah dunianya yang tengah ringkih. Ia ingin menangisi hatinya, namun ia memilih untuk menelan getir yang mencabik dan merongrong perasaannya.

.
.
.
Sekian dulu😁

Hi Guys.
Setelah sekian lama...
Gue tau kok ending kemarin jelek. Jadi gue mutusin buat lanjutin ceritanya dikit lagi.
Berhubung UAS udah selesai, jadi gue mutusin buat mulai post lanjutannya sekarang.
Maafkan aku manteman...😥

Eh eh..
Jangan lupa vote en komen 😍
Love you, Guys 😍

Nikah Lagi, yuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang