Bab 14 : Delima (1)

439 30 1
                                    

Tap tap tap
.
.
.

Suara langkah kaki menghentaki tiap keramik lantai RS. Universitas Mataram. Seorang pria dengan seragam dokter yang membuat ketampanannya naik beberapa kali lipat. Pria itu duduk di atas sebuah kursi dengan meja penuh tumpukan kertas dan sebuah laptop ukuran 21 in.

Sepi. Beberapa meja-meja di dalamnya tampak kosong ditinggalkan empunya. Pria itu merebahkan kepalanya di sandaran kursi dan memejamkan mata selama beberapa menit.

Tap tap tap

Suara langkah kaki terdengar lagi. Kali ini suaranya semakin jelas seiring detik berlalu. Pria itu tahu bahwa seseorang kini tengah berada di balik pintu. Namun, ia tak berpikir ganjil karena ruangan besar ini ditempati oleh empat orang. Mungkin salah satu penghuninyalah yang kini tengah mencoba masuk.

Cklek.

Pintu terbuka dan pria itu masih memejamkan matanya kuat-kuat. Berusaha melepas beban yang menggelayuti pikirannya.

“Adriyan,” panggil seseorang. Perempuan. Pria itu tahu bahwa pemilik suara kini tepat berada di hadapannya. Dengan hati setengah terkejut, pria itu akhirnya membuka mata.

“Ge, kenapa lo di situ?” balas Riyan masih bersikap acuh.

“Lolita Agustin, siapa dia? Kenapa dia tiba-tiba muncul di hidup lo?” tanya Gea dengan tatap berpancarkan aura kelam. Mulai sekarang Riyan tahu bahwa ini tak akan mudah.

“Kenapa? Lo punya masalah sama dia? Kalian ada masalah pribadi?” tanggap Riyan pura-pura tidak mengerti. Padahal ia tahu bahwa Gea kerap kali menemui Loli dan berbicara pada gadis itu tentang perasaan yang berulang kali ditolaknya.

“Lo tau maksud gue, Ad,”

“Masalah itu udah lama, Ge. Bukannya gue udah pernah jelasin?”

“Gue cuma mau jawaban jujur tentang siapa gadis yang kemaren ngunjungin lo?”

Tatap nanar dari Gea seolah berusaha melawan dinginnya hati pria di hadapannya. Ia menangis tapi berusaha untuk tak terisak.

“Ayo ke luar. Gue nggak mau terjadi fitnah kalo orang liat di sini cuma kita berdua,”

“Emangnya lo mau jawab kalo gue juga keluar?"

Terhenti. Hanya sepersekian meter menuju daun pintu namun langkahnya terhenti.

“Kenapa dengan Lolita? Apa dia sespesial itu buat lo? Kenapa sikap lo beda banget kalo sama dia?? Kenapa sekarang lo-”

“Gue cuma mau ngelindungin dia,” potong Riyan. “Gue nggak mau ada orang yang nggak bersalah kena hukuman lagi gara-gara gue.”

“Kejadian itu udah enam tahun yang lalu dan itu nggak di sini. Kenapa lo masih mikirin itu?”

"Karena lo yang maksa gue inget itu," Riyan menaikkan intonasinya.
“Karena mungkin bagi lo itu lelucon, aneh, absurd, nggak wajar, nggak mutu, tapi bagi gue itu penting. Gue calon dokter. Walaupun kematian itu takdir, tapi berusaha untuk kabur dari itu juga wajib. Dan, gue sebagai calon dokter, berperan penting dalam usaha itu.”

.
.
.

Di rumah.

Bruk!

“Astaghfirullah, Tiang, lo kenapa? Apa ada yang sengaja nabrak tiang kayak lo? Terus jadi dalih cincong ngindarin jeruji besi? Akkh gue ngomong apaan sih?”

“Bi, bantu Ita!"

Entah sejak kapan tandu darurat ada di rumah baru mereka. Mungkin jiwa medis yang melekat di dalam diri Riyan membuatnya menyimpan benda itu di rumahnya juga.

Nikah Lagi, yuk!Where stories live. Discover now