RENJANA 1

246 13 0
                                    

Kinan melompati dua-dua anak tangga kosannya. Tak peduli pada protes kaki pendeknya yang ketakutan pada anak tangga. Kamarnya di lantai dua sering kali membuatnya kesulitan di saat terlambat seperti ini. Di awal tahun kuliahnya dulu, ia sudah bersumpah kalau dia tak akan mau tinggal di kamar lantai dua atau tiga atau lebih tinggi lagi. Ia sudah berkeliling ke seluruh penjuru wilayah sekitar kampusnya untuk menemukan kamar kos di lantai satu namun hasilnya nihil. Waktu itu ia diantar oleh seorang kenalan baiknya, dan atas bujukannya akhirnya ia mengiyakan kosan yang berjarak 15 menit jalan kaki ini dari kampus dan harus rela mendapat kamar di lantai dua.

Ponselnya berdering, sebuah panggilan masuk. Tanpa melihat siapa yang meneleponnya, ia langsung menekan tombol hijau dan menempelkan benda kotak itu di telinganya.

"Halo?"

"Lo di mana?" terdengar suara familiar di ujung teleponnya.

"Hah? Siapa nih? Gue di jalan." Jawab Kinan seraya berlarian di gang kosannya.

"Bawa almet gue, kan?"

Kinan mengernyit, siapa sih penelpon ini? "Almet apaan?"

Orang di seberang teleponnya mendecak, "Almet gue."

"Gue siapa?" Kinan terengah, ia berbelok gesit di ujung gang.

"Lo lagi ngapain, sih? Gue Ocha."

Kinan mengerutkan kening, baru sadar suara ini adalah suara sahabat baiknya sejak kecil, "Oh, gue kira siapa. Apa sih lo pagi-pagi gini udah nelepon, gue kira telepon penting. Gue telat. Bye!"

"Woy—"

Kinan tak peduli, ia memasukkan teleponnya ke saku blazer hijau lumutnya dan terus berlarian memasuki gerbang kampus menuju gedung fakultasnya. Di saat seperti ini ia benar-benar bersyukur kerena fakultasnya ada di paling depan kompleks kampus. Ia kembali menaiki dua-dua anak tangga menuju lantai dua di mana kelasnya berada. Sampai di lorong kelasnya ia melihat dosen baru saja memasuki kelasnya. Ia mempercepat langkahnya dan langsung melesat menuju bangku di pojok belakang.

"Safe!" engahnya lega.

Dosen di depan langsung membuka laptopnya, sementara Kinan dengan cepat mengecek ponselnya. Keningnya mengernyit melihat banyaknya panggilan masuk dari Ocha. Ia membuka chatroom dan melihat grup chat yang berisi ia dan dua sahabat kecilnya menampakkan angka 56 dalam bundaran hijau diujung nama chatroom itu. Tanpa curiga ia membukanya. Paling bawah ia bisa melihat Bella mengirim pesan bernada kesal dengan huruf besar.

Bella-ian Abang: BACOT NJIRRR

Kinan bergidik dan men-scroll chat masuk itu dan ternyata semua sisa pesan yang masuk berasal dari Ocha. Semuanya berseru-seru memanggil-manggil namanya berkali-kali, setelah ada sekitar sepuluh chat berisi sama kini ia mencak-mencak marah karena Kinan tak kunjung muncul dan membalas chat ini.

Ichi Ocha Teh Melati: ANJIR NI ANAK PASTI BELOM BANGUN

Bella-ian Abang: telpon Cha, jan bala di sini

Setelanya Ocha berseru-seru bilang agar Kinan jangan lupa membawa almamaternya yang minggu lalu ia pinjam untuk acara jurusan. Kinan menerawang, kapan tepatnya dia meminjam almet Ocha? Setelah semua chat Ocha yang sisanya hanya berisi umpatan tak jelas dan serentetan huruf 'P', lalu kembali pada chat terakhir dari Bella yang berkata kasar, Kinan akhirnya mengetikkan balasan.

 Saya: kapan gue pinjem almet lu?

Ichi Ocha Teh Melati: Gila! Otak lu isinya nama bakteri semua sih, busuk kan!

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang