RENJANA 50

80 5 0
                                    

Hello guys, maap yaa jarang update :(

Happy reading yaaaa

-

Ocha memasuki gedung bercat putih gading yang mulai memucat itu. Senja menggantung di ufuk, memberi warna oranye pada penghujung hari. Semburat halus awan berarak pelan di langit berwarna kemerahan, tertiup angin sore yang menyebar bau tanah. Hujan baru saja turun, menyapa tanah yang sudah memohon sejak lama. Sisa-sisa tetesan air menggantung mesra di ujung dedaunan, menolak jatuh ke pelukan tanah yang jenuh. Burung gereja bercicit ramai, menenggelamkan suara lain sore itu.

Lorong panjang menyambutnya, lengang diterangi cahaya sore yang membias dari kaca jendela besar di sepanjang dindingnya. Cahaya oranye melimpahi lorong, memberi kesan hangat bagi siapa pun yang melihatnya. Ocha memantapkan langkahnya, berjalan pasti ke arah kamar di ujung lorong. Pintunya berwarna putih pucat dengan ketukan pintu dari besi menempel di tengahnya. Sekali lagi ia menatap lorong di sampingnya, sebelum akhirnya mengetuk pintunya.

“Masuk.”

Di dalam ruangan, sesosok wanita duduk di atas kursi rodanya, membelakanginya menatap kebun di luar dari jendela besar yang terbuka. Cahaya senja yang menyilaukan memaksa Ocha menyipit untuk bisa melihat punggung sempit yang akrab itu. Angin bertiup, menerbangkan tirai putih yang kini berwarna oranye karna senja, membalut sosok di atas kursi roda dan menelannya hilang. Bau hujan memenuhi ruangan, masuk memenuhi paru-parunya, menyesakkan.

Ocha menutup mulutnya dengan tangan, menahan isakan yang tiba-tiba menyeruak. Dadanya sesak menahan segala macam emosi tak karuan yang tiba-tiba mendobrak masuk. Ia menarik nafas, air matanya jatuh tanpa bisa dihentikan. Ia berjongkok ketika kakinya melemas, membiarkan isakannya menggema di seluruh ruangan. Biarlah senja mengejeknya atas tangisannya ini.

Ketika tangisnya berhenti, Ocha mencoba bangkit, menghapus air matanya, ketika ia akhirnya menyadari bahwa sejak tadi ada yang memperhatikannya di ambang pintu. Sosok itu berdiri tegak, wajahnya datar tanpa emosi, matanya lurus menatap dirinya yang masih mengumpulkan kewarasannya. Sosok itu mendekat, berdiri cukup dekat hingga bisa menyeka sisa air mata Ocha.

“Jangan nangis,” katanya pelan.

Raka. Cowok itu kini ada di hadapannya, memberikan senyum lemah penuh kesedihan.

“Sori... gue baru tau...” kata Ocha terbata-bata, ia manahan dorongan untuk kembali menangis. Siapa dirinya hingga punya hak menangis di depan Raka?

“Yuk.. gue anter ketemu Mama..”

Raka mempersilakan Ocha untuk jalan lebih dulu. Seorang suster sudah menunggu di depan kamar, wajahnya juga dipenuhi kesedihan.

“Makasih, ya, Sus, untuk semuanya selama ini..” kata Raka. Ia memberikan senyum paling tulus pada suster itu sebelum merangkul Ocha, menuntunnya keluar gedung menuju mobilnya.

-

Matahari hampir tenggelam ketika mereka sampai. Raka memimpin jalan, berhati-hati berjalan di antara susunan makam yang rapat. Ocha di belakang mengikuti dalam diam. Ia memperhatikan sepatunya yang menebal karena tanah yang basah menempel. Tak ada seorang pun di sana, hanya mereka berdua yang terus berjalan dalam diam. Ketika Raka akhirnya berhenti, Ocha mendongakkan kepalanya.

“Ma, ada Ocha...”

Ocha perlahan mengalihkan pandangannya ke arah makan di depannya. Raka sudah berjongkok kan mengusap nisannya yang masih baru. Tertulis di sana dengan jelas ‘INTAN AYU BINTI DARMA’. Ocha ikut berjongkok di samping Raka, tangannya terangkat menyentuh tanah makam yang basah. Air matanya kembali keluar sesaat setelah ia merasakan dinginnya tanah di ujung jarinya.

Raka mengusap punggung Ocha pelan, “Doain Mama, ya, Cha.. dan tolong dimaafin kalo ada salah.”

Ocha mengangguk. Dalam hati ia memanjatkan doa sepenuh hati. Ia terus terisak, merasa amat bersalah karena terlambat datang. Kalau saja keberaniannya datang lebih cepat, penyesalan seperti ini pasti tak akan datang. Ia menyalahkan dirinya yang selama enam bulan ini terus bersembunyi, menjadi pengecut. Ia tak berani menemui Raka dan Intan setelah kejadian Bella dan Rena. Satu karena ia merasa bersalah atas nama Rena yang notabene adalah ibu dari sahabat baiknya, ia sadar bahwa ini tak masuk akal, tapi rasa bersalah itu nyata ia rasakan. Dua karena ia menyadari perasaannya pada Raka yang tak ingin ia lanjutkan.

Sore itu menjadi penutup hubungan antara dirinya dan Raka. Tak akan ada lagi pertemuan di antara keduanya. Kini mereka akan melangkah berjauhan, berbelok menuju arah berlawanan untuk melanjukan hidup masing-masing. Dunianya dan dunia Raka akan benar-benar terpisah dan mereka tak akan pernah bertabrakan lagi di masa yang akan datang. Setidaknya bergitulah harapan Ocha ketika ia pelan merengkuh Raka untuk yang pertama dan terakhir kalinya.

-

Bella menahan nafasnya ketika pandangannya bertemu dengan Ocha. Setelah enam bulan melarikan diri, akhirnya hari ini ia kembali untuk membereskan sisa-sisa kekacauan yang ia tinggalkan. Ia tak menyangka akan bertemu dengan sahabat baiknya secepat ini. Padahal ia belum menyiapkan diri untuk hal itu.

Mata Ocha penuh keterkejutan. Rindu juga menggenang di sana. Matanya berkaca-kaca menatap Bella yang mematung. Hari ini ia memulai harinya dengan berdoa setulus hati agar semua masalahnya terselesaikan satu persatu-satu. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada Raka, ia sadar bahwa ia harus mengembalikan semua pada tempatnya atau ia harus menata ulang hidupnya. Ia tak tahu mana yang baik dan menyerahkan segalanya pada takdir, dan ia tak menyangka bahwa Tuhan langsung mengabulkannya saat ini juga. Ia tak menyangka akhirnya bisa melihat Bella yang sudahh enam bulan ini entah ada di mana.

Untuk sepersekian detik, Ocha merasa ia memiliki cukup keberanian untuk mendekati Bella, merengkuhnya, menanyakan kabarnya dan meminta maaf padanya. Tapi tubuhnya membatu, seolah Bumi memakunya di lantai gedung kemahasiswaan ini. Ia tak bisa, belum bisa. Ia belum siap menghadapi sahabatnya itu. Namun, terlihat jelas bahwa bukan hanya dirinya yang belum siap, namun juga Bella. Tatapannya sejak tadi seolah berkata padanya, ‘jangan mendekat!’.

Maka dengan itu, Ocha memutus tatapan mereka dan melangkah menjauh, membiarkan rasa menyesal perlahan-lahan memakannya dari dalam. []

-

Jangan lupa vote sama komentarnya yaaa

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang