RENJANA 33

49 6 0
                                    

Kinan tinggal di rumah Ocha selama seminggu pertama masuk kuliah setelah kejadian kejar-kejaran dengan Adit malam itu. Saat Geo datang, Kinan baru bisa benar-benar merasa tenang—meski Anjas duduk di sebelahnya sejak tadi. Kinan bahkan tanpa sadar memejamkan matanya dan menyandarkan pipinya pada perut rata Geo malam itu, ketika ia memeluknya yang sedang duduk.

Kinan tak bisa melupakan tatapan penuh tanya yang terlihat di wajah Anjas. Malam itu Kinan pamit begitu saja, masuk ke dalam mobil Geo setelah menepuk lengan Anjas yang tak bisa berkata-kata. Ketika Kinan masuk ke dalam mobil, Geo masih di luar, berbicara dengan Anjas sebentar dan kemudian masuk ke mobil.

Geo tidak repot bertanya apa yang terjadi. Ia membiarkan Kinan tidur di sampingnya sepanjang perjalanan menuju rumahnya. Ketika sampai pun Geo sama sekali tidak bertanya. Wajahnya mengeras ketika ia mengatakan agar Kinan tinggal di sini dulu untuk sementara waktu. Kinan sempat menolaknya, tapi Geo menatapnya tajam, hingga akhirnya Kinan menurut.

Anehnya, seminggu lamanya Kinan ada di rumah itu, ia jarang sekali melihat Geo. Bahkan Ocha bisa membawa mobil Geo ke kampus setiap hari. Ketika Kinan menanyakannya, rupanya ia sedang ada proyek besar di kantornya hingga ia sama sekali tak pulang.

Akhir pekan Kinan baru bertemu dengannya. Wajahnya lelah ketika sosoknya muncul di ujung tangga. Kinan sedang menonton National Geographic di TV besar di lantai 2. Geo duduk di samping Kinan, menyenderkan tubuhnya pada sofa empuk di belakangnya.

“Mau dibikinin minum, Bang?” Kinan membenahi letak kacamatanya.

Geo menggeleng, “Air lo aja sini.”

Kinan menyerahkan botol air di atas meja miliknya pada Geo.

“Ocha mana? Nggak ikut nonton?”

“Ocha mana suka nontonin siput begini? Udah tidur dia.”

“Lo kenapa belum tidur?”

“Belum ngantuk. Kirain Bang Geo nggak pulang.”

“Pulanglah. Weekend gue meliburkan diri. Capek banget kerja mulu seminggu ini.”

“Mau aku bikinin makan?”

Geo menggeleng, “Barusan makan. Gimana seminggu ini kuliahnya?”

Kinan menggedikkan bahu, “Lancar.”

“Orang gila itu masih gangguin?”

Kinan menoleh, “Hm?”

“Siapa namanya? Adit? Anak bisnis? Gangguin lo nggak minggu ini?”

Kinan menggeleng, “Aku bubaran kelas langsung pulang ke sini terus, nggak main-main dulu.”

“Bagus.” Geo mengusak kepala Kinan.

Kinan tersenyum. Dalam dadanya, percikan menyenangkan masih terasa ketika ia berhadapan dengan Geo. Ketika tangannya mengusak kepalanya, ia merasa bagai ribuan kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya. Kinan bersyukur TV di depan menyala terang hingga ia bisa mengalihkan pandangannya dari Geo.

“Lo pindah sini aja.” pinta Geo entah untuk yang ke berapa kali.

Kinan menghela nafas, “Kan aku udah bilang jangan ngomongin ini lagi.”

“Lo nggak ngerepotin sama sekali. Nan, ini rumah terlalu gede cuma buat ditinggalin 2 orang. Itung-itung lo nemenin Ocha.”

“Bang, aku nggak mau apa-apa bergantung sama kalian. Aku tau abang nggak akan ngerasa direpotin sama sekali. Tapi aku nggak mau dibantu terus. Tolonglah hargai aku yang mau mandiri. Aku nggak bisa selamanya ngandelin abang.”

“Gampang lo ngomong gitu, lo nggak tau kalutnya gue mikirin lo di kosan kenapa-napa.”

“Selama ini aku baik-baik aja. Aku bisa jaga diri. Abang punya kesibukan lain selain ngekhawatirin yang nggak perlu kayak gitu.”

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang