RENJANA 52

97 5 0
                                    

haii maaf baru up lagi

Selamat membacaaa

Jangan lupa Votenya yaa tementemen :)

-

Bella adalah orang pertama yang menghampirinya dulu ketika mereka pertama duduk di bangku Sekolah Dasar. Kinan masih ingat dengan jelas anak berambut panjang yang dikuncir kuda dengan ikat rambut stroberi itu tersenyum dan menepuk bangk di sebelahnya ketika ia melangkah masuk kelas. Senyum sumringahnya tak bisa dibendung. Meski masih berumur enam tahun, ia terlihat begitu mudah beradaptasi. Hingga saat ini tak pernah sedetik pun Kinan menyesal untuk menerima ajakan duduk itu.

Mengingat kembali masa kecil mereka menguatkan tekad Kinan untuk mendamaikan Ocha dan Bella bagaimana pun caranya. Ia tak ingin persahabatan mereka yang sudah terbangun belasan tahun hancur begitu saja hanya karena masalah orang tua mereka. Terlalu cepat untuknya jika menyerah sekarang. Ia belum melakukan apapun untuk kedua sahabatnya itu. Melihat bagaimana marahnya Ocha tempo hari membuat Kinan sadar, bahwa selama ini ia hanya terus menunggu dan tidak berani mengambil langkah.

Dengan segala niat baik dan tekad, juga didukung kerinduannya pada Bella, ia memberanikan diri untuk menelepon Bella lebih dulu. Untungnya anak itu mau menjawab teleponnya dan bahkan setuju untuk bertemu di kafe kampus hari ini. Kinan tak ingat apa ia pernah setegang ini hanya untuk menemui Bella, selama ini mereka selalu bersama, dan perpisahan enam bulan ini ternyata cukup membuat dirinya merasa canggung.

Kinan memang bukan tipe orang yang mudah beradaptasi sejak dulu. Ia sulit menyembunyikan perasaannya dan cenderung merasa tidak nyaman dengan orang yang pernah bermasalah dengannya. Ketika kepalanya sibuk memikirkan cara terbaik untuk menyapa Bella, sahabatnya itu datang dengan senyum cerah, memeluknya erat dan bersikap seolah tak ada yang terjadi selama ini.

Diam-diam Kinan lega, ia kira Bella juga akan bersikap canggung padanya.

“Gimana sekarang kabar lo?” tanya Bella, “Sori nggak bisa nganter jemput lo pas berangkat penelitian.”

Kinan menggedikkan bahu, “Iya. Lo main pergi-pergi aja, nggak pamitan. Kita nyariin lo ke mana. Enam bulan gak ada kabar, tiba-tiba sekarang dateng skripsian.”

Bella cengengesan, “Sori. Gue mumet banget abisnya. Dan gue butuh waktu berdua sama nyokap gue.”

“Jadi lo ke mana sama nyokap lo?”

“Kita keliling, Nan. Jalan-jalan dari satu kota ke kota lain. Kita emang butuh waktu antara orang tua dan anak, mencoba membangun ulang hubungan kita yang gak bagus. Yah.. selain rehat dari mumetnya masalah di sini.”

Kinan mengangguk-angguk pelan, “Gimana kabar Tante Rena?”

Bella tersenyum, “Baik. Sekarang tinggal sama nenek di luar kota. Rumah di sini kita jual kemarin. Jadi sekarang gue ngekost di sini.”

Kinan terkejut mendengarnya, ia menoleh cepat, “Lo pindah rumah?”

Bella mengangguk tenang, mengusap lengan Kinan, “Nanti kapan-kapan main, ya.”

Kinan tak tahu harus berkata apa. Mendengar Bella pindah rumah memberinya kesan bahwa ia benar-benar akan pergi dan memutus semua hubungannya dengan kota ini dan orang-orangnya, termasuk sahabatnya, bahwa saat ini ia hanya mampir sesaat untuk mengemas beberapa barangnya yang tertinggal.

“Ocha gimana kabarnya?” tanya Bella.

Kinan menaikkan alis, sedikit ragu pada telinganya, apa benar Bella menyanyakan Ocha?

“Em... baik... dia wisuda bulan september ini.....” Kinan menjilat bibirnya, tiba-tiba gugup, “Katanya lo ketemu dia minggu lalu?”

Bella mengangguk, “Gue mau nyamperin dia, tapi gue nggak berani.”

“Kenapa?”

Bella berpikir sebentar, “Nggak tau aja mau mulai dari mana ngomong sama dianya.”

“Sampe kapan lo takutnya?”

Bella memandangi Kinan, sahabatnya itu terlihat serius. Ia menggeleng.

“Beraniin diri Bel, plis.. udah enam bulan, lo udah kabur selama itu, jadi sekarang harusnya udah siap buat ngomong sama Ocha, sama-sama minta maaf, ngelarin kecewa dan sakit hati kalian.”

Bella tahu itu lebih dari siapapun. Ia tahu ia harus sesegera mungkin menyelesaikan masalahnya dengan Ocha, kembali seperti dulu, di mana mereka bersahabat dengan baik. Ia tahu ia sudah diberi cukup waktu untuk menenangkan diri dan menyiapkan hatinya. Tapi ketika kembali ke sini, ternyata tidak semudah itu. terlalu banyak rasa takut yang menggerayanginya dan membuatnya kembali mundur, menyerah akan persahabatan mereka yang sudah bertahun-tahun terjalin.

“Bel, ini Ocha, lho.. bukan orang lain.. kita sahabatan dari kecil.. dan masih banyak banget momen yang harus kita lewatin bareng-bareng.. nggak enak tau marahan sama sahabat.”

Bella mengangguk, tak menjawab apa-apa.

“Gue bisa bantu kalo lo minta.. kasih tau aja gue harus gimana.. atau gue bisa atur kalian ketemuan.”

Bella terkikik, “Nggak, Nan.. gue bisa kok ngatur itu sendiri. lo kira gue ke sini buat skripsi doang?”

-

Kinan tak tahu apa kabar kelanjutan masalah seteru kedua sahabatnya itu bahkan sampai hari wisuda Ocha. Ia sedikit kecewa melihat sepertinya keduanya belum juga menyelesaikan masalah mereka dan berdamai. Ingin ia bertanya pada Ocha, tapi ia tak tega bila harus merusak hari bahagia sahabat karibnya itu.

Sejak semalam Kinan sudah menginap di rumah Ocha, membantunya menyiapkan segala hal untuk wisudanya esok hari. Mulai dari kebaya, kain songket untuk bawahannya, make up, aksesori rambut, wedges dan bahkan softlens berwarna biru agak kelabu. Kata Ocha, softlens itu bisa membuatnya makin cantik—Kinan langsung memuntahkan keripik singkong yang sedang ia makan.

“Besok mba make-up nya dateng jam berapa?”

“Subuh, jam 4an.”

“Ya udah tidur lo sekarang kalo gitu buruan!”

“Lo kata gue bisa tidur? Gila si gue deg-degan banget!”

“Ya coba dimeremin sebentar, daripada besok lo ngantuk, pas wisuda mata lo beler gimana? ato kalo besok lo kesiangan gimana?”

“Kan ada lo yang bisa bangunin.”

“Enak aja, gue mau bangun siang, kan gue nganter doang sama Bang Geo!”

“Ngomong-ngomong tu anak ke mana belom pulang jam segini? Pengangguran juga.” Seloroh Ocha.

Kinan meringis mendengar kata “pengangguran”. Ia tiba-tiba merasa tak nyaman jika mengingat alasan sebenarnya Geo resign dari kantornya yang lama. Semuanya karena dirinya, tapi Geo malah dengan mudahnya memintanya tidak menyalahkan diri sendiri dan melupakannya. Kinan merutuk dalam hati jika mengingat pembicaraan mereka sehari setelah kepulangannya dari Inggris.

“Dia main bola katanya.”

“Masih? Gak kapok tu anak? Sama temen-temen kantor lamanya?”

Kinan mengangguk.

“Dia bilang sama lo BTW? Laporan kalo dia main bola?”

Kinan kembali mengangguk.

Ocha mendengus, tak percaya pada abangnya sendiri, “Sama gue nggak pamit nggak apa! Sialan tu anak lupa apa kalo punya adek! Ingetnya lo doang!”

Kinan terkekeh, merasa bangga seketika. Tapi ia kembali teringat Bella di saat seperti ini. Ingin ia menceritakan berita bahagai soal dirinya dan Geo pada sahabatnya itu, kalau ia tahu pasti ia sudah habis-habisan meledek Kinan. Bella juga harusnya ada di sini bersama mereka sekarang, ikut membantu menyiapkan perintilan wisuda Ocha. Ia pasti lebih teliti dari mereka berdua, memperhatikan sampai detil terkecil kebutuhan Ocha esok hari.

Kinan meraih ponselnya. Jarinya ragu-ragu menyentuh nama Bella pada aplikasi chatingnya. Bella harusnya sudah tahu kan soal berita wisuda Ocha?

Kinan mengetik pelan pesan singkat untuk Bella.

To: Bella

Bel, besok Ocha wisuda.

[]

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang