RENJANA 3

104 11 0
                                    

Bella melangkah keluar dari kelasnya dengan cepat begitu dosen menyudahi kuliahnya pagi ini. Ia memencet tombol lift yang akan tertutup hingga pintunya terbuka kembali. Lift penuh, tapi Bella memaksakan diri untuk masuk dan berdesakan di dalam. Ia memencet angka 3 dan lift segera tertutup. Di lantai 3 hanya dia yang turun. Bella ada urusan dengan sekertariat jurusannya untuk acara seminar. Ia butuh memberikan surat undangan pada kepala jurusan yang saat ini kabarnya sedang tak ada di kantornya.

Bella melangkah menuju ruang prodi jurusan bisnis di ujung lorong. Setelah mengetuk pintu dan tidak mendapat jawaban, ia memutuskan untuk mengintip ke dalam. Pintu ia buka sedikit, tapi ia kebingungan saat pintu terus terdorong terbuka hingga wajahnya bersiborok dengan sebentuk wajah yang belakangan menjadi familiar untuknya.
Raka, batin Bella tanpa sadar.

Bella melepas pegangannya pada gagang pintu, menatap cowok di depannya yang tak lain dan tak bukan adalah cowok yang ia temui di kafe dan merupakan asdosnya.

“Cari siapa?” cowok itu bertanya melihat Bella yang kebingungan.

“Bu Ida-nya ada, Pak?”

“Lagi makan siang. Ini kan jam makan siang. Ada perlu apa?”

“Oh...” Bella berpikir sebentar, “Mau ngasih surat, Pak.”

Cowok itu mengangguk-angguk, “Kamu udah makan?” tanyanya tiba-tiba.

Bella mengernyit, “Kenapa Pak nanya itu?”

Cowok itu mengangkat alis, “Ya kalo belum, mending kamu makan dulu, abis itu balik lagi ke sini nanti. Bu Ida-nya juga makan, kok.”

Bella ikut mengangkat alisnya, “Oh, iya. Baik, Pak.”

Cowok itu mengangguk sekilas dan segera berlalu.

Bella terpaku sesaat, memikirkan bagaimana urusan surat ini agar tidak tertunda lagi. Sudah tiga hari ini ia terus gagal menemui Bu Ida karena jadwal kelasnya dan jadwal Bu Ida terus saja tak cocok. Bella berpikir sambil memandangi punggung Raka yang kini sudah berada di depan ruang dosen. Sebuah ide muncul di kepalanya, walau ia tak yakin apa ia boleh melakukan ini.

“Pak Raka!” panggil Bella cepat, seraya berlari menyusul asdosnya itu.

Raka menoleh, menunggu hingga Bella sampai di hadapannya, “Ya?”

Bella bergerak ragu di tempatnya, “Saya bisa minta tolong sama bapak?”

Raka mengangkat alis, “Kalo bisa saya tolongin.”

“Gini, Pak, takut saya gagal lagi ketemu Bu Ida, Pak Raka bisa tolong bikin janji sama Bu Ida siang ini buat saya? Maksudnya tolong kasih tau beliau aja kalau saya mau ketemu. Gimana ya.... maaf kalo saya nggak sopan sama bapak, tapi ini udah tiga hari saya nggak bisa ketemu beliau terus... saya udah WA beliau sejak kemarin, tapi cuma di read, nggak ada balasan. Jadi saya bingung.... duh... gimana ya... kalo saya WA lagi takut nggak sopan. Eh tapi ini saya ke bapak juga sama aja sih...”

Raka melongo melihat Bella di depannya yang terus saja bicara. Ia bisa melihat kalau cewek itu sendiri kebingungan dengan kata-katanya. Andai saja kejadian ini terjadi di luar jam mengajarnya, mungkin ia akan dengan senang hati mendengarkan celotehannya sepanjang hari. Wajah kebingungannya dan cara Bella menggaruk kepalanya kebingungan mendadak membuat Raka ingin tertawa.

“Oke. Oke. Saya paham.” Kata Raka akhirnya, senyumnya terbit, “Kamu mau ketemu Bu Ida jam berapa? Biar sekarang saya WA beliau, oke?”

Bella tersenyum cerah, “Serius, Pak?”

Raka mengangguk, ia segera mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan membuka aplikasi chatting, “Jam berapa?”

Bella mendekat, “Jam 1 aja, Pak.” Ia memperhatikan jari Raka lincah menulis pesan pada sekertariat jurusan itu. setelah tombol send dipencet, Bella segera mendongak dengan senyum puasnya. Tapi segera saja ia menyesali gerak refleksnya itu saat sadar bahwa Raka juga sedang menunduk menatapnya hingga wajah mereka berjarak terlalu dekat.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang