RENJANA 19

46 4 0
                                    

Hello happy reading.. Jangan lupa vote yaaa..

-

Bella menatap Kinan setelah Geo menutup pintu. Ia bergabung bersama sahabatnya itu dan menepuk-nepuk punggung Ocha. Ia yang baru saja keluar dari kamar mandi benar-benar bingung dengan apa yang terjadi. Kinan di depannya juga hanya menggedikkan bahu ketika ditanya ada apa.

“Cha, udah, yuk.. jangan nangis terus, capek...” bujuk Bella, menepuk-nepuk pelan puncak kepala Ocha.

“Cha... cerita aja kenapa... kalo nangis yang ada lo engap, udah mana lo nangis sambil tengkurap.” Seloroh Kinan, masih sempat melontarkan candaan.

“Lo mah orang nangis malah digituin oneng banget!” sungut Bella, melotot pada lebar pada Kinan.

Kinan manyun, “Ya kan nggak apa-apa, kalo serius-serius banget ntar dikira sidang MK.”

Bella memutar bola matanya malas. Kenapa juga Kinan harus membawa-bawa topik yang sedang hangat sekarang itu di antara percakapan serius mereka. Bella tak mau membantah Kinan lebih jauh karena ia tahu Kinan hanya berusaha mencairkan suasana yang sudah kadung kelabu ini. Padahal rencananya malam ini mereka ingin menginap bersama untuk membicarakan soal  ‘kencan’ Bella.

“Cha... udah 30 menit nih... sinetron paling alay aja nggak selama ini nangisnya..” seloroh Kinan lagi tanpa dosa.

Bella mencubit lengan Kinan hingga temannya itu memekik.

Saat itu Ocha bangkit. Ia menghapus sisa-sisa air mata di wajahnya dengan tangannya.

“Kinan sialan! Ambilin gue tisu sana!” kata Ocha dengan suara yang masih bergetar, “Betewe gue nggak nangis selama itu!”

Kinan tersenyum mengejek, “Nih, tisunya Non Ocha..” kata Kinan mengikuti nada bicara asisten rumah tangga Ocha.

“Lo kenapa, sih? Gue udahan mandi langsung ngeliat drama.” Bella menerima uluran tisu bekas dari Ocha, menampungnya di tangannya sementara.

“Biasa.. gue dijodoh-jodohin! Malam minggu ini gue diajak makan malam bareng orang yang mau dijodohin sama gue.”

“Itu mah dibawa enak aja, Cha.. lumayan kan dapet makan lo.” Kinan menaik turunkan alisnya.

Ocha mendelik, “Kalo Cuma makan gue juga bomat, lah ini pake ada jodoh-jodohan. Gue kesel sampe kapan mereka mau maksa-maksa gue terus.”

“Ya lo kan bisa nolak seperti biasanya...”

Ocha mendecak, “Itu nggak bakal bikin ortu gue berenti ngejodoh-jodohin gue.”

“Ya terus lo punya pilihan lain? kan nggak ada..” Bella melempar tisu bekas di tangannya ke dalam tempat sampah kering di bawah kolong kasur, “Ya minimal lo bisa ngehindar dari jodoh-jodohan yang sekarang.. yang bakalan dateng, nanti aja pikirinnya..”

Kinan di tempatnya hanya mengangguk-anggukan kepalanya setuju. Kalau soal nasihat Bella jagonya dan ia akan selalu stuju dengan Bella apapun yang cewek itu bilang.

“Capek tau nggak terus-terusan begini.. gue tuh pengennya mereka ngerti kalo gue nggak suka diginiin. Mereka kan udah tau kalo gue punya Daffa!”

Ocha diam-diam kembali memikirkan soal tawaran Ren di pesta waktu itu. Mungkin cara yang cowok itu usulkan layak dicoba. Mungkin dengan ia menerima perjodohan ini, orang tuanya mau berhenti mengekangnya. Toh, Ren juga sudah bilang bahwa ia juga hanya akan menganggap perjodohan antara mereka sebagai formalitas untuk menghindari sanak saudaranya mencarikan pasangan untuknya.

“Gue nggak mau ngasih saran yang ekstrem, tapi kalo lo beneran pengen ortu lo berenti ngatur-ngatur lo, mungkin lo harus buat kesepakatan resmi sekalian.” Bella menggedikkan bahu, bukan maksudnya Ocha harus tanda tangan di atas materai atau apa, hanya perjanjian yang jelas dan memastikan orang tuanya memegang janji itu sudah cukup.

“Gue juga lagi mikirin apa yang bisa gue jadiin jaminan biar mereka nggak ngatur-ngatur gue terus..”

Sekali lagi tawaran Ren sepertinya layak untuk dipertimbangkan. Mungkin ia benar-benar bisa dipasangkan dengan Ren sementara ia masih bersama Daffa. Mungkin suatu saat nanti ia bisa melepas hubungannya dengan Ren entah bagaimana. Ocha tak yakin, ide itu terdengar amat buruk sekaligus menggiurkan karena ia yakin dengan menuruti perjodohan ini, ia  bisa membuatnya menjadi jaminan agar kedua orang tuanya berhenti mengekangnya.

“Daffa tau nggak, sih, kalo lo dijodoh-jodohin begini?”

Ocha menggeleng, “Gue nggak berani ngomong.”

“Ngomonglah. Dia cowok lo, dia harus tau, kali aja kan kayak sinetron-sinetron, Daffa bakal datengin orang tua lo, bilang kalo lo punya dia!” usul Kinan dengan tawa lepas di akhir kalimat.

Bella dan Ocha sama-sama menatap Kinan malas. Kinan memang tidak suka pada topik-topik berat semacam ini. Meski ia sendiri yang sedang mengalami masalah pelik, ia akan terus meladeninya dengan candaan.

“Tapi bener kata Kinan. Lo harus cerita sama Daffa sebelum dia salah paham. Karena perjodohan ini dari orang tua lo, pasti mereka serius. Bukan sekali dua kali lo coba dijodoh-jodohin. Selama ini lo masih bisa nolak karena alesan kuliah, tapi sekarang kita udah mau masuk tahun akhir, pasti ortu lo nggak akan terima alasan itu lagi.”

Kinan mengangguk takzim, ia mengacungkan jempol ke arah Bella.

“Gue emang mau bilang, tapi mungkin nanti sampai semuanya clear dulu. Siapa tau gue masih bisa berdalih kali ini jadi gue nggak perlu ngomong ke Daffa.”

“Yah... pokoknya nanti kalo lo udah bikin keputusan lo harus kasih tau kita berdua.”

Kinan mengangguk setuju, “Kelar, nih?”

Bella mencubit Kinan, “Lo segitu nggak maunya dengerin sahabat lo curhat. Parah banget!”

“AAA! Bukan gitu! Aduh... sakit astaga!” Kinan mengusap pahanya yang dicubit, “Kalo udah kelar gue mau ngambil P3K, nih!” Kinan mengangkat telapak tangannya, memamerkan luka sayatnya yang lumayan dalam.

Ocha meringis geli sekaligus nyeri, sementara Bella mendekat dengan mata membelalak memperhatikan luka Kinan lebih dekat.

“Gila! Lo ngapain, sih? Hah?!” Bella menarik tangan Kinan, meniti luka di telapaknya lebih dekat.

“Kena botol bekas! Udah ah minggir. Di mana kotak P3K, Cha?”

“Nggak tau, ih lo emang tukang beling apa mainannya botol bekas!”

“Syalan! Di mana kotaknya?”

“Nggak tau! Gue nggak pernah luka, tanya Geo sana.”

Kinan berhenti ketika nama Geo disebut. Tiba-tiba saja kepalanya memutar kembali kejadian beberapa saat lalu ketika Geo sepertinya ingin....menciumnya? Kinan menggelengkan kepalanya keras-keras. Tidak. Pasti bukan begitu. Mungkin Geo hanya melihat kotoran di wajahnya dan bemaksud memberisihkannya makanya ia mendekat. Kinan mengangkat tangannya ke dadanya yang tiba-tiba saja berdebar tak keruan. Ah, Ocha menyebalkan, kenapa harus  menyebut nama cowok itu sekarang.

“WOI!!” Ocha menoyor kening Kinan hingga temannya itu jatuh telentang, “Ih udah gila ni anak ditanyanya malah ngelamun! Pake geleng-geleng segala lagi! Mana muka lo merah banget! anjir! Ngelamunin jorok abang gue lo, ya?”

“Anjir! Lo kalo ngomong seenak jidat banget!” Kinan bangkit, berteriak tak terima, membuat Ocha dan Bella terkejut dengan reaksi berlebihan Kinan.

“Wah beneran ngelamun jorok ni anak!” seloroh Bella geli.

“Nggak! Ih, udah buruan mana kotak obatnya?”

“Kan gue udah bilang nggak tau! Tanya Geo!”

Kinan menggeleng cepat, “Lo aja yang nanyain!”

“Dih dih tumben banget ini anak suruh nemuin Geo nggak mau! Ni pasti ada apa-apa ni lo berdua!”

“Nggak! Tolongin kek tanyain di mana!”

Ocha menyipit, “Ngaku lo abis ngapain sama abang gue?!”
Bella mengangkat alis, “Jangan-jangan lo nembak Geo?”

Kinan menatap kesal Bella, “Kalo gue berani udah gue lakuin dari dulu!”
“Kalo nggak ada apa-apa berarti ya sana tanya Geo. Kenapa parno banget si kayak abis ditolak aja lo sama abang gue!”

Kinan mendongak, memejamkan mata menahan kesal, “Fine!”
Kinan akhirnya melangkah keluar dari kamar Ocha, ia menutup pintu kamar Ocha pelan dan berdiri diam di depannya. Ia menarik nafasnya dalam-dalam dan melangkah maju menuju kamar dan ruang kerja Geo. Di depan pintu ruang kerjanya, Kinan kembali berhenti. Ia ragu-ragu memegang kusen pintu yang terbuka. Pelan sekali Kinan mengintip, memastikan apakah Geo ada di dalam.

Kinan menyembulkan setengah kepalanya dan mendapati Geo yang sedang membuat desain di meja khusus di dalam ruangannya. Geo tampak begitu fokus, sampai-sampai Kinan merasa tak enak kalau harus mengganggunya. Kinan lama mengintip Geo dari balik pintunya, ragu apa dia harus mengetuk atau tidak.

“Masuk aja, Nan..”

Kinan berjengit, cepat-cepat menarik dirinya dari pintu. Ia menyandarkan dirinya di tembok dan mengusap dadanya. Ia sama sekali tidak mengira Geo menyadari kehadirannya. Padahal ia sudah amat berhati-hati untuk tidak membuat suara.
“Kenapa?” Geo muncul di samping Kinan, ia terlalu gemas melihat Kinan yang sejak tadi terus mengintip dibalik pintu. Meski anak itu tidak membuat suara apa pun, tapi Geo langsung menyadari keberadaannya tepat setelah kepala mungilnya menyembul di balik pintu.
Kinan nyengir lebar, “Maap, Bang.. takut ganggu..”

“Ganggu banget emang. Lo ngintip-ngintip kayak gitu bikin konsentrasi gue buyar.” Geo terekeh.

“Maap, ya, bang...”

“Kenapa? Cari apa?”

“Obat.” Kinan mengangkat sekilah tangannya yang terluka.

Geo tersenyum, “Kirain lo sampe pagi nggak bakal nanyain.. sini..”
Kinan berdiri di ambang pintu, tak berani masuk ke dalam.

Geo di dalam mengangkat alisnya melihat Kinan membeku di depan ruangannya. Ia mengambil kotak obat yang sudah ia siapkan sejak tadi dan kembali ke hadapan Kinan.

“Nih.”

Kinan menerima kotak itu, menaruhnya dalam pelukan dan sekali lagi tersenyum pada Geo, “Makasih, Bang..”
“Bisa ngobatinnya?”

Kinan mengangguk, “Ada Bella sama Ocha lagian.”

Geo mengangguk, “Oke kalau gitu.” Ia mengusak kepala Kinan sekali.
“Makasih, Bang...” Kinan berbalik kembali menuju kamar Ocha dengan cepat.

Geo di ambang pintu memperhatikan Kinan masuk ke dalam kamar adikknya. Ketika sosok itu menghilang, Geo langsung menggeleng. Senyum miring tak percaya muncul di bibirnnya. Geo mengangkat tangannya untuk mengacak rambut dan menyadari bahwa itu adalah tangan yang gunakan untuk mengusak kepala Kinan. Geo tercenung. Kembali menggeleng karena pikiran aneh yang muncul di kepalanya. Astaga.. apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya hingga bereaksi seperti ini apa Kinan?

-

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang