RENJANA 45

76 4 3
                                    

Ada 5 panggilan tak terjawab di ponselnya dari nomor yang tak ia kenal. Karena sepertinya penting, ia menelepon kembali nomor itu. Teleponnya dijawab bahkan sebelum nada sambung kedua terdengar, menandakan orang itu benar-benar sedang menunggu telepon darinya. Bella mengerut ketika mendengar suara laki-laki yang tak terlalu asing untuknya—meski ia tak bisa menebak siapa ini.

“Lo nggak apa-apa?” pertanyaan langsung terlontar begitu saja tanpa sapaan.

“Siapa lo?” tanya Bella sedikit kesal, siapa juga orang sok kenal yang mengkhawatirkannya ini?

Ren. Gue liat berita.”

Seketika Bella tertegun, ia menutup matanya, menghentikan langkahnya memasuki rumah. Ia menjauhkan ponselnya sebentar untuk menghirup nafas dan berdeham.

“Berita apa?”

Agung Baskara. Lo nggak apa-apa?”

Bella mengerutkan dahi, mereka tak punya hubungan yang bisa membuat mereka saling mengkhawatirkan satu sama lain. Setelah pemberitaan soal hubungan mereka mereda, Ren dan dirinya jarang bertemu kalau bukan untuk kunjungan ke rumah kakek atau salah satu tantenya—katanya sudah kepalang tanggung mereka kenal dengannya.

“Kok lo tau cewek simpenannya itu nyokap gue?” tanya Bella penuh sarkasme, sengaja ia menyebutkan seperti itu untuk menegaskan ketidaksuakaannya pada Ren yang sok peduli padanya.

Gue bisa bantu ngapus semua pemberitaan itu kalo lo mau.” Ren menolak menjawab pertanyaan Bella.

Bella mendengus, “Maksudnya lo takut ikut kena kotoran kalo media tau ternyata gue anak dari cewek simpenannya Agung Baskara? Takut kalo media bakal bikin berita aneh-aneh karena selama ini publik tau kita ini tunangan?!”

Ren mendesis di ujung telepon, “Lo di mana? Gue ke sana.”

“Mau ngapain?”

Biar lo tau kalo gue nggak kayak yang lo pikirin. Di mana?”

“Gue nggak butuh bantuan lo.” suaranya bergetar ketika mengatakan ini. Seluruh emosi yang sejak tadi ia tahan perlahan berontak, meminta pembebasan. Bella menggigit bibirnya, menahan isakan yang berusaha meloloskan diri. Di depan rumahnya, ia menendang lantai semen garasinya, mendongak menahan air mata yang ingin jatuh.

Bell, gue cuma mau bantu.”

Bella menarik nafas dalam, susah payah menahan tangisnya dan berkata, “Di rumah.”

Ia mematikan teleponnya. Ia tak berharap apa pun. Ia tahu Ren tidak serius dengan kata-katanya. Ia tahu Ren orang yang sangat sibuk. Atas keyakinan itulah ia memberitahu keberadaannya. Toh, Ren tidak akan benar-benar datang dan melihatnya dalam keadaan begini.

-

Ocha terperangah melihat rumah rehab dipenuhi reporter. Mereka sibuk merubung di lobi depan, membuat petugas penjaga dan suster kewalahan menghalau mereka. Kamera-kamera terangkat tinggi, beberapa flash membutakan mata, suara ribut reporter menanyakan keberadaan Intan sahut menyahut, ponsel-ponsel teracung ke depan mulut si suster, berusaha merekam kalau-kalau ia memberi informasi soal orang yang ingin mereka wawacarai.

Ocha berjalan mendekat, tak ada jalan lain untuk masuk ke dalam, jalan memutar sudah ditutup untuk menghalau para reporter, jadi ia membelah kerumunan dengan susah payah. Ia mendorong tubuh-tubuh yang berkerumun rapat hingga sampai di paling depan. Ia melambai pada suster yang sedang kebingungan, ketika mata mereka bertemu, si suster yang sudah mengenal Ocha langsung menarik tangannya dan mendorongnya ke balik tubuhnya.

Ocha menghela nafas, melihat kembali kerumunan itu sebelum melangkah masuk. Ia merapikan rambutnya yang kusut sepanjang lorong dan mengerut ketika melihat Raka sedang berdebat dengan seorang wanita entah siapa di depan pintu ruangan. Saat mendekat ia bisa mendengar suara wanita itu dan terdengar familiar di telinganya. Ketika wajahnya terlihat, baik ia atau wanita itu sama-sama terkejut ketika mereka bertemu pandang.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang