RENJANA 39

57 5 4
                                    

Sore itu Ocha kembali berkunjung ke rumah rehab. Kali ini sengaja untuk menemui wanita dengan penyakit aneh di wajahnya itu atau harus ia sebut namanya kali ini, Intan. Mengejutkan bahwa Ocha menikmati percakapan mereka sebelumnya hingga sengaja kembali untuk berkunjung dan sekadar mengobrol. Tak sulit menemukannya, resepsionis di lobi langsung mengantarnya ke kamar wanita itu ketika ia menyebut namanya.

“Tumben ada orang lain yang mengunjungi Bu Intan.” Seloroh si resepsionis ketika mengantar Ocha.

Di dalam kamar Intan sedang duduk di atas kursi rodanya, menatapi jendela ke arah taman. Rambut panjangnya tergerai tak tertata. Ia menoleh setelah mendengar pintu kamarnya terbuka, senyum terkembang ketika melihat Ocha dengan seplastik buah mangga di tangannya muncul di ambang pintu. Ia menjalankan kursi rodanya dan mendekat. Ia menggenggam tangan Ocha, menyambut senang kedatangannya.

“Kirain kamu nggak akan datang lagi.”

Ocha tersenyum. Ia menawarinya mangga, ia masih ingat dari percakapan mereka sebelumnya kalau Intan menyukai mangga. Usia Intan mungkin lebih tua dari ibunya sendiri, jadi ia memanggilanya ‘Bu Intan’. Meski baru bertemu sekali, dan kali ini kedua kali baginya, tapi ia sudah tidak merasa canggung, seolah ia sudah mengenal wanita tua ini jauh sejak dulu.

“Anak ibu barusan telepon katanya lagi di jalan mau ke sini. Nanti ibu kenalin.”

Ocha mengangguk.

“Sekarang coba tolong rapihin rambut Ibu, ya.”

Ocha mendekat. Ia menyisiri perlahan rambut beruban Intan dengan sisir di dalam nakas. Ocha mulai membaginya menjadi tiga dan mengepang rambutnya yang tipis.

“Kamu kuliah di mana?”

Ocha menyebutkan nama kampusnya.

“Oh, anak saya asdos di sana.”

“Oh, iya?? Wah siapa, tuh, kali aja aku kenal.” Seloroh Ocha.

“Nanti aja kenalan.”

Ocha mengambil kunciran rambut yang ada di atas nakas dan mengikat rambut Intan yang sudah rapi ia kepang.

Pintu kamar terbuka. Ocha menoleh cepat. Itu pasti anak Intan. Ia cukup kaget ketika melihat bahwa anaknya ternyata laki-laki, tapi lebih mengejutkannya lagi adalah bahwa cowok itu ternyata adalah Raka! Mata Ocha melebar mendapati Raka berdiri mematung di ambang pintu. Tatapan cowok itu sama terkejutnya dengan dirinya, bahkan lebih parah. Ekspresinya seperti orang yang baru saja dihantam palu godam tepat di atas kepalanya. Untuk beberapa saat keduanya tak bergerak. Hingga Raka menemukan kembali akalnya dan menatap tajam menusuk ke arah Ocha.

Raka mendekat, menarik lengan Ocha secepat kilat keluar dari kamar. Intan yang kebingungan dengan apa yang terjadi memanggil-manggil nama Raka dan mengikuti keduanya keluar dengan susah payah di atas kursi rodanya. Raka menulikan telingnya—atau memang ia sama sekali tidak mendengar panggilan Intan—terus menarik Ocha sampai mereka ada di halaman samping gedung yang sepi.

“Ngapain lo di sini?!” tanya Raka dengan nada suara tinggi, mengempaskan tangan Ocha.

Ocha meringis mengusap lengannya, “Lo anaknya Bu Intan?”

“Ngapain lo di sini, hah?! Ngapain lo di kamar nyokap gue?!” Raka makin menjadi, tatapannya kalut melihat Ocha di depannya, seakan-akan mengenal ibunya adalah suatu dosa besar. Apa ia merasa malu jika orang lain mengetahui keadaan ibunya? Tidak. Ada alasan lain mengapa Ocha tak boleh melewati batas seperti ini.

“S-sori. Gue nggak tau—“

“Lo segitu sukanya ikut campur urusan orang lain?!” Raka bertanya gusar, hampir-hampir tertawa karena merasa lucu dengan keadaan yang seolah tak pernah memihaknya. Kenapa dari sekian banyak orang harus Ocha?

“Sumpah gue nggak tau!” Ocha bersikeras. Ia tak mau Raka salah paham, menganggap dirinya mencampuri urusan Raka yang sama sekali ia tak tahu apa.

Raka mendengus, rahangnya menegang, ketara sekali ia sedang menahan amarahnya, “Mau lo apa?! Nanya-nanya soal hidup gue nggak cukup sekarang lo juga nemuin nyokap gue?!”

“G-gue nggak tau sumpah! Gue nggak tau Bu Intan itu—“

Raka mengusak rambutnya kesal, “Bilang sama gue apa niat lo sebenernya, hah?! Gue nggak ada urusan sama lo tapi kenapa lo ganggu gue terus!?” Raka mendekat, memelototi Ocha sedemikian rupa tepat di depan wajahnya, “Jangan dateng ke sini lagi! Gue peringatin lo! Atau gue pastiin sahabat lo itu bener-bener ancur!”

Ocha mengerutkan dahi, “A-apa?!”

“Pergi!”

-

Kinan berlarian di sepanjang pantai. Dress putihnya dengan motif bunga di bagian bawahnya beterbangan tertiup angin. Bella dan Ocha ada di belakangnya asyik berfoto dengan tongkat narsis. Geo dan Stella sedang duduk di kursi santai jauh dari garis pantai, memakai kacamata hitam, sama-sama sedang meminum kelapa muda. Di balik kacamata hitamnya, Geo terus mengikuti sosok kecil Kinan yang berlari lincah di sepanjang pinggir pantai, ia melepas sepatunya, membiarkan pasir putih langsung menyapa kulitnya.

“Kinan lucu, ya,” seloroh Stella yang menyadari bahwa Geo terus memperhatikan Kinan.
Geo tersenyum, “Kadang gue mikir kapan dia gedenya.”

“Lo harus berenti liat dia sebagai anak-anak, Ge. Dia udah dewasa sekarang.”

Geo menggedikkan bahu, “Buat gue dia tetep adik kecil gue.”

“Lo nyakitin dia dengan cara pikir lo yang begitu.” Stella menghela napas, “Lo kayak gini ya ke semua cewek? Cuma mikir dari sudut pandang lo sendiri. Ke gue juga lo gitu...”

“Hm?”

“Lo selalu mikir gue sahabat baik lo. Tapi pernah nggak lo mikir lo itu apa buat gue?”

“Gue juga sahabat baik lo, kita kenal udah dari jaman dulu, masa gitu aja gue nggak tau.”

Stella menggeleng, “Gue nggak pernah nganggep lo sahabat gue.”

“Wah.. jahat juga lo.”

“Gue kadang mikir kok lo bisa beda banget sama Ocha yang pinter ngebaca orang lain.. “

“Mungkin karena gue cowok.”

“Buat gue lo itu cowok yang gue suka.” Stella memejamkan matanya, akhirnya ia mengatakannya, perasaan yang ia pendam selama bertahun-tahun, yang tak pernah berani ia utarakan karena tahu persis bagaimana perasaan Geo padanya. Ia sekejap tersadar, kalau ia tak punya kesempatan untuk kembali setelah ini. Mungkin hubungannya dengan Geo tak akan pernah sama lagi.

Sementara Geo yang sedang asyik memperhatikan Kinan dikejauhan tertegun. Ia sama sekali tak memperkirakan pernyataan cinta seperti ini dari Stella. Ia pikir selama ini mereka telah setuju soal perasaan dan hubungan masing-masing, bahwa mereka adalah sahabat. Geo yang selama ini selalu berpikiran begitu, tak pernah sekali pun melihat Stella sebagai perempuan, atau faktanya adalah selama ini memang tak pernah ada sosok perempuan untuk dirinya walau ia punya banyak teman perempuan.

“Stella..” Geo menoleh, tak tahu harus berkata apa.

“Jangan salah paham. Gue ngomong soal perasaan gue bukan buat dapet jawaban dari lo. Gue cuma mau bikin diri gue sendiri lega.”

Geo terus menatap Stella, ia tak bisa dengan jelas membaca emosi Stella dari balik kacamata hitamnya, jadi ia tak yakin apa Stella mengatakan hal yang sejujurnya.

“Gue tau lo cuma nganggep gue sahabat... jangan ngerasa terbebani karena perasaan gue.. gue nggak berniat lama-lama suka sama lo setelah gue nyatain perasaan gue sekarang.. gue bakal cari orang lain, yang bisa bikin gue bahagia, biar lo juga nggak merasa bersalah sama gue.”

“...maaf.”

Stella menggeleng, “Lo baru gue maafin kalo lo juga nemuin orang yang bisa bikin lo bahagia. Jangan cari jauh-jauh, Ge. Kadang yang deket malah kelewat. Pesen gue, coba pikirin apa diri lo di mata orang lain, kalo kejebak sama prasangka sendiri lo bisa nyasar.” Stella bangkit dari duduknya, “Mau main sama yang lain nggak?” []

-

Jangan lupa vote nya yaaa..

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang