RENJANA 15

43 5 0
                                    

Hai haiii, maapin yaa kemaren janji mau double up tapi gabisaaa :( maapin adminnya, hixhix. Anyway Happy reading all

-

Bella memarkir motornya. Ia sudah sampai di mall tempatnya akan bertemu dengan Raka. Setelah bengong selama satu jam, akhirnya Bella memutuskan untuk datang apa adanya. Ia tidak memakai sesuatu yang berlebihan, seperti baju atau make up yang terlalu mencolok. Ia juga hanya mengepang rambutnya seadanya. Setelah naik lift dari basement mall, Bella turun di lantai 1, dan menemukan Raka dengan pakaian kasualnya bersandar pada tiang tak jauh dari lift.

Bella mengangkat alisnya, memperhatikan penampilan Raka sore itu. Cowok itu memakai kaus putih polos yang dibalut dengan kemeja garis-garis horizontal yang dibiarkan terbuka, kakinya dibalut dengan celana jins abu-abu dan sneakers. Melihat Raka dalam balutan pakaian kasual membuat Bella sesaat lupa kalau Raka adalah asisten dosennya di kampus—atau ia memang seharusnya sudah melupakan itu jika mereka sedang di luar kampus.

Raka tidak menyadari kedatangan Bella, ia sibuk memaikan ponselnya, jadi Bella mendekat dengan tenang dan mencolek lengan Raka pelan.

“Hai.”

“Hei.”

“Lama nunggu?”

Raka menggeleng, “Yuk.. lo udah makan?” Raka menyimpan ponselnya di saku celananya dan berjalan di samping Bella.

“Kalo belum, makan dulu nggak apa-apa?”

“Ya nggak apa-apa. Gimana?”

“Makan dulu, ya, baru dateng padahal..” Bella terkekeh, “Gue balik kuliah nggak sempet makan, padahal waktunya banyak, tapi gara-gara kebingungan mau jalan—“ Bella cepat-cepat menghentikan kata-katanya.

“Kenapa?”

Bella menggeleng, “Mau makan apa?”

“Gue ikut lo aja.”

“Oke. Gue tau tempat makan enak. Berhubung gue laper, jadi kita makan nasi, ya.”

Bella menuntun Raka menuju area food court, rumah makan yang ia tuju langsung terlihat karena tempatnya memang cukup besar dan ramai. Di bawah nama restoran itu ada keterangan ‘Rumah Makan Khas Manado’. Bella menyuruh Raka duduk di salah satu meja di depan rumah makan, sementara ia sendiri masuk ke dalam untuk memesan.

Tak lama Bella kembali dan duduk di depan Raka, “Gue lupa nanya lo mau makan apa. Kebiasaan pergi sama Kinan Ocha, jadi nggak pake nanya-nanya. Jadi lo gue pesenin sama kayak gue.”

“Apa?”

“Bebek. Alergi gak?”

Raka menggeleng, “Lo udah biasa makan di sini?”

Bella mengangguk, “Kalo jalan ke mall ini seringnya makan di sini. Makanannya sesuai selera gue banget soalnya.”

“Kok kita nggak pernah ketemu, ya?”

“Lo juga sering ke sini?”

Raka mengangguk, “Lumayan, kalo lagi bareng temen-temen kampus pasti ke sini.”

Kini giliran Bella yang mengangguk, “Emang gitu biasanya kalo belum kenal pasti nggak ngeh. Mungkin sebenernya kita pernah papasan di sini, tapi kita sama-sama nggak inget.”

Tak lama mereka berbincang, pesanan datang. Pembicaraan terhenti sebentar saat mereka melahap suapan pertama, tapi dimulai kembali tak lama kemudian.

“Lo tau Ardito Pramono?”

“Siapa tuh?”

“Penyanyi. Masa nggak tau?”

Raka menggeleng, ia melahap makanannya, sebelum kembali melihat ke arah Bella, “Yang nyanyi apa?”

“Fake Optic, tau? Lagu dia enak-enak padahal.”

“Suka tampil di TV?”

Bella tertawa pelan, “Sekarang masih jaman nonton TV, ya? Gue semenjak kuliah kayaknya bisa diitung jari berapa kali nonton TV.”

Raka menggedikkan bahu tak peduli, “Gue malah nggak inget kapan terakhir kali gue nonton TV.”

“Nggak tau, sih, gue dia sering tampil di TV atau nggak, tapi dia lumayan terkenal sekarang-sekarang ini.”

“Oh.. kenapa lo tiba-tiba nanyain dia?”

Bella menunjuk panggung live music di tengah food court, “Sekarang lagu yang lagi dinyanyiin lagunya Ardito. Coba dengerin, deh..”

Raka memasang kupingnya baik-baik sambil menandaskan isi piringnya. Ia mengangguk-angguk ketika lagu berakhir. Sebenarnya ia bukan penggemar musik untuk genre apapun. Ia bahkan tidak pernah secara ‘sengaja’ ingin mendengarkan lagu. Di ponselnya bahkan tak ada satu pun lagu. Ia biasanya hanya mendengar lagu sekilas jika ia sedang ada di jalan, kampus, atau rumah ketika orang lain sedang menyetelnya.

“Gimana? enak, kan?”

Raka menelengkan kepalanya, “Mungkin gue harus denger versi aslinya. Live-nya  nggak terlalu bagus.” Raka tertawa ringan setelah mengatakannya.

Bella mengangkat alis, “Kayak sendirinya bisa nyanyi aja lo!”

Raka mengangkat alis, “Lo belom denger aja.”

“Seriusan bisa nyanyi?”

Raka menggedikkan bahu, “Nyanyi tinggal nyanyi. Udah belum makannya?”

Bella mengangguk. Ia menyeruput jus alpukatnya untuk terakhir kalinya dan meraih air mineral botol miliknya  yang masih terisi tiga perempatnya. Ia lalu mengikuti Raka yang bangkit lebih dulu dan menempelinya di samping.

“Seriusan lo bisa nyanyi?”

Raka menoleh, “Masih ngomongin itu?”

Bella menyipitkan mata, “Abisnya kalo lo beneran bisa nyanyi gue jadi penasaran.”

“Kapan-kapan deh, ya, bahasnya. Sekarang kita masuk sini.” Raka memegang kedua pundak Bella dan mengarahkannya masuk ke dalam sebuah toko perhiasan mewah.

Bella kelimpungan, untuk apa mereka berdua masuk ke dalam toko perhiasan mewah begini? Raka dengan kuat terus mendorong tubuhnya masuk. Ia berhenti mendorong saat mereka berada tepat di depan etalase yang memajang berbagai macam kalung berlian cantik. Kalung-kalung itu berkilauan seolah ingin memberitahu betapa dalam mereka akan mengorek dompet orang yang akan membelinya. Bella saja yang tidak terlalu paham soal perhiasan bisa merasakan betapa mahal harganya hanya dengan melihat kilaunya.

“Lo suka yang mana?” tanya Raka.

“Hah? Lo ngapain beli kayak ginian?”

“Buat hadiah. Gue nggak gitu paham soal perhiasan, jadi gue ngajak lo. Biasanya cewek ngerti beginian. Gue bingung kalo harus milih sendiri dan pasti canggung banget kalo gue masuk ke toko beginian sendiri.”

“Hadiah buat siapa??” dari sekian banyak hal yang Raka katakan, Bella hanya menangkap kalimat pertama. Entah mengapa siapa penerima kalung ini mendadak penting untuknya.

“Buat nyokap.”

Tidak tahu mengapa, mendengar bahwa penerima kalung itu adalah ibunya membuat Bella merasa lega—kelewat lega malah. Senyum lebar langsung muncul di wajahnya, tapi senyum itu hilang secepat datangnya saat menyadari bahwa ia sama sekali tak bisa membantu Raka.

“Yah.. tapi lo ngajak orang yang salah. Gue sama sekali nggak ngerti perhiasan kayak gini.”

Raka mengangkat alisnya terkejut, “Masa? Kemarin gue liat lo di pesta pake lumayan banyak aksesori, gue kira lo penggemar beginian?”

Bella tersenyum tak nyaman, “Gua malah nggak terlalu tertarik sama begini-ginian. Kemarin itu di pesta kerjaan nyokap gue, gue tinggal pake.”

Raka mengangguk-anggukkan kepalanya, “Berarti selera nyokap lo bagus banget, ya.. Bokap lo seleranya juga bagus berarti..” Raka tertawa bercanda.

Bella terdiam saat Raka menyebut soal ayah, ia yang sama sekali tidak punya kenangan soal ayahnya mana tahu bagaimana harus menanggapi candaan bertema ayah seperti itu. Akhirnya Bella hanya memberikan senyum sekilas dan mulai memperhatikan satu-satu kalung yang ada di dalam etalase. Seorang pegawai berseragam elegan sejak tadi sudah menunggu kami memilih kalung mana yang ingin dibeli.

“Oke. Karna udah terlanjur ngajak gue, gua coba bantu sebisa mungkin, deh.. semoga selera gue soal beginian nggak jelek-jelek amat dan nyokap lo suka.”

Raka mengerjap menatap Bella. Sesaat ia terlihat berpikir sebentar, matanya menerawang memandangi wajah Bella yang bersinar terkena lampu dalam etalase. Senyum tipisnya muncul tak lama kemudian dan ia langsung bergabung bersama Bella meniti tiap-tiap kalung di balik kaca.

“Coba pikirin aja lo mau beliin ini buat nyokap lo sendiri. Lo pasti tau kan gimana selera nyokap lo.”

Bella menoleh pada Raka, ragu bahwa wajahnya saat ini menampilkan raut normal seperti yang ia harapkan. Sebagai penyamaran, Bella mengangguk keras dan kembali melihat satu-persatu kalung di sana. Andai Raka tahu bagaimana ia tidak menyukai mamanya sendiri.

-

Malam itu hujan turun dengan deras. Kinan masih meringkuk di balik selimutnya sejak siang tadi. Sejak siang itu pula ia tidak keluar dari kamarnya dan tidak memakan apapun. Setelah telepon dari Ocha siang tadi, ia langsung tertidur pulas. Suara hujan menghantam atap kosannya lah yang membangunkannya dari tidur nyenyaknya. Udara dingin dari ventilasi masuk ke dalam kamarnya, membuat Kinan makin mengeratkan selimutnya.

Ponselnya berdering. Kinan mengerutkan dahi, ia melihat layar ponselnya dan menemukan nama Ocha tertulis di layarnya. Kinan menghela napas, memutuskan mengabaikan telepon itu dan bangkit dari kasurnya. Kinan membuka kunci pintunya dan pergi menuju kamar mandi di ujung lorong. Tak lama, ia hanya perlu membasuh wajahnya agar lebih segar.

“Nan, baru bangun? Lo sakit?”

Salah satu teman sekosannya muncul di ambang pintu kamar mandi yang tak ia tutup.

Kinan menggeleng sebagai jawaban, “Sehat wal’afiat gue. Kenapa nanya begitu?”

“Abisnya lo nggak ada suaranya abis pulang jajan. Mana pintu kamar lo di kunci. Gue takutnya lo kenapa-napa di dalem, jadi tadi gue telepon temen lo si Ocha.”

Kinan mengerutkan dahi, “Kapan lo telepon dia?”

“Pas maghrib. Abisnya udah malem, gue takut lo kenapa-napa.”

“Kenapa lo harus telepon Ocha? Lo nggak coba bangunin gue?” Kinan mendecak cemas.

“Ada kali sepuluh kali gue gedor-gedor kamar lo, lo nggak nyaut. Gue mau minjem kunci serep sama ibu kos, ibu kosnya nggak ada.”

Kinan meletakkan gayung di tangannya dan melesat menuju kamarnya. Ocha pasti khawatir sekali saat ini setelah tahu kalau ceritanya seperti itu. Ia tidak bermaksud membuat Ocha khawatir dan lagi ia tak siap untuk disembur oleh Ocha setelah kejadian siang tadi.

Saat membuka ponsel terdapat 37 kali telepon tak terjawab di hp nya. Kinan tak berani menyalakan data internetny, karena ia tahu Ocha pasti menghujaninya dengan sumpah serapah sejak tadi. Di luar hujan masih turun dengan deras, sepertinya hujan inilah yang menghalangi Ocha datang ke mari. Kinan bersyukur, kalau keadaan hari ini cerah benderang, Kinan yakin sejak tadi Ocha sudah mendobrak pintu kamarnya.

“Nan, ada abang lo.” teman kosannya yang tadi muncul di ambang pintu.

Kinan mengerutkan dahi. Ia segera bangkit dan keluar dari kamarnya. Di ujung tangga ia menemukan Geo yang sedikit basah berdiri dengan raut amburadul. Kinan dengan cepat menghampiri, kebingungan mengapa Geo ada di sini di tengah hujan deras seperti ini.

Geo mengusap wajahnya kasar melihat Kinan di hadapannya, helaan napas lega keluar bersamaan dengan refleksnya merengkuh Kinan. []

-

Haii jangan lupa Vote dan Comment yaa..

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang